Pandemi Kian Merajalela, Demokrasi Dicela, Khilafah Solusinya
Oleh : Erwina Mei Astuti (Revowriter Jombang)
Penamabda.com - "Pakai sistem mbok yang solutif" demikian kira-kira yang tersirat ingin disampaikan menteri dalam negeri dalam akun Youtube Kemendagri RI, Kamis (3/9). Betapa tidak, sistem otokrasi atau oligarki disebut-sebut lebih solutif atasi pandemi daripada demokrasi. Disebutkan bahwa Indonesia belum berhasil atasi pandemi karena sistem demokrasi yang dianutnya. Tak jauh berbeda dengan Amerika, kampiun demokrasi pun masih berjibaku atasi pandemi. Sebaliknya, China dan Vietnam dinyatakan sukses atasi pandemi.
Pandemi Masih Bercokol di Negeri Demokrasi
Berdasarkan data di covid19.go.id disebutkan bahwa kasus covid-19 di Indonesia telah menembus angka 200.000. Sebanyak 142.958 kasus dinyatakan sembuh, adapun yang meninggal dunia sebanyak 8.230 kasus. Jumlah ini masih terus merangkak naik tanpa ada tanda-tanda akan berakhir.
Adapun kehidupan normal seolah telah berlangsung. Aktivitas di masyarakat berangsur berjalan seperti sebelum pandemi terjadi. Himbauan untuk tetap disiplin melakukan protokol kesehatan tak sepenuhnya dipatuhi. Aktivitas pemakaian masker, cuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir, juga pembatasan jarak seolah nyanyian rutin yang mampir di telinga saja tanpa perlu sungguh-sungguh dilaksanakan. Bahkan covid-19 suatu hoax ataupun konspirasi tetap berkembang tanpa perlu diyakini nyata keberadaannya.
Adalah sistem demokrasi yang dituduh menjadi biang sulitnya atasi pandemi. Dikatakan bahwa adanya demokrasi menyebabkan sikap keras tidak bisa dilakukan oleh pemerintah untuk memaksakan rakyatnya menerapkan protokol kesehatan. Terlebih bila kalangan kelas menengah ke bawah lebih banyak jumlahnya di negeri demokrasi ini. Demikianlah yang disampaikan Tito, mendagri, dalam akun youtube instansinya. Dikutip dari m.cnnindonesia.com, 3/9/2020.
Telah jamak diketahui bahwa demokrasi identik dengan sebutan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Sekalipun dalam prakteknya tidak ada keberpihakan kepada rakyat. Memanfaatkan suara rakyat lebih mendominasi dalam praktek demokrasi di negeri ini terutama pada saat digelarnya pesta demokrasi. Adapun ketika rakyat bersuara meminta pemerintah tanggap dan sigap atasi pandemi malah dianggap angin lalu.
Di awal kasus covid-19 mencuat bulan maret lalu, sejumlah masukan kepada pemerintah untuk segera mengambil kebijakan lockdown tak digubris. Alih-alih menutup akses keluar masuk negeri, justru promosi pariwisata lebih gencar digelar demi ekonomi tetap lancar. Tak peduli virus corona ikut leluasa melenggang masuk. Akibatnya setengah tahun berlalu, pandemi masih setia bercokol di negeri ini tanpa ada tanda-tanda akan diakhiri.
Demokrasi Biangnya, Otokrasi dan Oligarki juga Sama
Kesadaran akan bebalnya demokrasi dalam penanganan pandemi perlu diapresiasi. Sayangnya pilihan solusi justru pada sistem otokrasi atau oligarki patut diwaspadai. Apakah sebagai upaya mencari solusi atau justru memberikan opini untuk beralih pada ideologi yang mendasari?
Seharusnya disadari bahwa sistem yang ada baik itu demokrasi, otokrasi, maupun oligarki masih dalam satu frekuensi. Ketiganya merupakan sistem buatan manusia yang memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam menyelesaikan masalah. Solusi tambal sulam sudah jamak dilakukan. Keberhasilan atasi masalah masih jauh dari harapan.
Sistem demokrasi yang dianut di negeri ini dilandasi ideologi kapitalisme sekularisme. Fungsi pemerintah di dalamnya hanyalah sebagai regulator dan fasilitator. Adapun pengayom, penanggung jawab untuk mengatur urusan rakyatnya hanyalah pencitraan semata tanpa didasari kepedulian atas kondisi rakyatnya. Alhasil rakyat berjibaku sendiri atasi problematika yang dihadapi.
Tengok saja saat pandemi terjadi. Seruan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) serta protokol kesehatan gencar disuarakan. Bekerja pun dianjurkan di rumah. Seolah memberi solusi tapi justru menimbulkan persoalan baru. Ekonomi kolaps. Rakyat pun megap-megap, pemasukan berkurang, corona mengancam, aktivitas terkendala PSBB. Wacana new normal dilontarkan, rakyat pun memilih keluar rumah demi pendapatan yang diharapkan seraya meyakini corona bukanlah apa-apa dan tak perlu ditakuti.
Khilafah Solusi Atasi Pandemi
Di negeri yang mayoritas muslim seharusnya wajar bila segala aturan yang diterapkan dikembalikan pada syariat Islam. Tak sepatutnya bila muncul rasa takut karena sejatinya Islam adalah rahmatan lil alamin. Pun saat pandemi terjadi, penguasa wajiblah bersegera menawarkan solusi.
Pemerintah dalam khilafah memahami fungsi dan tugasnya sebagai raa'in dan junnah sehingga tidak bisa abai pada masalah yang ada. Disebutkan dalam hadits “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya.
Juga disebutkan dalam hadits yang lain ”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll). Posisi pelindung dari penguasa tak hanya dalam perang, juga dalam kehidupan keseharian. Dengan demikian, dalam khilafah, penguasa sungguh-sungguh mengurus rakyat sekuat tenaga sesuai dengan syariat Islam demi tercapainya kemaslahatan.
Pun dalam kondisi pandemi. Pengaturan urusan rakyat mengikuti sabda Nabi Muhammad Saw yang bersabda terkait kondisi wabah sebagai berikut "Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninginggalkan tempat itu (HR al-Bukhari). Maka kebijakan yang ditempuh antara lain berupa mengisolasi wilayah yang terjangkit penyakit, menutup akses keluar masuk wilayah terjangkit, memberikan upaya pengobatan hingga mencapai kesembuhan dan menemukan obat dan vaksinnya, memenuhi kebutuhan rakyat yang berada di wilayah terjangkit. Adapun di luar wilayah terjangkit, rakyat beraktivitas seperti biasa.
Khalifah Umar bin Khatthab pernah menghadapi wabah thaun yang melanda seluruh negeri Syam, wabah ini telah memakan korban 25.000 jiwa lebih. Bahkan di antara para sahabat ada yang terkena wabah ini. Mereka adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, al-Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah, Fadhl bin Abbas, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan dan Abu Jandal bin Suhail. Kebijakan yang diambil mengikuti penyelesaian wabah ala Islam. Alhasil wabah teratasi, rakyat tetap sehat, ekonomi juga tak tersendat.
Dengan demikian sudah selayaknya sebagai muslim yang sejati untuk menyelesaikan pandemi beralih dari demokrasi. Bukan berpaling pada otokrasi atau oligarki, tapi kembali pada syariat Islam yang hakiki. Hendaknya kembali pada firman Allah SWT dalam QS Al Maidah: 50 yang artinya "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"
Wallahua'lam bisshowab.
Posting Komentar