Penghinaan Terhadap Islam Buah Sistem Sekuler
Oleh: Tiara Mailisa, (Alumni Universitas Lampung)
Penamabda.com - Gelombang Islamphobia yang berujung pada penghinaan terhadap Islam secara terang-terangan kembali terjadi. Dilansir dari REPLUBIKA.CO.ID, Minggu (30/08/2020), telah berlangsung unjuk rasa anti-Islam yang diorganisir kelompok Stop Islamisasi Norwegia (SIAN) di dekat gedung parlemen Norwegia. Situasi ini pun memuncak ketika seorang wanita yang merupakan anggota SIAN merobek halaman Al-Qur’an dan meludahinya. Bentrok pun tak dapat terhindarkan antara pengunjuk rasa anti-Islam yang dimotori SIAN dengan kelompok yang kontra.
Aksi demonstrasi pun terjadi di Swedia, setelah salinan Al-Qur’an dibakar di Malmo, Jum’at oleh anggota partai sayap kanan garis keras Denmark, Stram Kurs. Sebelumnya pada hari itu juga, pemimpin partai Rasmus Paludan ditolak izinnya untuk mengadakan pertemuan di Malmo tentang "Islamisasi di negara-negara Nordik", ketika dikabarkan bahwa Al-Qur’an akan dibakar (indianexpress.com, 03/09/20). Aksi Paludan ini bukan untuk pertama kalinya. Politikus dan pengacara Denmark yang mendirikan partai sayap kanan Stam Kurs pada 2017 ini pernah membuat video anti-Muslim di YouTube, yang isinya termasuk membakar Al-Qur’an. Tak hanya membakar, dia kerap mengunggah video Al-Qur’an yang dibungkus dengan babi.
Paludan bukanlah satu-satunya penghinaan terhadap Islam, pernah juga dilakukan partai kebebasan di Belanda pimpinan Geert Wilders yang mengumumkan akan menggelar kompetisi menggambar karikatur Nabi Muhammad SAW. Meskipun penghinaan ini juga mendapat kecaman dari negara-negara Barat, namun munculnya aksi sejenis menunjukkan adanya kegagalan yang sistematik guna menjamin keadilan dan kebebasan dalam beragama. Kegagalan itu dampak dari penerapan sistem sekuler yang berkuasa saat ini dan penghinaan terhadap Islam merupakan buah yang dihasilkan dari sistem tersebut.
Sistem sekuler yang mengusung liberalisme memberikan panggung untuk para penista dalam menunjukkan kebenciannya terhadap Islam dengan dalih kebebasan. Belum lagi adanya propaganda yang terus digencarkan oleh penguasa dunia saat ini bersama sistem sekulernya untuk terus berusaha menjatuhkan citra Islam dan menjauhkan umat dari syariat. Peraturan yang ada pun tentu dibuat oleh mereka sebagai penguasa dan justru memberikan perlindungan bagi mereka.
Selama sistem sekuler masih berkuasa, hal ini akan terus berlanjut karena agama dipisahkan dari kehidupan dan tidak menjadikan agama sebagai satu-satunya aturan dalam mengatur kehidupan umat manusia. Karena penghinaan terhadap Islam adalah buah sistem sekuler. Maka untuk melindungi dan menjaga agama, harus diterapkan sebuah sistem yang mampu menjaga kemurnian ajaran agama namun tetap menjaga keharmonisan antar umat beragama.
Dalam Islam, perbuatan penghinaan terhadap Islam seperti melecehkan Allah, Rasul-Nya dan juga syariatnya adalah perbuatan dosa besar. Jika pelakunya Muslim akan menyebabkan seseorang dihukumi keluar dari Islam (murtad) dan hukuman bagi seseorang yang murtad adalah hukuman mati. Lalu bila pelakunya orang kafir, maka ia jatuh ke dalam kafir harbi yang boleh diperangi. Namun, yang perlu ditekankan di sini bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan.
Dalam menegakkan hukuman mati tidak dilakukan oleh sembarang individu atau kelompok, melainkan hanyalah Imam (Khalifah) atau wakilnya dalam negara Khilafah. Hukuman juga dilakukan setelah Imam atau wakilnya melakukan proses pembuktian di peradilan (al qadha`) dan melakukan istitabah (meminta terpidana untuk bertaubat/masuk Islam lagi) tapi terpidana tidak mau bertaubat. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz XXII, hlm. 194). Maka satu-satunya cara untuk menghentikan penistaan agama adalah dengan menegakkan Islam itu sendiri melalui Khilafah Islamiyah.
Diterapkan Khilafah, tidak lantas menjadikan non-Muslim menjadi kaum yang terzalimi dan kaum marginal. Syariat Islam telah mengatur secara rinci bagaimana menangani urusan kaum Muslim dan juga non-Muslim yang hidup di bawah naungan Khilafah dan keduanya berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa adanya diskriminasi. Non-Muslim yang menjadi warga negara khilafah disebut sebagai dzimmi.
Negara harus memberikan perlindungan terhadap keyakinan, jiwa, akal, kehormatan, dan harta mereka, baik yang hidup di dalam maupun di luar negara Khilafah sebagai muahid (yang terikat perjanjian), serta musta’min (yakni orang kafir yang masuk ke negeri Islam dengan jaminan). Tidak boleh ada paksaan untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Sebagaimana Allah SWT berfirman:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Diriwayatkan Al-Khathib dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Siapa saja yang menyakiti dzimmi maka aku berperkara dengan dia. Siapa saja yang berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakan dia pada Hari Kiamat” (Imam al-Jalil Abu Zahrah, Zuhrat at-Tafasir, 1/1802. Lihat juga: Fath al-Kabir, 6/48; hadis nomor 20038 [hadis hasan]).
Dari dalil tersebut jelas bahwa ahlu dzimmah sama halnya seperti kaum Muslim, mendapatkan jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang sama yaitu berlandaskan syariat. Beberapa riwayat sahih juga menunjukkan bagaimana khilafah dapat menciptakan kedamaian dan menegakkan hukum secara adil. Sebagaimana pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththab, ketika ada kaum Muslim yang menyerobot dan mendirikan masjid di atas tanah milik seorang Yahudi yang merupakan ahlu dzimmah, maka Khalifah Umar memerintahkan agar masjid tersebut dirubuhkan dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi tersebut. Juga ketika ada seorang warga Kristen Koptik di Mesir yang mendapat tindakan kekerasan dari Gubernur Mesir Amr bin al-‘Ash ra. dan putranya. Lalu Khalifah Umar menjatuhkan sanksi qishash atas mereka.
Thomas Walker Arnold, seorang sejarawan berkebangsaan Inggris dalam bukunya, The Preaching of Islam juga menuliskan bagaimana Sultan Muhammad II, Sang Penakluk Konstantinopel, menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani dan melarang keras penindasan pada kaum Kristen. Begitu pula toleransi keagamaan dan perlindungan yang didapatkan non-Muslim di Eropa membuat mereka mengakui kepemimpinan Daulah Utsmaniyah dan Ottoman serta tunduk pada hukum Islam.
Banyak sekali catatan lainnya yang menunjukkan bahwa keberadaan khilafah justru menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Keadilan dari hukum Islam yang diterapkan dan jaminan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan seperti yang diatur oleh syariah dapat meredam konflik dan menghadirkan keharmonisan di tengah-tengah masyarakat.
Tidak heran bila Islam dapat menguasai 2/3 wilayah dunia selama 14 abad tanpa banyaknya pertumpahan darah. Banyak non-Muslim yang berbondong-bondong masuk Islam dan menyatakan ketundukannya kepada khilafah karena merasakan bahwa penerapan Islam membawa kebaikan bagi mereka dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.
Sungguh, tegaknya Islam melalui Khilafah adalah solusi dari segala problematika umat. Penghinaan dan fitnah terhadap Islam beserta ajarannya merupakan sebuah kezaliman dan seorang Muslim tidak boleh membiarkan kezaliman ini terus terjadi. Sudah seharusnya umat Muslim menjadi benteng pertahanan dalam melindungi Islam dan ikut berperan dalam tegaknya Islam melalui amar ma’ruf nahi munkar. []
Posting Komentar