Perjanjian UEA-Israel: Bukti Pengkhianatan Terhadap Ummat Islam
Oleh: Ummu Syahidah, M.Si
Penamabda.com - “HUGE breakthrough today! Historic peace Agreement between our two GREAT Friend, Israel and The United Arab Emirates.” Trump said on Twitter
Presiden Amerika, Donald Trump mengumumkan terjadinya perjanjian damai antara Uni Emirat Arab (UEA) dengan Israel, pada 13 Agustus 2020. Perjanjian hubungan diplomatik keduanya juga disebut Abraham Accord, perjanjian yang diinisiasi oleh AS. Pengumuman ini menjadikan UEA sebagai Negara pertama di Teluk Arab dan negara Arab ketiga yang membuka pintu perdamaian dan kerjasama dengan Israel setelah Mesir pada 1979 dan Yordania pada 1994. Trump mencuit pernyataan bersama ketiga negara, dan kemudian mengatakan kepada wartawan di Ruang Oval bahwa kesepakatan ini merupakan “momentum yang sangat bersejarah.” (voaindonesia.com).
Kedua negara akan melakukan kerjasama dalam hal investasi, pariwisata, penerbangan langsung, keamanan dan telekomunikasi serta lain-lain. Mereka juga akan membahas pendirian kedutaan dan sebagai bagian dari kesepakatan itu juga, Israel telah setuju untuk menangguhkan namun tidak membatalkan rencana mencaplok wilayah lain di Tepi Barat yang didudukinya.(republika.co.id). Dengan kata lain bahwa yang dialami rakyat Palestina bertahun-tahun lamanya tidaklah menjadi penting untuk dipersoalkan. Selama saling menguntungkan bagi kedua negara yang bekerjasama, maka persoalan yang terjadi di luar dari kekuasaan negaranya tidak menjadi penghalang.
Inilah bukti lemahnya persaudaraan ummat Islam akibat adanya sekat-sekat nasionalisme. Batasan teritorial menjadi pembatas bagi saudara muslim yang satu dengan yang lainnya untuk saling tolong menolong. Padahal, Rasulullah SAW mengumpamakan ummat Islam sebagai satu tubuh. “Perumpamaan kaum Muslimin dalam urusan kasih sayang dan tolong menolong bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh badan hingga tidak dapat tidur dan (merasa) panas.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain itu, bergesernya tujuan kepemimpinan ummat Islam ke arah kepentingan dan keuntungan materi semata. Padahal, tujuan kepemimpinan adalah menerapkan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya agar ketaatan dan ketaqwaan setiap manusia dapat terwujud. Syariat juga telah mengatur tentang bagaimana hubungan antar negara. Hubungan dengan negara yang memerangi ummat Islam secara terang-terang membantai dan merampas wilayahnya merupakan sesuatu hal yang tidak dibenarkan dalam Islam. Negara itu disebut sebagai negara Kafir Harbi Fi’lan.
Pandangan Islam tentang Hubungan dengan Negara Kafir Penjajah
Dalam pandangan Syariat, Kafir harbi, terbagi menjadi 2 yaitu: kafir harbi hukman (kafir harbi secara hukum/ de jure) dan kafir harbi fi’lan (kafir harbi secara nyata/de facto). Hubungan umat Islam dengan kafir harbi hukman didasarkan pada apa yang terkandung dalam teks-teks perjanjian yang ada. Adapun kafir harbi fi’lan adalah warga negara dan negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan Daulah Islamiyah. Negara ini dibagi lagi menjadi dua. Pertama, jika negara tersebut sedang berperang secara nyata dengan umat Islam, ia disebut ad-dawlah al-kafirah al -harbiyah al-muhâribah bi al-fi’li (negara kafir harbi yang benar-benar sedang memerangi umat Islam secara nyata). Kedua, jika sebuah negara kafir tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam, Ia dikategorikan sebagai ad-dawlah al-kâfirah alharbiyah ghayru al-muharibah bi al-fi’li (negara kafir harbi yang tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam).
Adapun hukum di antara keduanya, jika sebuah negara kafir masuk kategori pertama, yakni sedang berperang secara nyata dengan dengan umat Islam, maka asas interaksinya adalah interaksi perang; tidak boleh ada perjanjian apa pun dengan negara kafir seperti ini, misalnya penjanjian politik (seperti hubungan diplomasi), perjanjian ekonomi (seperti ekspor-impor), dan sebagainya. Perjanjian hanya boleh ada setelah ada perdamaian (ash-shulh). Warga negaranya tidak diberi izin masuk ke dalam negara Khilafah, kecuali jika dia datang untuk mendengar kalamullah (mempelajari Islam), atau untuk menjadi dzimmi dalam naungan negara Khilafah. Jika warga negara dari negara kafir ini tetap masuk ke negara Khilafah, bukan untuk mendengar kalamullah, juga bukan untuk menjadi dzimmi, maka jiwa dan hartanya halal, yaitu dia boleh dibunuh, atau dijadikan tawanan, dan hartanya boleh diambil. (Mediaumat.news).
Maka sangat jelas bahwa negara-negara kafir harbi fi’lan seperti Israel, hubungan yang terjadi terhadapnya adalah hubungan perang (keadaan perang) bukan hubungan perdamaian. Interaksi antara negara-negara kafir harbi fi’lan seperti dalam keadaan perang langsung, sama saja apakah antara kita dengan negara-negara tersebut ada perjanjian atau tidak. Seluruh warga negara kafir harby fi’lan dilarang masuk ke dalam negara Islam, dan seluruh harta dan jiwa mereka halal, kecuali kaum muslim yang tinggal di sana. Tentunya, aturan ini tidaklah berdiri sendiri, hadirnya kepemimpinan Islam dalam institusi yang satu yakni Daulah Khilafah Islamiyah yang mampu untuk merealisasikan aturan-aturan tersebut.
Urgensi Kebersatuan Ummat Islam
Menilai keputusan UEA sebagai negara Arab mayoritas muslim merupakan sejarah pengkhianatan terhadap ummat Islam. Menyebabkan tersakitinya saudara Muslim yang mengalami penindasan oleh Negara dan antek penjajah, padahal Allah memerintahkan kepada kita untuk saling menyayangi dan tidak saling menyakiti. Saling membela walau ia tidak berada di dekat kita.
Oleh sebab itu, sebagai wujud ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan semangat perjuangan ingin menerapkan aturan-aturan-Nya maka sangat urgent bagi kita sebagai ummat Islam untuk bersatu dalam naungan yang satu. Dengan adanya kesatuan ummat Islam menjadikan kita kuat dan tidak tercerai berai sebagaimana yang terjadi saat ini. Sehingga, keberkahan dari langit dan bumi dapat kita rasakan. Sebagaimana firman Allah SWT “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri ini beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (TQS. Al Araf:96).
Wallahu ‘alam bishawab.
Posting Komentar