Demokrasi Penuh Kepalsuan
Oleh : Devita Deandra (Aktivis Dakwah)
Penamabda.com - Survei opini publik yang dilakukan oleh Lembaga Indikator Politik Indonesia menyatakan bahwa 79,6 persen warga semakin takut menyuarakan pendapatnya (Merdeka.com, 25/10/20). “Mayoritas publik cenderung setuju dan sangat setuju bahwa saat ini warga semakin takut menyuarakan pendapat 79,6 persen, semakin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes 73,8 persen, dan aparat dinilai semena – mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa 57,7 persen” ungkap Burhanuddin Muhtadi selaku Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.
Dikutip dari CNN Indonesia – Rentetan tudingan bahwa rezim Joko Widodo identik dengan zaman orde baru. Tudingan ini bukan baru terdengar pertama kali di tengah demo tolak UU Ciptaker. Prabowo Subianto – Sandiaga Uno pernah menyinggung soal gaya otoriter orde baru Jokowi dalam dalil permohonan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana juga pernah menyinggung gaya orde baru di rezim Jokowi saat mengkritisi dugaan teror pada diskusi yang diselenggarakan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dengan topik pemberhentian presiden berujung pembatalan. Menurutnya, kejadian itu menunjukkan karakter otoritarianisme yang kembali muncul.
Menurut Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan setidaknya terdapat tiga indikator yang bisa mengonfirmasi ragam tudingan publik bahwa rezim Jokowi identik dengan orde baru.
Adapun menurut Khoirul, terlihat dari 'perselingkuhan' antara kekuatan bisnis dan kekuasaan yang semakin vulgar terjadi. Menurutnya, perselingkuhan itu telah terlihat sejak pengesahan revisi UU KPK hingga pengesahan UU Minerba dan UU Ciptaker.
Hal senada, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan tudingan mengidentikkan rezim Jokowi dengan orba tidak mungkin ada jika Jokowi tidak melakukan yang dianggap publik sebagai tindakan otoriter. Menurutnya, salah satu indikasi yang bisa mengidentikkan rezim Jokowi dengan orba adalah penangkapan sejumlah masyarakat yang mengkritik pemerintah lewat media sosial.
Menanggapi survei tersebut. Memanglah semua tak lepas dari sistem sekuler yang hari ini diterapkan dalam negeri-negeri muslim didunia termasuk Indonesia. Berulang kali Demokrasi telah menampakkan kepalsuannya, Demokrasi yang disebut-sebut mewadahi perbedaan faktanya, sikap kritis rakyat terhadap penguasa dibungkam. Apabila mengganggu kepentingan korporasi. Terbukti oleh banyaknya standar ganda dalam menyikapi kritik rakyat, padahal semboyan suara rakyat suara tuhan itu pula asas dari demokrasi itu sendiri, namun mengapa ketika rakyat bersuara terlebih mengenai kebijakan penguasa justru dianggap berbahaya?
Bahkan tak jarang tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap sejumlah kalangan yang berani mengkritik seringnya menjadi andalan rezim, bukankah sikap demikian mencerminkan kekejaman penguasa? Ironis, berbagai macam cara dilakukan untuk membungkam aspirasi rakyat, propaganda-propaganda kejam dan zalim akan mereka lakukan hingga rakyat bertekuk lutut pada keputusan penguasa. Penguasa hanya akan memberikan ruang kebebasan pada mereka yang sejalan dengan kebijakannya, padahal kebijakan tersebut menyakiti dan mengkhianati rakyat.
Memanglah sistem demokrasi hanya melahirkan negara korporasi dan negara polisi (represi). Slogan mewadahi perbedaan hanyalah retorika belaka. Maraknya kasus hukum menunjukkan lemahnya supremasi hukum negara ini. Padahal kebebasan mengungkapkan pendapat di muka umum sudah diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 baik berupa sebuah forum diskusi maupun aksi yang dilakukan oleh warga dalam menolak UU yang dikeluarkan negara termasuk Ciptaker.
Namun inilah standar ganda sistem kapitalisme demokrasi yang menjadi biang kerok munculnya pembungkaman sikap kritis rakyat, ketika keserakahan kapitalis atas negeri ini terus dibiarkan, sementara rakyat terus dipalak pajak, hukum tajam keatas tumpul kebawah maka kemiskinan, kesenjangan, kedzoliman terus terpelihara. Akibatnya akan timbul reaksi keras perlawanan, mulai aksi jalanan yang damai hingga anarkis bahkan sampai kekerasan fisik.
Memanglah asas Demokrasi tak sama dengan Islam. Demokrasi penuh kepalsuan, sementara sistem Islam yakni Khilafah adalah sistem pemerintahan yang sangat menghargai pendapat, terlebih untuk kemaslahatan rakyat, itulah mengapa sistem ini terbukti menjerahterakan selama 14 abad lamanya.
Islam menghargai setiap aspirasi umat, kritikan umat didengar oleh pemimpin, warga diberikan ruang untuk memberikan aspirasinya demi kemajuan bangsa dan negara.
Khilafah Islam bukan negara anti kritik, sistem Islam menetapkan standar dan batasan yang baku dalam menyikapi perbedaan pandangan antara rakyat dengan hukum. Tidak akan ada standar ganda dalam melihat perbedaan pendapat.
Seorang Khalifah atau kepala negara akan mendengarkan setiap aspirasi rakyatnya, dan menyadari serta merubah kebijakkannya ketika itu tidak sesuai dengan al Qur'an dan as-Sunah dan tak akan memberikan mudarat yang menyengsarakan umat. Sebab dalam Islam secara jelas Allah Swt. memerintahkan umat Islam untuk menyerukan kebenaran dan mencegah keburukkan tercantum dalam surat Ali Imran (3) : 110 "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tengah-tengah manusia agar kalian memerintahkan kebajikkan dan mencegah kemungkaran sementara kalian beriman kepada Allah."
Mengoreksi penguasa suatu kewajiban umat tentu berdasarkan Syariat Islam. Hal ini dilakukan semata-mata kecintaan umat pada pemimpinnya, karena beratnya pertanggungjawaban seorang pemimpin dalam Islam agar Ia tak tergelincir dalam kemaksiatan yang akan menghantarkannya kepada penderitaan di akhirat kelak. Dengan demikian kritik dalam pandangan Islam bukanlah sebuah ancaman melainkan sebuah nasehat serta koreksi atas kebijakan yang tak sesuai dengan Al-qur'an dan As'sunnah, pun dengan cara demikian seorang pemimpin (Khalifah) akan terjaga dari kebijakan yang lahir dari hawa nafsu semata.
Wallahua’lam []
Posting Komentar