Ironi Papua Akibat Penerapan Demokrasi-Kapitalisme
Penamabda.com - Dikutip dari news.detik.com (14/11), masyarakat suku Malind yang tinggal di pedalaman Papua perlahan kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung. Hutan adat tersebut kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit. “Saya menangis, saya sedih kenapa saya punya hutan, alam Papua yang begini indah, yang tete nenek moyang wariskan untuk kami anak-cucu, kami jaga hutah ini dengan baik. Kami tidak pernah bongkar hutan, tapi orang dari luar bongkar itu. Buat saya itu luka,” kata perempuan suku Malind, Elisabeth Ndiwaen.
Sementara, ketua marga Kinggo dari suku Mandobo, Petrus Kinggo berkukuh mempertahankan hutan adatnya di Distrik Jair, Boven Digoel. Dia menolak hutan adatnya dijadikan kebun kelapa sawit. Dia mengatakan, sagu yang menjadi makanan pokok masyarakat Papua lambat laun tergusur kebun kelapa sawit.
Hutan Papua ini merupakan salah satu hutan hujan yang tersisa di dunia dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Lebih dari 60 persen keragaman hayati Indonesia ada di sana. Akan tetapi, anak usaha perusahaan Korea Selatan (Korsel), Korindo Group menguasai lebih banyak lahan di Papua daripada konglomerasi lainnya. Perusahaan ini telah membuka hutan Papua lebih dari 57 ribu hektar, atau hampir seluas Seoul, ibukota Korsel.
Hutan Papua Terbakar Karena Bara Liberalisasi
Untuk kesekian kalinya, kasus kebakaran hutan kembali terjadi. Di hamparan hutan Papua, investigasi bersama Greenpeace International dengan Forensic Architecture menemukan dugaan anak usaha perusahaan Korea Selatan, Korindo Group melakukan pembakaran di provinsi itu secara sengaja untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Temuan Greenpeace itu pun dibantah oleh Korindo Group. Perusahaan menyatakan bahwa informasi tersebut tidak benar.
Dalam penelitian tersebut, tim gabungan dua organisasi menggunakan citra satelit NASA dan data yang dikumpulkan dari rekaman video survei udara untuk mengidentifikasi sumber panas dari kebakaran lahan yang berlokasi di Merauke, Papua. Dengan itu, tim peneliti menemukan pola deforestasi dan kebakaran tersebut menunjukkan bahwa kebakaran lahan menggunakan api.
“Jika kebakaran di konsesi Korindo terjadi secara alami, kerusakan lahannya tidak akan teratur,” kata peneliti senior Forensic Architecture, Samaneh Moafy. “Namun, setelah dilacak dari pergerakan deforestasi dan kebakaran dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa hal itu jelas terjadi secara berurutan dengan kebakaran yang mengikuti arah pembukaan lahan dari Barat ke Timur dan terjadi secara besar-besaran di dalam batas konsesi Korindo,” ujarnya(http://m.cnnindonesia.com, 13/11/2020.
Jika menilik dengan teliti kasus di atas, sejatinya ‘tak akan ada asap, jika tak ada api.’ Tak mungkin ada kebakaran hutan, jika tidak ada yang membakarnya. Dari investigasi Forensic Architecture dan Greenpeace ini mengindikasikan bahwa kebakaran yang terjadi jelas agenda yang terencana manusia serakah dengan tujuan membuka lahan untuk kebutuhan yang sangat luas. Meski pihak tertuduh yaitu Korindo Group membantah, namun silat lidah mereka begitu sulit dipercaya.
Sebagaimana keterangan Petrus Kinggo, Ketua Marga disana, bahwa 6 tahun lalu dia turut memuluskan langkah Korindo melakukan ekspansi kebun sawit di Boven Digoel yang kini menjadi area konsesi anak usaha Korindo, PT Tunas Sawa Erma (TSE). Petrus ditugaskan “mempengaruhi” marga-marga lain agar mau melepas hutan adat mereka dengan berbagai janji dari perusahaan. Mulai dari honor, tanggungan pendidikan anak, rumah bantuan, sumur air dan lain-lain yang kesemuanya janji kosong. Akhirnya, pada 2015 marga pemilik ulayat melepas hutan adat mereka dengan menerima ganti rugi Rp.100 ribu untuk tiap hektar yang kini menjadi area PT Tunas Sawa Erma POP-E seluas lebih dari 19.000 hektar. Petrus menambahkan Korindo juga memberikan uang permisi senilai Rp.1 miliar.
Dalam responnya terhadap pertanyaan BBC, Korindo menjelaskan bahwa pihaknya telah membayar sejumlah ganti rugi masing-masing sebesar Rp.100 ribu per hektar untuk pohon dan lahan. “Jumlah dari kedua ganti rugi adalah Rp.200.000,” kata Manajer Humas Korindo, Yulian Mohammad Riza, dalam keterangan tertulis.
Ia menegaskan, kesepakatan lahan tersebut sudah sesuai dengan regulasi di Indonesia bahwa kepemilikan legal atas tanah terletak pada pemerintah Indonesia, bukan masyarakat adat yang memegang hak ulayat atas tanah tersebut. Namun, Pertus yang menganggap hutan adat sebagai “hak dan wilayah kehidupan” merasa dicurangi perusahaan (Kompas.com).
Di Indonesia, pemberian izin kepada perusahaan asing untuk menjarah dengan merusak ekosistem dalam negeri tanpa mempedulikan nasib rakyat, bukanlah hal yang baru terjadi. Ini menjadi sesuatu yang wajar karena pemerintah hadir sebagai regulator sekaligus operator bagi asing untuk mengeksploitasi negara. Mereka membuka akses besar terhadap para korporasi kelas naga (asing), yang orientasinya tak semata demi kepentingan negara melainkan akan berhitung soal kompensasi yang akan diperoleh. Seperti pembakaran hutan, pengerukan tambang dan sebagainya hingga tak tersisa bukan menjadi suatu hal yang patut dikhawatirkan, selama bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah. Maklumlah, sistem politik-ekonomi negeri ini memang meniscayakan demikian.
Demokrasi dengan sistem pijakannya kapitalisme merupakan sistem yang menjamin kebebasan seluas-luasnya kepada penguasa untuk berselingkuh dengan asing, melayani keberadaan mereka agar leluasa menguasai lahan dan merampas kekayaan alam di negeri ini. Padahal berbagai regulasi UU atas perlindungannya begitu jelas dicantumkan. Terkait pembakaran hutan dan lahan, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Irwan menegaskan, hal ini sudah jelas bentuk pelanggaran dan diancam denda serta pidana sebagaimana diatur dalam beberapa Undang-Undang. “Ketentuan tersebut sangat jelas dan tegas tercantum dalam berbagai regulasi seperti Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 78, Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 69 dan 108 serta Undang-Undang 39/2014 tentang Perkebunan Pasal 56 dan 108,” paparnya (http://nasional.okezone.com, 15/11/2020).
Sayangnya, jamak diketahui bahwa sudah menjadi favorit rezim negeri ini dalam menjalankan kebijakan yang kerap menabrak aturan ala demokrasi, mengutak-atiknya sesuai kepentingan patrnernya. Apalagi dengan disahkannya UU Omnibus law Cipta Kerja yang diduga kuat memihak kepada pemodal (asing) akan semakin memuluskan hasrat intervensi mereka. Meski Papua sendiri telah memliki UU atas hak otonomi disana, tetapi dengan hadirnya regulasi ini akan melumpukan penerapan UU yang telah ditetapkan. Ironis, jika hak rakyat selalu dikebiri demi memuaskan keserakahan penguasa. Kebijakan demi kebijakan pemerintah cenderung pro asing, merangkul asing hingga berkhianat terhadap amanat UU.
Memang, bukan hal baru jika demokrasi-kapitalisme ini gagal menjaga kedaulatan negara dan hanya mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat. Makin komplit penderitaan mereka, ketika di bawah jaminan sistem ini para kapital bebas bersuara dalam menguntungkan kaumnya, sedangkan rakyat hanya berderai air mata melihat nasibnya yang luntang-lantung. Di bawah kekuasaan sistem ini hak rakyat diabaikan. Adanya kebebasan yang diberikan untuk para kapital menjadi andalan bagi mereka yang bernafsu merampas kekayaan sumber daya alam (hutan, lahan, tambang, dan lainnya) atas nama liberalisasi. Jual beli kebijakan dan hak milik dengan harga murah sudah mendarah daging bagi penguasa di bawah naungannya.
Selama Indonesia tetap menerapkan sistem kapitalis, efek buruk sistem ini tidak akan bergeser sedikitpun. Selama masih berpredikat negara kapitalis, sesungguhnya tidak akan lepas dari pengaruh asing, yang mengembangkan logika ekonomi kapitalisme, mendikte keputusan politik yang menguntungkan kepentingan kapital. Kapitalisme pencipta kemelaratan, sistem penyubur cengkraman asing, cengkraman Penjajah atas Papua dan dunia Islam keseluruhan.
Sistem Islam Melindungi SDA
Kondisi buruk negeri ini tidak bisa disepelekan lagi. Rakyat butuh solusi tuntas guna menciptakan perbaikan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk problematika lahan dan hutan sebagaimana masalah di atas. Namun, demokrasi-kapitalisme sudah nyata gagal dalam menghadirkan solusi itu. Dengan demikian, rakyat butuh sistem alternatif terbaik bagi dunia, dan hal itu tidak lain adalah Islam.
Islam mempunyai sistem yang mampu mendatangkan kesejahteraan, keteraturan kehidupan manusia dan kebahagiaan. Islam mengatur harta yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk dimiliki, dimanfaatkan, dikembangkan dan didistribusikan secara sah sesuai dengan yang diperintahkan oleh-Nya. Dalam pengaturan perekonomian negara, Islam menjalankannya dalam bangunan yang konsisten. Kekayaan alam akan dikelola oleh negara yang hasilnya akan dinikmati oleh rakyat, bukan swasta apalagi kepada negara asing seperti Korea, AS, China dan lainnya. Islam melarang dalam kerjasama dengan negara kafir imperialis (Harbi) yang secara jelas menetang Islam, sehingga negeri dapat makmur tanpa bayang-bayang asing yang ingin menancapkan pengaruhnya untuk mengeruk habis SDA, yang tidak hanya mengeruk tambang tetapi juga hutan, laut, tanah dan sebagainya. Umat akan bebas, termasuk Papua dapat hidup dengan harta yang berasal dari Allah Subhanahu wa ta’ala dengan pengelolaan yang baik dengan aturan yang datang dari Sang Pencipta.
Jika menyangkut kebijakan, dalam hal penetapannya pemimpin ideologis yang lahir darinya berani untuk menolak setiap intervensi asing. Kepada mereka, meski ada keuntungan secara materi, kerjasama tidak akan dilakukan bila berpotensi menghilangkan kedaulatan dan menjadi pintu kemaksiatan. Secara tegas, Islam melarang apapun yang menjadi pintu bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin.
Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan: ”Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepadaorang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (Q.s. An-Nisa [4]: 141). Artinya, haram bagi kaum Mukmin untuk membiarkan orang asing (kafir) untuk menguasai atau mengintervensi mereka (lihat, Aisar at-Tafsir, 1/308-309).
Dari sini, setiap jengkal pemberian Allah, baik itu lahan, hutan, tambang ataupun kekayaan alam lainnya yang diamanahkan kepada pemimpin ideologis, maka akan tetap terjaga secara utuh, kemudian pengelolaannya akan dikembalikan kepada Syara’, bukan manusia. Semua ini hanya akan terjadi jika umat mengembalikan hak penetapan aturan hukum hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara memberlakukan syariah Islam dan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan kita agar kesejahteraan dan kedamaian dapat dirasakan di negeri tercinta kita ini. Bukan hanya di negeri ini tetapi juga seluruh belahan dunia. Tanpa itu, umat akan tetap menjadi manusia yang terjajah. Wallahu a’lam bi shawab.
Oleh: Mustika Lestari (Pemerhati Sosial)
Posting Komentar