Membela Nabi, Bukti Cinta Kita Padanya
Oleh : Afifah Nur Amalina Asfa
Kasus Islamophobia kembali terjadi. Bulan September 2020 lalu, Majalah Charlie Hebdo kembali menerbitkan kartun Nabi Muhammad. Charlie Hebdo merupakan perusahaan surat kabar yang memiliki reputasi untuk membela otoritas, menghadapi apa yang dianggap sakral atau mempertanyakan kelompok mana pun yang mengklaim supremasi. Selain itu, surat kabar ini pernah mencetak banyak gambar yang menghina Nabi Muhammad pada tahun 2015, padahal telah jelas bahwa Islam melarang untuk menggambar Nabi.
Tak lama setelah penerbitan kartun Nabi Muhammad, yakni pada 2 Oktober 2020, Emmanuel Macron, Presiden Prancis menyampaikan pidato mengenai separatisme Islamis. Ia mengungkapkan bahwa Islam merupakan agama yang sedang mengalami krisis.
Tak berhenti sampai situ, Islamophobia Macron kembali muncul selepas Samuel Paty, guru sejarah tewas pada 16 Oktober 2020 akibat pernah menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada beberapa siswanya. Macron menuduh bahwa kematian guru sejarah tersebut akibat dari teroris Islam dan ulah Muslim yang bersifat separatis. Bahkan Macron juga mendukung penerbitan kartun Nabi Muhammad, dengan dalih kebebasan berekspresi dari tiap individu atau kelompok.
Perilaku Macron serta Majalah Charlie Hebdo tersebut menyulut kemarahan umat Muslim dari berbagai belahan dunia. Umat Muslim senantiasa dituduh dalam melakukan kekerasan. Kata teroris senantiasa disandingkan kepada Islam. Padahal nyatanya tidak demikian, Islam merupakan agama yang hadir untuk membawa kedamaian bagi seluruh alam. Dalam penyebarannya, Islam tidak pernah disebarkan oleh Nabi Muhammad khusunya dengan cara kekerasan, justru dengan kerendahan hati dan kemuliaan akhlak yang beliau punya, Islam bisa tersebar dan berkembang pesat seperti saat ini.
Maka wajar, bahkan wajib, kita sebagai umat Muslim marah ketika Nabi Muhammad dihina. Bayangkan saja, ketika kita, orangtua, ataupun organisasi kita dihina, pastinya kita akan marah. Apalagi jika Nabi kita, Nabi Muhammad SAW dihina, wajib bagi kita untuk menunjukkan sikap marah dan tidak terima atas penghinaan tersebut. Hal ini menunjukkan rasa cinta kita kepada beliau. Apalagi cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW harus lebih besar dari seluruh manusia yang ada di bumi, sehingga tingkat kepekaan kita kepada Nabi Muhammad harus berada di puncak. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhamad SAW,
“Tidak sempurna keimanan setiap kalian sampai aku lebih kalian cintai daripada orang tua kalian, daripada anak kalian, dan daripada seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ahlus Sunnah mencintai Nabi Muhammad SAW dan mengagungkannya sebagaimana para Sahabat R.A. mencintai Nabi Muhammad SAW lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka, sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab R.A., yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam R.A., ia berkata:
“Kami mengiringi Nabi SAW, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khaththab R.A. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi SAW: ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku.’ Maka Nabi SAW menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sekarang (engkau benar).”
Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah, sebab mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengikuti sekaligus keharusan dalam mencintai Allah. Mencintai Rasulullah adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.
Orang yang beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah, dan ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagai-mana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.”
Salah satu tanda mencintai Nabi adalah kemauan kita untuk berkorban dalam membela Nabi SAW. Namun alangkah lebih baik ketika membela Nabi, kita bisa mengambil peran sesuai dengan wewenang kita yang diatur oleh syariat. Syaikh Shalih bin ‘Abdillah Al-‘Ushaimi menjelaskan,
“Kedudukan kaum muslimin ketika membela Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam ada beberapa tingkatan secara syariat. Ada wewenang dari pemerintah/ulil amri, ada wewenang dari ulama, dan ada wewenang dari masyarakat awam (rakyat biasa). Penjelasannya ada dalam buku dan tulisan para ulama. Seorang muslim harus mengetahuinya dan menjauhi terjerumus dalam hal-hal yang menyelisihi syariat agar pembelaan tersebut sesuai dengan sasaran, mendapatkan pahala, dan tidak menjadi sebuah dosa.”
Namun bukan berarti kita boleh untuk berdiam diri saja ketika Nabi Muhammad dihina. Ketika umat Muslim hanya berdiam diri saja, maka penistaan ini kian menjadi-jadi. Selain itu, orang yang hanya berdiam diri saja akan mendapatkan dosa karena telah mendiamkan kemungkaran. Bahkan, Imam asy-Syafii menyindir kepada orang yang diam saat agamanya dihina:
“Siapa yang dibuat marah namun tidak marah maka ia adalah keledai.” (HR al-Baihaqi).
Dengan membela Nabi, InsyaAllah akan banyak keutamaan yang kelak Allah berikan untuk kita yang mempertahankan mahabbah (kecintaan) kepada Allah dan Nabi SAW di atas segalanya. Di antaranya, kita akan dikumpulkan bersama Nabi SAW di surga-Nya kelak.
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Hari Kiamat, “Kapan Hari Kiamat itu?” Nabi bertanya, “Apa yang sudah engkau siapkan untuk menghadapinya?” Dia menjawab, “Tidak ada, kecuali aku sungguh sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Lalu beliau bersabda: “Engkau akan bersama dengan yang engkau cintai.” (HR al-Bukhari).
Wallahu a'lam
Posting Komentar