Gurita Korupsi di Negara Demokrasi
Oleh: Yun Rahmawati, Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Kasus korupsi seakan tak pernah sepi
dari pemberitaan di negeri ini. Dari waktu ke waktu, dari rezim satu ke rezim
berikutnya pelaku korupsi silih berganti memenuhi ruang televisi, mengoyak isi
hati, miris. Rakyat senantiasa disuguhi informasi yang bikin sesak dan
pemandangan yang bikin muak.
Bagaimana tidak, dengan enteng mereka
menilap uang rakyat, berfoya-foya di atas kesulitan rakyat. Sudah hidup mewah bergelimang harta tetapi masih
belum puas. Pas sedang naas barulah sepak terjang mereka diberantas. Kadang
pelaku korupsi yang tertangkap tangan kemudian diberitakan dan ditampakkan
wajahnya di media televisi menunjukkan wajah yang innocent seakan tidak bersalah, penuh senyuman lengkap dengan
lambaian tangan ke kamera manakala
digiring ke ruang sidang.
Yang lebih menyakitkan saat ada
dipersidangan para koruptor mendadak jadi islami dengan menutup aurat memakai
kerudung yang menjuntai menutup dada. Seakan kerudung tersebut untuk menutupi
kejahatannya.
Kenapa kasus korupsi tak pernah mati,
seakan jerat-jerat kejahatannya telah menggurita di setiap sendi pada lembaga
di negeri ini? Bisa jadi karena lemahnya pengawasan dan ringannya jenis hukuman
sehingga memudahkan niat siapa saja untuk berlaku curang. Selain itu tidak bisa
dilepaskan dari sistem yang menaunginya meniscayakan kejahatan dari kaum
berdasi akan terus berulang.
Demokrasi menjadikan korupsi terjadi
hampir di setiap pilar-pilar baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Tercatat selama
periode 2014-2019, 23 anggota DPR Pusat terjerat dalam kasus korupsi. Data ICW
(Indonesian Corruption Watch) mencatat 259 anggota dari mantan anggota periode
2014-2019 terjerat kasus korupsi.
Berbagai wacana digulirkan untuk
meminimalisir tingginya angka kejahatan yang dilakukan oleh kaum berpendidikan.
Salah satu gagasan yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi di masa awal
kepemimpinannya adalah gerakan revolusi mental. Pada kenyataannya skandal
korupsi terus bermunculan. Masih hangat dalam ingatan saat Kejaksaan Agung
Indonesia mengusut skandal BUMN (Badan Usaha Milik Negara) PT. Asuransi
Jiwasraya yang ditenggarai merugikan negara Rp. 13,7 triliun. Tak lama
berselang mencuat lagi kepermukaan skandal korupsi yang tak kalah besar menimpa
PT. Asabri, diperkirakan nilainya diatas 10 triliun rupiah.
Menutup tahun 2020 ini khalayak kembali dikejutkan pemberitaan mengenai kasus korupsi. Terungkapnya skandal yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo atas sangkaan suap terkait izin ekspor benih lobster. Dilengkapi pula kegemasan rakyat atas ulah pejabat lain dengan munculnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara.
Di masa pandemi ini, disaat sebagian
besar rakyat sedang mengalami penderitaan diakibatkan sulitnya ekonomi, ditimpa
berbagai macam penyakit di antaranya terpapar Covid-19 justru dana bantuan
sosial tersebut diselewengkan oleh menteri sosial sebesar 17 triliun rupiah. Inilah
gurita korupsi di negara demokrasi yang kian menjadi.
Kerusakan yang ditampakkan oleh sistem demokrasi
kapitalisme sekuler telah nyata di depan mata, seharusnya rakyat mencampakkan
sistem bobrok tersebut. Sistem yang melahirkan pejabat-pejabat bermental korup
karena mereka memegang jabatan hasil kongkalingkong dengan para kapital atau
pemilik modal.
Modal politik di dalam demokrasi
membutuhkan biaya yang besar, selain mengeluarkan uang dari kocek sendiri
mereka menerima bantuan dari para cukong berkantong tebal. Setelah berkuasa
tentu harus mengembalikan modal politik kepada pemberi modal. Sementara gaji
mereka tidak cukup untuk membayar utang. Maka, jalan paling mudah untuk itu
dengan cara korupsi dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan yang mereka
miliki.
Demokrasi juga memberikan keleluasaan
kepada manusia untuk membuat hukum. Mereka melegislasi hukum kemudian menjual
produk hukum tersebut kepada pemilik modal. Para pemodal akan membayar berapa
saja agar undang-undang yang dibuat menguntungkan kepentingan bisnis mereka.
Politik transaksional inilah yang menyuburkan kasus korupsi.
Jalan untuk melepaskan penderitaan
rakyat dan menyelamatkan Indonesia dari gurita korupsi yang dilakukan oleh para
politikus berdasi sesungguhnya ada pada Islam. Di dalam Islam hak membuat hukum
hanyalah milik Allah. Firman Allah SWT
dalam Surah Yusuf ayat 40 yang artinya, “Keputusan membuat hukum itu
hanyalah milik Allah.”
Sanksi hukum dalam sistem Islam
memberikan rasa keadilan atas keputusan yang diterima baik oleh pelaku
kejahatan dan korban kejahatan. Sanksi hukum dalam memberikan hukuman
menimbulkan efek jera sehingga tidak melahirkan kasus lanjutan.
Adapun untuk korupsi masuk ke dalam
jenis ta'zir, yaitu sanksi yang kadar
hukumannya diserahkan kepada Qadhi dan tergantung pada berat atau ringannya
kejahatan yang dilakukan. Jenis hukuman ta'zir
bermacam-macam, bisa hukuman mati, hukuman jilid, pemenjaraan, pengasingan,
pemboikotan, disalib, pemusnahan harta, ganti rugi dan diumumkan atas
kejahatannya sebagai bentuk sanksi sosial.
Sudah saatnya kita kembali kepada hukum
Islam. Berhukum pada hukum-hukum Allah secara total dan menyeluruh. Hidup dalam
aturan Allah sebagai bukti keimanan dan ketakwaan. Mari tinggalkan demokrasi,
jadikan khilafah sebagai pengganti.[]
Posting Komentar