Hak Hidup Lebih Penting daripada Hak Konstitusi
Penamabda.com - Badai Covid-19 masih deras menerjang, namun gelaran pilkada
serentak 2020 dipastikan akan terus melenggang. Hari pemungutan suara pilkada
serentak akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang. Sejumlah 100.359.152
orang di 309 kabupaten atau kota telah tercatat dalam daftar pemilih tetap
pilkada serentak 2020.
Meskipun banyak pihak telah menyarankan agar pelaksanaan
pilkada ditunda hingga pandemi mereda, namun pihak pemerintah berkeras
melanjutkan pilkada sesuai yang dijadwalkan, karena khawatir resiko kekosongan
jabatan setelah masa jabatan kepala daerah habis. Padahal menurut data yang
dipaparkan situs corona.jakarta.go.id
positivity rate nasional dalam lima hari terakhir mengalami peningkatan.
CNN.Indonedia, (3/12). Maka, sudah selayaknya jika pemerintah menunda pilkada
demi keselamatan masyarakat.
Namun, pemerintah justru semakin menggebu hasratnya dalam
menyambut Pilkada. Sampai-sampai pasien positif covid-19 pun masih dilibatkan sebagai
pemilih. BPPU menegaskan bahwa masyarakat yang terkena Covid-19 tetap memiliki
hak pilih di Pilkada 2020. Hal ini disampaikan oleh Ketua Bawaslu Abhan di
Jakarta, Jumat (4/12/2020). Dia mengatakan bahwa KPU harus tetap melayani
pasien Covid-19 dengan mendatangi rumah atau rumah sakit tempat pasien
diisolasi, dengan pengawasan penuh dari Bawaslu. Mekanisme bagi pemilih yang
terkena Covid-19 ini telah diatur dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2020 dengan cara
mendatangi pasien. Hal itu dengan persetujuan saksi dan panwaslu, kelurahan
desa, atau petugas TPS, dengan mengutamakan kerahasiaan pemilih.
Republika.co.id.(4/12).
Pakar epidemiologi UI Pandu Riono menyampaikan pendapat yang
kontra dengan kebijakan tersebut. Dia meminta agar KPU tidak menerjunkan
petugas KPPS untuk mendatangi pasien Covid-19 yang tengah dirawat untuk
memungut suara, meskipun dengan APD lengkap. Berdasarkan SOP Rumah Sakit, tidak
boleh orang non medis memasuki ruangan isolasi pasien covid. Tidak peduli
apakah itu KPPS yang ditugaskan negara, atau presiden Jokowi sekalipun. Sebab
hal itu akan membahayakan jiwa pasien yang dirawat, bahkan petugas KPPS juga
beresiko terpapar virus dari pasien. Pandu juga mempertanyakan, apakah KPU
telah mengantongi ijin dari Kemenkes untuk melakukan pemungutan suara kepada
pasien Covid-19? Tirto.id, (3/12/2020)
Sebelumnya, Epidemiologi Unair Laura Novika Yamani juga
pernah mengatakan, bahwa meskipun petugas KPPS memakai APD lengkap, tidak
menjamin seratus persen bebas dari paparan virus. Pasien diisolasi, tujuannya
untuk meminimalisasi kontak dengan orang lain. Bahkan dinas kesehatan yang akan
menanyakan riwayat perjalanan pasien tidak bisa bertanya langsung kepada
pasien, melainkan kepada pihak keluarganya. Virus itu bisa menempel pada benda
mati, karenanya surat suara yang digunakan pasien positif covid-19 juga
berpotensi menjadi tempat virus menempel. Untuk itu dia berpendapat, hal ini
jangan sampai dilakukan! Tirto.id, (23/6/2020)
Keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi di negeri ini
patut dipertanyakan. Pasalnya pemerintah seolah mengabaikan kondisi
perkembangan Corona yang disampaikan para ahli dan petugas medis. Hal ini bisa
saja menimbulkan krisis politik yang lebih besar dibandingkan resiko kekosongan
jabatan. Yaitu hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebab,
masyarakat menilai bahwa pemerintah tidak menempatkan keselamatan masyarakat
sebagai prioritas utama. Apalagi dengan memaksakan pasien yang seharusnya
mendapat perawatan serius untuk tetap memilih. Dengan dalih ini adalah hak konstitusi
mereka yang harus dipenuhi negara. Sedangkan bagi masyarakat, tentunya hak
hidup lebih penting daripada hak konstitusi.
Semakin nyata bahwa sistem kapitalis lebih mementingkan
keuntungan materi dan kekuasaan belaka. Menunda pilkada memang bisa mencegah
peningkatan kasus positif covid-19. Namun, hal itu tentu akan merugikan
pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi pilkada. Berapa banyak dana yang
sudah dikeluarkan oleh partai pengusung, pasangan calon juga pihak pemodal yang
berperan menyokong dana. Bukan rahasia lagi, jika para pemodal menggunakan uang
mereka untuk mendukung kegiatan politik negeri ini. Tentu dengan tujuan
memperoleh manfaat bagi keberlangsungan usaha mereka. Karenanya, bagaimanapun
Pilkada harus tetap terlaksana meski dengan mempertaruhkan keselamatan jiwa.
Ini sangat bertentangan dengan sistem politik Islam, yang
ditujukan untuk menjaga dan menegakkan agama, serta mendakwahkan Islam ke
penjuru dunia. Dan dengan syariat yang berpijak pada Alquran dan Sunnah,
pemimpin melayani dan mengurusi urusan masyarakat. Kepemimpinan adalah amanah
yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik. Merawat kehidupan
manusia, tentunya menjadi prioritas utama di atas hal yang lain. Sebab dalam
syariat Islam nyawa seorang manusia sangatlah berharga. Hingga Allah Subhanahu
wa ta'ala berfirman:
“… barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya …( QS. al- Maidah: 32).
Meskipun dalam syari'at Islam ada hukum pidana mati seperti
qishas, sejatinya hal itu justru demi menjaga nyawa manusia. Dengan memberi
efek jera pada pelaku pembunuhan dan memberi rasa keadilan bagi keluarga
korban. Bahkan, apabila pihak keluarga korban memaafkan, pelaku pembunuhan
tetap harus membayar diyat (denda, ganti rugi) berupa 100 ekor unta, 40 ekor
diantaranya sedang bunting. Jika 100 ekor unta setara dengan 1000 dinar, dan
1dinar nilainya setara dengan emas 4,25 gram dikalikan 1000 maka harga yang
dibayarkan untuk menebus satu nyawa adalah 2,5 miliar rupiah.
Benarlah, bahwa syari'at Islam begitu menghargai nyawa manusia, bukan saja bagi kaum muslim tapi juga umat beragama lain. Sehingga orang akan mengambil pelajaran, dan tidak mudah menghilangkan nyawa orang lain. Membunuh hanya boleh dilakukan sesuai ketentuan syariat seperti dalam hukum jinayah dan perang. Seharusnya, hal ini menjadi renungan bagi para pemimpin, terutama yang beragama Islam. Bahwa amanah kepemimpinan yang dia pikul, seharusnya dijalankan sesuai syari'at Islam. Dengannya, tidak akan ada lagi pengabaian nyawa masyarakat oleh negara, apalagi di dalam menentukan calon pemimpin. Sebab, pemimpin Islam ditentukan dengan cara baiat, atau penunjukan dari orang-orang terkemuka secara keilmuan berdasarkan kelayakan dan kemampuan seseorang. Bukan karena kekuatan dukungan dan harta yang dimilikinya. Wallahu a'lam bishawab.
Posting Komentar