Jejaring Politik Dinasti, Wajah Demokrasi Masa Kini
Oleh: Dhiyaul Haq (Pengajar di Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah Malang)
Penamabda.com - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 semakin menunjukkan penguatan dinasti politik. Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan Sistem Informasi dan Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU), sederet kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat memenangi pesta politik lima tahunan tersebut.
Keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) berada dalam deretan tersebut. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa unggul telak atas pasangan Bagyo-Supardjo di Pilwalkot Surakarta. Pasangan Gibran-Teguh mengantongi 87,15% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika. Menantu Jokowi, Bobby Nasution yang berpasangan dengan Aulia Rachman unggul atas pasangan Akhyar Nasution-Salman Al Farisi di Pilwalkot Medan. Pasangan Bobby-Aulia mengantongi 55,29% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika. (katadata.co.id)
dinasti politik bukan kali pertamanya yang terjadi dalam demokrasi. Kehalalan politik dinasti sejatinya merupakan keniscayaan dalam sistem Demokrasi. Demokrasi sebagai alat penjajahan Barat telah menggerogoti jati diri kaum Muslimin sehingga mereka tidak lagi memiliki nurani. Pun tak ada sedikit saja keinginan membawa perubahan negeri ke arah yang lebih baik. Dinasti politik ini menjadi bukti bahwa tak dapat dipungkiri, adanya anggota keluarga yang sudah menjabat lebih dahulu akan memuluskan jalan anggota keluarga yang lain. Apalagi jika menduduki jabatan tinggi dan strategis, upaya mendirikan politik dinasti akan semakin mudah.
Semarak calon pemimpin pun minus kapabilitas. Patut untuk digarisbawahi, upaya mendirikan dinasti politik telah mengaburkan syarat-syarat calon penguasa yang memiliki kecakapan, kompetensi, tanggung jawab, maupun sifat amanah.
Indonesia kini diwarnai fenomena politik oligarki oleh partai politik berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu-individu penguasa. Tak hanya di level nasional, dinasti politik juga terjadi pada politik di tingkat daerah.
Dinasti politik membuat semakin mudahnya membuat kebijakan yang berstandar pada untung rugi. Suara rakyat pun tak jadi prioritas demi kepentingan oligarki. Halal harom pun bias dalam demokrasi. Suara rakyat slogan demokrasi semakin tak terlihat dan semakin terhapuskan. Ajang Pilkada yang seharusnya menjadi upaya untuk menyelamatkan nasib rakyat negeri ini juga telah bergeser ke arah politik kepentingan. Jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya menjadi pemanis buatan. Sejatinya yang ada hanya dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki.
Tak ada solusi lain untuk menghentikan laju dinasti politik ini selain dengan menggunakan sistem yang berasal dari Sang Maha Tahu segala-galanya yaitu sistem Islam. Sistem Islamlah yang terjamin mampu menghasilkan para politisi amanah, bertanggung jawab; memiliki integritas, kapasitas, kapabilitas; Serta mewujudkan calon pemimpin yang beriman dan bertakwa. Mereka mencalonkan diri dan dicalonkan karena panggilan keimanan. Berbekal tujuan akhirat dan berdiri untuk kemaslahatan umat. Kepemimpinannya juga demi menerapkan aturan Allah subhanahu wa ta'ala, bukan yang lain. Dengan demikian, hanya Islam yang dibutuhkan umat, bukan sistem fasad semisal Demokrasi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Posting Komentar