Omnibus Law: Penghianatan Wakil Rakyat dan Matinya Demokrasi
Penamabda.com - Di tengah penolakan publik yang terus bergema merespon Omnibus Law Cipta Kerja karena kecacatan isinya. Bak ‘kejar setoran’ pemerintah sepakat mengesahkan regulasi ini pada tanggal 5 Oktober lalu setelah dibahas secara marathon. Mirisnya, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menilai bahwa Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja ini sudah sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. “Saya bisa katakan Omnibus Law UU Cipta Kerja Pancasila banget,” kata Sekretaris Utama BPIP Karjono seusai menjadi pembicara dalam salah satu sesi diskusi kegiatan Institusional Pancasila Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diselenggarakan BPIP di Bandung, Jawa Barat, Jumat (27/11).
Karjono menyampaikan, sebelum Omnibus Law mengemuka sudah pernah ada yang dinamakan paket deregulasi ekonomi. Paket ini memangkas sekitar 128 undang-undang, dengan membuat semacam satu peraturan pemerintah untuk memperlancar investasi.Dia mengatakan, sejak adanya paket deregulasi hingga disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja, masa waktu memperoleh perizinan investasi sudah banyak dipangkas. Selain itu, keberadaan Omnibus Law UU Cipta Kerja juga memudahkan pendirian Perseroan Terbatas (PT). Jika sebelumnya diperlukan modal dasar puluhan juta rupiah untuk mendirikan PT, kini semuanya gratis. “Ini gebrakan luar biasa,” ujar Karjono (http://m.republika.co.id, 28/11/2020).
Karpet Merah Bagi Oligarki
Undang-Undang Omnibus Law Ciptaker yang digadang-gadang oleh pemerintah dapat memancing banjir investasi, nyatanya tidak dengan masyarakat Indonesia. Sebab, UU ini dinilai merugikan rakyat, terutama buruh/pekerja, anti-lingkungan hidup, mengabaikan HAM dan lain sebagainya. Omnibus law ini mendukung penindasan dan kecurangan bagi kaum buruh. Jaminan pekerjaan layak dihilangkan karena outsourcing dan kontrak bisa semakin merajalela. Upah dan pesangon pun tidak mendapat perlindungan, sehingga akan semakin banyak kesewenang-wenangan pengusaha nakal.
Menurut Fraksi Rakyat Indonesia dalam keterangan pers yang diterima Tirto (6/10), setiap pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law justru mengabaikan hak rakyat untuk hidup bermartabat dan mempercepat perusakan lingkungan. “Sebagian besar investasi berjubah percepatan proyek mercusuar nasional berkedok pembangunan strategis yang justru membuat masyarakat tidak mampu mempertahankan lahan penghidupannya,”tulis Fraksi Rakyat Indonesia.
Misalnya, proyek strategis nasional dalam bentuk pembangunan pelabuhan dan bandara baru akan menghabisi penghidupan nelayan dan petani. Begitu juga proyek strategis nasional dalam bentuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan juga menghancurkan lahan petani dan nelayan. Dijelaskan dalam rilis tersebut, alih-alih memikirkan nasib petani dan nelayan yang kehilangan sumber penghidupannya, RUU Cipta Kerja justru memfasilitasi keserakahan banyak investor hitam dengan bantuan oligarki. Oligarki sendiri merupakan persekutuan antara pengusaha dan pejabat pemerintah/aparat keamanan yang menggunakan berbagai cara untuk merampas sumber daya masyarakat dengan dalih pengadaan lahan untuk “kepentingan umum” tanpa indikator yang bisa dipertanggungjawabkan dengan jelas.
Demikian juga, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid yang mengatakan bahwa regulasi ini menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah Indonesia untuk menegakkan Hak Asasi Manusia. “Mereka yang menentang karena substansi Ciptaker dan prosedur penyusunan UU baru ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan. Anggota dewan dan pemerintah, nampaknya lebih memilih untuk mendengar kelompok kecil yang diuntungkan oleh aturan ini, sementara hak jutaan para pekerja kini terancam,” ujar Usman (Tirto.id).
Lagi-lagi, pemerintah negeri ini menampilkan wajah aslinya sebagai predator bagi rakyat dan fasilitator setia bagi korporasi melalui gebrakan kebijakannya. Meski mereka terus bernarasi bahwa UU ini dibuat untuk memperkuat perekonomian, sayangnya bukan untuk kepentingan ekonomi rakyat, tenaga kerja ataupun seluruh elemen yang terkait, melainkan memberikan fasilitas dan mempermudah para pengusaha kelas kakap untuk semakin memperkaya pribadi masing-masing. Adanya UU ini, akan mempermudah pendirian usaha dan perizinan bagi mereka.
Sudah bukan rahasia umum, bahwa drama kebijakan negeri ini di bawah sistemnya yaitu demokrasi-kapitalisme selalu mempertontonkan aturan yang tidak pro rakyat, melainkan disesuaikan dengan selera rezim dan kroninya, melalui persetujuan penguasa yang menyebut dirinya wakil rakyat. Ideologi Kapitalisme yang menjadi penopangnya senantiasa melahirkan kebijakan yang sarat kepentingan, tentu saja bukan kepentingan rakyat kecil sebab pada dasarnya ideologi ini berasaskan kepentingan kaum kapitalis. Alhasil, slogan kebesaran demokasi dari, oleh dan untuk rakyat, faktanya kepentingannya dari penguasa, oleh penguasa dan untuk investor.
Karakternya yang berorientasi pada materi/komersil membuat aturan dan ketentuan yang dibuat harus tetap memberikan iklim yang kondusif bagi investasi. Sementara, penarik investasi itu adalah upah buruh harus rendah. Disitulah akhirnya buruh/rakyat kecil harus menelan pil pahit atas syahwat rezim yang haus rupiah. Di sisi lain, kepada buruh cukuplah diberikan hak dan kepentingan mereka pada level minimal. Inilah sebagian kecil bentuk pengabaian pemerintah dari tanggungjawabnya memenuhi kebutuhan masyarakat.
Indonesia for Global Justice (IGJ) mengecam, pengesahan UU Cipta Kerja yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah Indonesia tidak demokratis dan inkonstitusional. “Demokrasi telah mati. Konstitusi telah dikangkangi oleh para pemimpin negeri ini. Liberalisasi ekonomi yang memfasilitasi kepentingan monopili ekonomi korporasi dan oligarki telah menjadi panduan. Tidak ada lagi keadilan untuk rakyat,” tegas Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (igj.or.id, 6/10).
Dari sini, pengesahan Omnibus Law semakin membuka lebar borok perselingkuhan oligarki tersebut. Namun, harus disadari bahwa gelar karpet merah dengan menumbalkan rakyat ini bukan hanya berbicara terbajaknya demokrasi oleh oligarki, lebih mendalam demokrasi sendirilah yang menjadi celah awal masuknya penghianatan terhadap rakyat. Kecacatannya terbukti dari ketidakmampuannya dalam menerapkan konsepnya secara adil dalam kehidupan. Terlihat, repsesentasinya yang tampak berat sebelah, lebih memilih memanjakan para kapitalis sementara rakyat dijadikan korban yang terus diperas dan dicekik hingga benar-benar tidak berdaya.
Ketika berbicara Pancasila sebagaimana dikatakan Karjono di atas, seharusnya implementasinya dipraktikan dalam bentuk tindakan sebab nilai Pancasila mengatur negara untuk membela rakyat kecil. Akan tetapi, jika melihat arah kebijakan “asal jeplak” UU Omnibus Law yang tidak memihak pada rakyat, menindas dan menginjak kepentingan para buruh ini justru membuka fakta bahwa tidak ada representasi nilai pancasila dalam UU Omnibus law tersebut. Inilah tipu-tipu wakil rakyat hari ini yang haus kepentingan. Untuk itu, rakyat harus sadar bahwa penguasa adalah representasi penghianat sejati dengan kebijakanya yang dzalim.
Dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja kita bisa belajar bahwa sistem demokrasi-kapitalisme hanya menghasilkan kebijakan yang akan menguntungkan para kapitalis yang didukung oleh para penguasa. Prinsip simbiosis mutualisme, saling menguntungkan dalam mendzalimi rakyat. UU ini ataupun regulasi-regulasi lainnya adalah produk demokrasi sebagai bentuk pengabdiannya kepada kepentingan oligarki untuk menciptakan kesengsaraan bagi manusia. Oleh karena itu, berharap kesejahteraan pada sistem rusak ini hanyalah mimpi belaka, meski dengan beragam kebijakan yang bahkan dinilai sempurna oleh pengusungnya. Rakyat membutuhkan sistem alternatif pengganti yang mampu menghadirkan jalan menuju sejahtera tersebut.
Potret Kesejahteraan dalam Islam
Dalam Islam, setiap orang berhak mendapatkan kesejahteraan. Maka, Islam menetapkan dua jalan untuk memenuhi semua kebutuhan. Pertama, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan dibebankan kepada setiap individu masyarakat, baik dipenuhi langsung atau melalui ayah, wali dan ahli waris. Kecuali tidak mampu/lemah maka negara akan berperan langsung.
Negara pun memiliki tanggungjawab menyediakan fasilitas yang memudahkan rakyat untuk berusaha atau bekerja. Mulai dari kemudahan permodalan, keahlian dan regulasi yang mendukung. Adapun subsidi negara dari harta Baitul mal adalah hak rakyat. Sebagaimana Umar ra. mengambil harta Baitul mal untuk menyediakan benih dan pupuk bagi para petani di Irak. Demikian pula Rasul SAW membayar hutang-hutang seorang warga yang tidak mampu. Abu Bakar dan Umar ra. juga memberikan lahan siap tanam kepada warga untuk menjadi modal usahannya (Al-Badri, Al-Islam Dhamin Li al-Hajad al-Asasiyyah, 1408).
Pemimpin dalam Islam selalu mempertimbangkan kemaslahatan bagi rakyatnya, bukan kelompok tertentu jika mengambil suatu kebijakan, tentu saja menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai tolok ukurnya. Pengabdiannya kepada rakyat bukanlah untuk mencari keuntungan ataupun citra diri, melainkan mengurusi urusan umat semata. Dalam hal pemberian hak pekerja, Islam memisahkan antara upah dan kebutuhan hidup. Artinya, para pekerja tidak menggantungkan kesejahteraannya hanya kepada gaji dan pendapatan semata, melainkankesejahteraannya dijamin oleh negara. Negara juga bertanggungjawab memberikan pelayanan bukan hanya kepada buruh, tetapi kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali secara total.
Dengan diberlakukan sistem Islam, negara akan mampu berperan sebagai penanggungjawab untuk terpenuhinya dalam kesejahteraan rakyat. Lapangan kerja tersedia dengan memadai, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) unggul disiapkan dengan tanggungan biaya oleh negara, begitu juga yang lainnya. Di bawah naungan sistem ini, sejarah mencatat betapa kesejahteraan hakiki terbukti diraih oleh umat Islam dengan fungsi negara serta pengurusan di dalamnya benar-benar meri'ayah umat dengan memberikan pelayanan hidup terbaik selama kurang lebih 13 abad bagi setiap umat manusia. Kehadiran sistem Islam, Khilafah adalah kebutuhan yang mendesak bagi negeri ini dan dunia sebagai pengganti sistem rusak kapitalisme-demokrasi ataupun faham lainnya. Wallahu a’lam bi showwab.
Posting Komentar