Sengkarut Kebijakan Lobster
Oleh: Ummu Nada, Dokter Umum
Pada 25 November 2020 lalu, terjadi penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh KPK terkait kasus izin ekspor benih lobster atau benur. Diduga menteri yang kini telah mengundurkan diri tersebut menerima suap Rp 3,4 miliar dan USD 100.000 (Rp.1,4 miliar) dari Suharjito, Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP). Suap tersebut dilakukan agar PT DPP ditetapkan sebagai eksportir benur melalui PT Aero Citra Kargo (PT ACK). PT ACK ini diketahui sebagai satu-satunya perusahaan yang direstui Edhy Prabowo sebagai forwarder ekspor benih lobster sehingga perusahaan lain mau tidak mau harus memakai jasa PT ACK dengan tarif angkut Rp. 1.800 tiap benih lobster. Dikabarkan KPK mencurigai terdapat saham Edhy prabowo di PT ACK melalui pinjam nama.
Diketahui saat pergantian menteri terjadi pula perubahan kebijakan terkait ekspor benih lobster. Pada periode saat Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, ekspor benih lobster dilarang melalui Peraturan Menteri KP No. 56 tahun 2016. Pada masa Edhy Prabowo, aturan tersebut direvisi dengan menerbitkan Peraturan Menteri KP No. 12 tahun 2020 yang ditetapkan pada 4 Mei 2020.
Peraturan baru tersebut memperbolehkan ekspor benih lobster dengan dalih nelayan, pembudi daya, eksportir dan negara akan mendapat keuntungan. Walaupun ekspor benur disinyalir memberikan banyak keuntungan, dampak negatif seperti dari segi kerugian ekologi dan keuntungan yang tidak setinggi bila menjual lobster dewasa mengakibatkan kontroversi terhadap kebijakan ekspor benih lobster.
Terlepas dari kontroversi ekspor benih lobster, lobster merupakan komoditas dengan permintaan pasar yang tinggi. Hal ini mengakibatkan ekspor benur dapat membawa keuntungan tinggi dan tentunya berpotensi meningkatkan peluang korup. Berdasarkan data BPS, ekspor benur mencapai USD 15,16 juta untuk 6.024 kg benih selama September 2020. Akan tetapi, pendapatan negara dari ekspor benih lobster terbilang kecil. Contohnya dari ekspor sekitar 100.000 benih lobster oleh dua perusahaan pada 12 Juni 2020, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya Rp. 34.375. Aturan tersebut masih berasal dari PP 75 tahun 2015, yaitu tarif PNBP benih krustacea adalah Rp. 250 per 1000 ekor benih lobster.
Pada kasus korupsi ekspor benur terbukti bahwa keuntungan besar yang dihasilkan dari ekspor benur bukanlah untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk segelintir pihak yang terlibat dalam monopoli ekspor benur. Hal ini tidak lepas dari sistem demokrasi kapitalis yang mengharuskan seseorang memiliki modal atau sponsor agar dapat memegang jabatan tertentu. Tentunya terdapat hubungan timbal balik dalam mengusahakan keuntungan bersama oleh pemangku jabatan dan pemberi sponsor karena dana yang besar telah dikeluarkan untuk dapat memegang jabatan tersebut. Mereka terkesan terburu-buru mengambil sebanyak-banyaknya keuntungan selama masa jabatannya yang terbatas seperti mengambil keuntungan ekspor benih lobster yang sebenarnya lebih menguntungkan bila dibudidayakan sampai dewasa.
Islam mengatur banyak hal, tidak terkecuali pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan. Islam melarang sumber daya ekonomi milik umat untuk diprivatisasi oleh sekelompok individu. Seperti pada hadits “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Hadist tersebut menunjukan bahwa sumber daya alam, termasuk sumber daya kelautan, adalah sumber daya milik umat sehingga sumber daya ini dikelola dan diatur manfaatnya agar semua orang bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil. Oleh karena itu, Islam tidak memberikan celah untuk terjadinya perilaku yang korup.
Posting Komentar