E-Sports antara Prestasi dan Kecanduan
Oleh: Ismawati (Ibu Peduli Generasi)
Sebanyak 173 tim E-Sports memperebutkan piala Gubernur. Piala ketua DPRD Lampung dan Piala ketua KONI Lampung dengan total hadiah tiga puluh juta. Kejuaraan ini digelar oleh Pengurus Provinsi (PengProv) E-Sports Indonesia (ESI) Lampung dalam acara gebyar E-Sports Lampung berjaya. Ketua Umum PengProv ESI Lampung, Brigjen TNI, Wahyu Hadi Prasetyo, melalui ketua harian ESI Lampung Iqbal Ardiansyah mengatakan kegiatan ini merupakan sebuah kompetisi Game Elektronik yang bertujuan untuk mencari Atlet-atlet berprestasi. Menurutnya, E-Sports kini menjadi cabang olahraga yang berkembang sangat pesat di seluruh dunia, pangsa pasar E- Sports di dunia mengalami peningkatan yang sangat pesat hal ini terlihat dari pertumbuhan penonton dan pemain E- Sports di dunia. Melihat perkembangan E-Sports yang sangat pesat dan peluang ekonomi yang besar. Maka, pada tanggal 27 Agustus 2020 PB ESI diresmikan menjadi cabang olahraga prestasi oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan KONI (Tribunlampung.co.id, 21/12/20).
Selintas jika dicermati kegiatan ini sangat positif memberdayakan potensi yang dimiliki para pemuda khususnya. Meskipun begitu, kondisi ini juga dapat memberikan berbagai tantangan dan fenomena baru. Salah satunya adalah fenomena kecanduan game online, di mana saat ini banyak remaja atau anak-anak mulai menghabiskan waktu untuk bermain video game melalui gadgetnya. Hal ini tidak lain karena pengaruh game yang semakin beragam dan menarik dengan segala teknologi canggih yang di tawarkan (Merdeka.com).
Ini adalah kondisi di mana peran orang tua atau keluarga sangat dibutuhkan untuk memberikan batasan pada anak dalam rangka mengurangi dampak kecanduan yang terjadi pada anak. Disamping itu, ada efek negatif yang perlu diketahui akibat kecanduan game online yang terjadi pada anak atau remaja. Salah satunya adalah meningkatnya pikiran agresif dan perilaku agresif pada anak atau remaja. Keterikatan emosional yang kuat dengan aktivitas tersebut dan sulit bersosialisasi, baik dengan anggota keluarga maupun dengan masyarakat sekitarnya. Terutama lingkungan sekolah, karena rata-rata anak atau remaja yang bermain game online statusnya masih pelajaran (Kompas.com).
Beban berat inilah yang dirasakan oleh orang tua serta para pendidikan (guru), karena rata-rata nilai akademis mereka jauh menurun. Disamping itu, mereka juga banyak melupakan kewajiban-kewajiban yang lain. Salah satunya ketika adzan sudah dikumandangkan masih saja sibuk dengan permainan mereka tanpa peduli dengan seruan salat. Di satu sisi, gadget memang dibutuhkan dalam rangka belajar online, karena di sebagian wilayah, pemerintah daerah belum mengizinkan belajar tatap muka atau offline disebabkan masih zona merah akibat pandemi. Di sisi lain gadget juga punya andil besar untuk menyia-nyiakan waktu.
Inilah bukti bahwa sistem yang selama ini diterapkan tidak berhasil. Kemajuan teknologi dalam sistem kapitalisme dinilai sebagai peluang untuk meraih manfaat saja. Tanpa memikirkan dampak yang terjadi. Selain itu, menjadikan ukuran bagi setiap perbuatan bahkan kebahagiaan dinilai ketika seseorang mendapatkan materi sebanyak-banyaknya, meskipun jalan yang ditempuh bertentangan dengan fitrah manusia. Jika pemerintah daerah menyadari bahwa pemuda adalah aset negara yang sangat berharga seharusnya pemerintah bisa membatasi aktivitas game online kemudian menggantinya dengan aktivitas yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain.
Kita semua berharap bangkitnya para pemuda adalah pada pemikirannya tentang kehidupan jauh ke depan. Oleh karenanya, harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh sehingga akan melahirkan generasi yang salih dan solid seperti yang ada dalam sejarah Islam. Lahirnya sosok pemuda yang menjadi teladan bagi generasi- generasi berikutnya. Bukan menjadi generasi hura-hura dengan kesenangan dunia.
Wallahu'alam.
Posting Komentar