Kepergian Ulama Meredupkan Cahaya Islam
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd (Lingkar Studi Muslimah Bali)
Belum hilang kepedihan dari kabar kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang menghancurkan badan pesawat beserta para penumpang di dalamnya. Hari ini, Kamis 14 Januari 2021, kabar duka kembali menyelimuti hati umat dengan mendengar kabar meninggalnya sang Syekh kondang, Syekh Ali Jaber yang wafat karena sakit. Allah merindukan beliau, sehingga Allah ingin bertemu dengannya.
Kepergian sang ulama penuntun umat sangatlah menyesakkan dada. Bagaimana tidak? Karena kepergiannya, menandakan semakin redupnya cahaya Islam. Sang ulama adalah pelita umat, yang dengan keberadaannya, umat tersadarkan dengan Islam. Sehingga ketika mereka pergi, lantas siapa penuntun umat ke jalan Islam?
Kepergian ulama adalah salah satu cara Allah swt mencabut ilmu dari muka bumi. Ulama adalah penyangga dan penyebar ilmu. Sehingga ketika ulama diwafatkan, maka penyebaran ilmu terhenti, pemahaman umat terhadap kedalaman ilmu semakin berkurang, dan keteladanan sikap serta perbuatan semakin jauh dari umat.
Dengan kepergian ulama, umat akan bingung dalam mendalami ilmu agama. Sehingga mereka mendapatkan ilmu bukan dari guru secara langsung melainkan dari media online yang belum jelas kebenarannya. Dengan meninggalnya ulama juga berarti kualitas ilmu telah diangkat oleh Allah, sehingga yang tersisa bukanlah ilmu, melainkan sebatas aksesorisnya saja.
Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan. (HR. Bukhari)
Ayyub As-Sikhtiyani seorang pembesar Tabi’in: “Mengungkapkan pedihnya perasaan ditinggal seorang ulama bagaikan bagian tubuh yang terpotong. Ketika dikabarkan kepada saya tentang meninggalnya seorang dari Ahlussunnah seolah saya merasa kehilangan anggota tubuh.”
(Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah Al-Lalikaiy 1/6)
Kehilangan seorang ahlu sunnah saja seperti itu perasaannya apalagi kematian ulama yang menjadi panutan. Al Imam Al-Hasan Al-Bashri meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Ra:
“Kematian seorang ulama adalah kebocoran di dalam Islam dan tidak bisa ditutup meskipun malam dan siang datang silih berganti.” (Ma’alimut Tanzil 4/327, Dar Thoibah)
Begitu banyak riwayat yang menjelaskan tanda-tanda meredupnya cahaya Islam ketika ditinggal oleh para ulama. Sudah tak terhitung berapa banyak ulama yang sudah Allah panggil. Maka begitu besar juga efek yang ditimbulkan.
Lihat saja kondisi umat Islam saat ini. Kerusakan dimana-mana, aliran sesat pun bertebaran, bahkan yang haram dihalalkan dan yang halal diharamkan, pergaulan kaum muslim sudah tak mengarah kepada Islam justru malah berkiblat kepada Barat yang penuh hedonisme dan liberalisme, sampai pada tataran aturan Islam tak lagi mau dijalankan. Naudzubillah min dzalik.
Wajar saja ketika ada ulama yang wafat, kaum muslimin yang sadar dan paham tentang efek ini akan berduka sedalam-dalamnya. Merasa ditinggal sang penuntut kebangkitan Islam. Serentak merasa lemas tak berdaya, bak kehilangan arah perjuangan Islam.
Sebagai kaum muslim maka patut bersikap ahsan kepada para ulama. Pilihlah ulama yang benar-benar rabbani, taat kepada Rabbnya. Hindari ulama yang suu’ yang sesat dan menyesatkan. Maka kepada ulama yang Rabbani sikap kita sebagai kaum muslimin adalah memuliakan ulama, menjaganya dari setiap bahaya, menghormati kedudukannya, berusaha membersamainya dalam setiap perbuatannya serta menjalankan arahannya, selama arahannya adalah arahan untuk taat kepada Allah. Hal terpenting lagi adalah mendakwahkan Islam yang telah diajarkannya, sehingga cahaya Islam akan selalu ada di tengah-tengah umat.
Wallahu a’lam bish showab.
Posting Komentar