Kurva Covid-19 Terus Menanjak, Lost Generation Di Ambang Mata?
Oleh : Delfia
Rabu (13/1/2021), Indonesia kembali mencatatkan kasus harian Covid-19 tertinggi sejak virus ini terdeteksi masuk di Tanah Air. Berdasarkan laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, tercatat 11.278 kasus baru terkonfirmasi positif. Dengan adanya penambahan kasus baru ini, total kasus Covid-19 di Indonesia menjadi 858.043 kasus (kompas.com, 13/1/2021).
Penambahan ini, menjadikan kurva kasus menanjak tajam. Jauh dari kata melandai apalagi turun. Kasus total ini menjadikan Indonesia berada di urutan keempat tertinggi di Asia. Selain itu juga kasus kematian akibat Covid-19 tertinggi dibandingkan sembilan Negara ASEAN lainnya (cnnindonesia, 08/01/2021). Data ini menunjukkan bahwa Covid-19 di Indonesia semakin genting dan tidak terkendali. Kondisi ini berdampak parah pada aspek kehidupan yang lain seperti ekonomi, sosial budaya, termasuk pendidikan.
Ada kekhawatiran publik terkait dunia pendidikan di era pandemi ini. Pertama guru dan pelajar sudah banyak yang menjadi korban Covid-19. Data menunjukkan sudah puluhan guru yang meninggal dan ratusan pelajar terpapar. Kedua rendahnya kualitas pembelajaran daring. Hal ini dilihat dari keterbatasan gawai belajar ataupun akses internet pada pelajar; jaringan internet yang belum menjangkau secara merata di pelosok negeri; rendahnya penguasaan guru dalam teknologi untuk memfasilitasi pembelajaran; juga kurang pahamnya pelajar terhadap materi pelajaran melalui daring.
Tidak hanya itu, pembelajaran daring juga menuai masalah bagi orang tua. Forum Orang Tua Pelajar (Fortusis) mengatakan banyak orang tua yang mengeluhkan pembelajaran daring. Orang tua keteteran. Karena selain bekerja harus mendampingi anak-anaknya dalam belajar dan mengerjakan tugas. Ekonomi semakin sulit, membuat orang tua merasa ‘tercekik’. Lantaran tidak hanya tetap membayar iuran bulanan sekolah, tapi juga harus membeli kuota internet atau gawai belajar. Wajar akhirnya bermunculan kasus kekerasan fisik dan psikis orang tua terhadap anak selama pembelajaran daring. Bahkan yang menyedihkan ada orang tua tega membunuh anaknya sendiri karena dianggap kesulitan dalam belajar daring.
Hampir 1 tahun pembelajaran daring berlangsung. Kebosanan tidak hanya melanda para pelajar, tapi juga para guru. Dari awal sebenarnya para guru, pelajar dan orang tua tidak siap dalam menjalani pembelajaran daring. Diakui pembelajaran daring lebih sulit daripada tatap muka. Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan akan terjadi lost generation apabila pembelajaran daring terus menerus diberlakukan. Pemerintah pun berupaya mensosialisakan izin pembelajaran tatap muka setiap awal semester baru. Yaitu pada bulan Juli 2020 dan Januari 2021. Bahkan pemerintah mengeluarkan SKB 4 menteri. Sebagai izin dan panduan bagi satuan pendidikan (perguruan tinggi hingga PAUD) untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka. Tetapi pakar publik memberikan respon penolakan terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Terutama para pakar kesehatan seperti dokter dan epidemiolog. Mengingat bahaya mengintai dari pembelajaran tatap muka tersebut walaupun menerapkan protokol kesehatan ketat.
Akar masalah
Berbagai masalah dalam dunia pendidikan seperti di atas, diakui adalah imbas dari berkepanjangannya pandemi Covid-19. Yaitu ‘ketidakmampuan’ pemerintah dalam mengantisipasi, mengendalikan dan mencegah penularan Covid-19. Penanganan Covid-19 sejatinya masuk dalam otoritas kesehatan, malah tunduk dalam sudut pandang ekonomi. Sejak awal pemerintah mengabaikan desakan pakar kesehatan untuk menerapkan karantina wilayah (lockdown) sebagai solusi efektif. Tapi hanya menerapkan PSBB, yang terbukti menjadikan penyebaran Covid-19 semakin massif.
Covid-19 ini juga secara tidak langsung mengungkap ‘rapuhnya’ sistem pendidikan nasional. Baik dari sisi anggaran, infrastruktur maupun kurikulum. Pemerintah menyatakan telah mengalokasikan 20 persen APBN/APBD untuk pendidikan. Tetapi kenyataannya hal tersebut hanyalah formalitas. Mengutip penjelasan ketua komisi X DPR RI Syaiful Huda yang dimuat jawapos.com (31/12/2020), bahwa anggaran 20 persen tersebut belum sepenuhnya untuk fungsi pendidikan. Karena itu isu terkait sarana prasarana, kualitas, mutu dan kesejahteraan dalam pendidikan tidak pernah selesai.
Pemerintah belum dapat menyediakan infrastruktur pendidikan yang memadai di seluruh tanah air. Sampai detik ini, kendala gawai belajar dan akses internet selama pembelajaran daring belum mampu diatasi oleh pemerintah. Pun sama dengan kurikulum. Pemberlakuan kurikulum darurat, ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah pendidikan. Karena diakui kurikulum yang diberlakukan sebelum dan setelah pandemi, tidak memberi ruang yang cukup dalam pembentukan kepribadian dan life skill.
Kepribadian yang taqwa dalam menjalani aturan agama ‘belum’ menjadi prioritas utama dalam kurikulum. Di sekolah umum, pelajaran agama hanya diberikan porsi sedikit dikalahkan oleh pelajaran seperti fisika, kimia atau matematika. Pun konten materinya belum membahas agama secara kaffah, hanya berfokus pada pelaksanaan ibadah ritual. Kondisi ini diperparah dengan sikap pemerintah yang memberikan opini umum seolah-olah agama sebagai pembawa paham radikalisme. Sehingga membatasi dan mengawasi kegiatan keagamaan pelajar di lingkungan sekolah. Wajar dari hari ke hari degradasi akhlaq pelajar semakin parah.
Pun sama dengan pembentukan life skill. Para pakar pendidikan juga mengakui bahwa kurikulum di Indonesia dalam realitas aplikasinya, hanya menuntun kecerdasan di atas kertas dengan simbol ‘angka-angka’ saja. Hal inilah yang menyebabkan kurang bersaingnya lulusan pendidikan Indonesia dibandingkan dengan lulusan luar negeri. Sehingga secara tidak langsung, sebenarnya ‘lost generation’ sudah terjadi jauh sebelum pandemi Covid-19 memangsa.
Berkepanjangannya pandemi dan ‘rapuhnya’ sistem pendidikan nasional, merupakan buah diterapkannya sistem sekuler kapitalistik di negeri ini. Sistem yang menafikkan pengaturan agama (Islam) dalam kehidupan publik. Pengaturan sektor kesehatan, ekonomi termasuk pendidikan diserahkan pada aturan yang dibuat oleh akal manusia yang terbatas. Sehingga pengurusan dalam sektor tersebut oleh Negara acap kali berorientasi pada materi atau kepentingan, bukan pada pelayanan. Bahkan tidak dipungkiri telah terjadi komersialisasi dalam sektor kesehatan dan pendidikan.
Solusi Islam
Rasulullah SAW bersabda : “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas, menjelaskan tuntunan Islam dalam mengatasi penyakit menular. Tuntunan inilah yang dunia kesehatan modern hari ini menyebutnya karantina wilayah (lockdown). Yaitu pembatasan interaksi antara masyarakat sehat dan sakit secara ketat dalam bentuk isolasi masyarakat. Agar penyebaran penyakit terputus hanya pada individu wilayah yang terdampak.
Sebagai negeri mayoritas Muslim yang menjadikan Rasulullah SAW sebagai uswatun hasanah, sudah seharusnya pemerintah tidak ragu menerapkan tuntunan tersebut. Tidak hanya sebagai bukti keimanan, tapi ternyata tuntunan ini terbukti efektif dalam mengatasi penyakit menular. Dengan lockdown Malaysia, Italia, China, Prancis, Spanyol dan negara lainnya berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19. Jumlah yang terjangkit dan meninggal dunia pun turun drastis.
Pembelajaran daring menjadi bagian kebijakan sistem Islam dalam dunia pendidikan pada masa pandemi. Namun kebijakan ini tidak sampai mengurangi esensi pendidikan itu sendiri. Karena dua hal, yaitu :
Pertama sistem pendidikan berlandaskan aqidah dan syari’at Islam. Dengan landasan ini, pelaksanaan pendidikan dilakukan oleh Negara berkolaborasi dengan orang tua. Masing-masing menjalankan peran pendidik sebagai amanah yang dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT. Orang tua memiliki tanggung jawab pertama dan utama pendidikan anak di rumah. Orang tua mendidik anak-anaknya dengan kasih sayang untuk mengantarkan anaknya menjadi hamba Allah SWT yang takwa. Sehingga kekerasan fisik psikis membimbing anak dalam belajar bisa dihindari.
Pusat penyelenggaraan pendidikan dilakukan oleh Negara. Penyediaan anggaran dan infrastruktur memadai serta penyusunan kurikulum adalah tanggung jawab Negara. Hal ini disebabkan Islam memandang pendidikan adalah kebutuhan mendasar setiap individu. Tidak boleh dunia pendidikan menjadi ladang komersialisasi oleh Negara. Sehingga keterbatasan gawai belajar dan akses internet dalam pembelajaran daring akan diminimalisir dengan turun tangannya Negara. Kurikulum baik materi, tujuan dan metode pembelajarannya berasas aqidah Islam. Aqidah Islam harus terhunjam terlebih dahulu pada setiap jiwa pelajar. Ke depan penguasaan dan pemanfaatan tsaqafah Islam lainnya atau sains teknologi berjalan atas asas aqidah Islam. Sehingga permasalahan degradasi akhlaq pelajar serta rendahnya penguasaan tsaqafah dan sains teknologi akan dapat teratasi.
Kedua,sistem pendidikan ditopang oleh penerapan sistem ekonomi Islam. Memang diakui sistem pendidikan yang maju dan bagus selalu berkaitan dengan penyediaan anggaran yang memadai. Hal tersebut dapat terjadi jika sistem ekonominya tangguh dan stabil. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Anggaran tidak hanya dibutuhkan oleh sistem pendidikan, tetapi juga sistem kesehatan. Sistem ekonomi Islam bertumpu pada pengelolaan kepemilikan umum (seperti SDA) dan Negara berdasarkan hukum syara’; menitikberatkan ekonomi pada sektor riil dan tidak mengizinkan sektor non riil; penggunaan mata uang berbasis emas dan perak dan lain sebagainya.
Dengan penerapan syari’at Islam secara kaffah dalam bentuk negaralah akan mampu mengatasi berbagai permasalahan kesehatan, pendidikan dan kesehatan. Menerapkan syari’at Islam ini adalah kewajiban dan bukti keimanan seorang muslim. Tetapi yakinlah di balik setiap hukum syara’ pasti ada mashlahat untuk kehidupan manusia. Karena syri’at Islam berasal dari Allah SWT, Rabb Yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk manusia. Wallahu a’lam bish-shawab.
Posting Komentar