Toleransi Pada Masa Kekhilafahan
Oleh: Enha Hasanah (Aktivis Muslimah)
Toleransi seringkali dipropagandakan untuk menyerang umat Islam. Mereka yang tidak mengucapkan selamat atas hari raya umat lain misalnya, dipandang sebagai intoleran, tidak menghargai perbedaan dan keberagaman. Sedang yang mau turut hari raya dan ritual agama lain dianggap telah menerapkan toleransi dengan baik.
Propaganda semacam ini sangat merusak aqidah umat Islam. Selain itu juga mengacaukan makna toleransi yang sebenarnya. Mencampuradukkan agama seenaknya. Menimbulkan kerancuan dan kebingungan di kalangan umat dan masyarakat pada umumnya.
Toleransi sendiri memiliki arti membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya dan tidak memaksa umat lain mememluk Islam.
Faktanya, Islam telah mengajarkan sikap toleransi dan menerapkannya sejak ia diturunkan di muka bumi ini. Rentangan sejarah panjang Islam dan toleransi tidak bisa dipungkiri.
Toleransi Masa Rasulullah SAW
Toleransi pada masa Rasulullah merupakan sebuah keharusan. Rasulullah mengakui eksistensi non-Islam, menghargai keberagaman, menghormati hari perayaan mereka. Piagam Madinah menjadi bukti hal tersebut. Di dalam Piagam Madinah disebutkan bahwa toleransi merupakan sikap menghormati diantara agama, tidak saling menyakiti dan saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Toleransi tidak lantas menjadikan Rasulullah membenarkan apa yang menjadi keyakinan mereka. Sikap toleransi, tolong menolong dan kerja sama antar umat beragama hanyalah sebatas muamalah yang tidak ada kaitannya dengan akidah dan ibadah.
Toleransi Masa Khulafaur Rasyidin
Contoh sikap toleransi pada masa khulafaur rasyidin yaitu pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang membebaskan Baitu Maqdis. Khalifah Umar bin Khattab menandatangani Perjanjian Ihdat Umariyah dengan Pendeta Sofranius yang merupakan pemimpin Umat Nashrani di Yerussalem. Isi perjanjian, salah satunya memberikan jaminan kepada warga non-muslim agar bebas memeluk agama dan keyakinan mereka. Mereka hanya diwajibkan membayar jizyah sebagai tanda ketundukan terhadap pemerintahan islam.
Pada saat kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab sampai ke wilayah Kisra Persia di Ctesiphon pasca Perang Khadisiah, beliau orang- orang Majusi dengan baik, termasuk memuliakan putri-putri Persia dengan menikahkan mereka dengan para putra terbaik dari kalangan sahabat Nabi.
Toleransi Masa Khilafah Umayah
Pasca Perang Qurbush pada 655 M, kaum muslim memasuki Kepulauan Cyprus dan memperlakukan penduduknya dengan baik. Saat mereka memasuki Kepulauan Sardini dan Sicilia di Italia Selatan, pasukan Islam juga tidak memaksa penduduknya menjadi muslim. Saat pemerintahan Islam menguasai kepulauan di Lautan Mediterania yang mayoritas penduduknya non-muslim, mereka dibebaskan menjalankan ritual keyakinan keagamaannya.
Saat umat Islam berkuasa di Semenanjung Iberia, Andalusia, selama hampir 7 abad, soal toleransi ini pun tetap menjadi perhatian para amir Bani Umayyah dalam memberlakukan penduduk asli, baik Katolik, Yahudi, maupun paganis. Salah seorang diantaranya Amir Abdurrahman ad-Dakhil yang membangun banyak madrasah ilmu diperuntukkan bagi rakyatnya, baik muslim maupun non-muslim. Ini juga memfasilitasi para pangeran maupun anak-anak bangsawan Eropa yang ingin belajar di Cordoba, Granada, Servilla, dan kota- kota lainnya di Andalusia.
Toleransi Masa Khilafah Abbasiyah
Saat kekuasaan ada di tangan Khalifah Abbasiyah, kekuasaan Islam meliputi tiga benua. Para penganut keyakinan animisme dan dinamisme di pedalaman Afrika hingga kaum musyrik di Asia Utara dan Asia Tengah tetap mendapatkan perlakuan baik dari pemerintahan Islam, termasuk kaum paganis di Steppa Eurasia yang terbiasa hidup nomaden. Bahkan saat Islam tersebar di antara kaum paganis itu, mereka berlomba menjadi para ksatria Islam dengan bergabung dalam akademi-akademi militer yang dibangun oleh para khalifah Bani Abbas.
Pada abad yang sama, toleransi umat Islam ini juga terbukti nyata di wilayah Hindustan, India. Saat itu, Kesultanan Islam Moghulistan di Agra, India Utara berkuasa atas sebagian besar wilayah Asia Selatan. Para Sultan Mughal itu memperlakukan rakyatnya yang mayoritas Hindu itu dengan sangat baik. Sebagaimana juga berlaku pada masa Sultan Humayun Khan dan anaknya Jalaluddin Akbar. Salah satu seorang putri Rajput, Jodha, diangkat sebagai permaisuri Kesultanan hingga Kerajaan Hindu Rajput sepenuhnya tunduk pada kekuasaan Islam Mughal.
Toleransi Masa Khilafah Ustmaniyah
Penerapan toleransi terhadap non-muslim ini kali pertama diberlakukan pada 1453 setelah Fetih Sultan Mehmed menaklukan Konstantinopel yang merupakan pusat Kristen Orthodox dunia. Kekuasaan Ustmani terus berkembang hingga Eropa raya. Lalu Sultan menerapkan sebuah sistem baru yang disebut sistem millet.
Kata millet berasal dari Bahasa Arab, millah yang berarti jalan hidup atau dapat dimaknai juga sebagai keyakinan. Sistem ini juga mengindikasikan bahwa Khilafah Ustmani menjadi pelindung bagi multibangsa. Setiap kelompok ini memiliki komunitas dari millet mereka sendiri, seperti millet Kristten Orthodox, millet Yahudi dan yang lainnya.
Setiap millet tersebut diperkenankan untuk memilih pemimpinnya sendiri. Para pemimpin millet diizinkan untuk memberlakukan aturan agama mereka pada kelompoknya masing- masing. Millet-millet juga diberi kebebasan untuk menggunakan Bahasa mereka sendiri, mengembangkan lembaga milikknya sendiri dan yang lainnya. Sistem ini berakhir pada 1800-an saat parlemen yang dikuasai Jeuneu Osmanli yang berhaluan liberal dan pro Barat memberlakukan tanzhimat, sekaligus menghapuskan sistem millet.
Islam dengan rekam sejarah masa lalunya telah memberikan contoh toleransi yang sangat komplit. Historiografi peradaban dunia telah membuktikan bukannya Islam yang tidak mengenal toleransi, melainkan peradaban Barat yang tidak pernah memiliki konsep toleransi jelas.
Seorang yahudi bernama Max I. Dimon menyatakan: “Salah satu akibat toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Imperium Islam amat besar itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga taka da keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka.”
Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang Yahudi di Andalusia itu sungguh tepat. Bahkan dia pun menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu masjid dan kamar tidur mereka untuk konversi, edukasi dan asimilasi. Kaum Yahudi tidak pernah mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya,
Kutipan ini menegaskan bahwa non-muslim mengakui sikap toleransi Islam.
Apa yang telah disampaikan di atas, hanyalah sebagian kecil dari praktek penerapan toleransi Islam di sepanjang sejarahnya. Banyak pengakuan atas hal itu. Jadi, salah bila mengatakan Islam adalah ajaran yang intoleran dan umat muslim tidak menghargai keberagaman dan perbedaan. Hanya mereka yang buta sejarah dan tertutup mata hati dan pemikirannya yang menolak kebenaran Islam.
Wallahu a'lam bish-shawab[]
Posting Komentar