Bencana Alam Akibat Pembangunan Eksploitatif
Oleh: Yulianti, Amd.Keb. (Aktivis Muslimah Belitung)
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menegaskan bahwa banjir besar di Kalimantan Selatan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar cuaca ekstrem, melainkan akibat rusaknya ekologi di tanah Borneo. (dikutip dari Suara.com) Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan bahwa banjir tahun ini merupakan yang terparah dalam sejarah. "Banjir (2021) kali ini adalah banjir terparah dalam sejarah Kalimantan Selatan yang sebelumnya," kata Kis saat dihubungi Suara.com, Jumat (15/1/2021).
Tak hanya di Kalimantan Selatan, banjir bandang juga menerjang kawasan Puncak Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (19/1/2021) sekitar pukul 09.30 WIB. Rumah-rumah rusak dan mengakibatkan ratusan warga mengungsi ke tempat yang lebih aman. Banjir dan tanah longsor juga terjadi di daerah Manado, Sulawesi Utara pada Sabtu, 16 Januari 2021. Mirisnya, peristiwa seperti ini hampir kita jumpai sepanjang tahun tanpa upaya serius untuk memperbaiki kesalahan mendasar menyangkut paradigma pembangunan yang dikaitkan dengan keseimbangan ekologi. Wajar jika intensitas bencana makin sering terjadi dan luasannya pun terus bertambah.
Allah Swt telah memberi peringatan kepada manusia agar tidak mengabaikan syariat-Nya. Namun, kapitalisme sekuler telah menjadikan manusia terbiasa menuhankan materi dan mengabaikan kesejahteraan rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya. Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum: 41-43 yang artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya): pada hari itu mereka terpisah-pisah.”
Kita patut merenung, baru 3 minggu kita menjalani tahun baru (2021), namun sudah demikian panjang rentetan bencana yang terjadi di negeri ini. Banjir yang menyebabkan 7 Kabupaten terendam di Kalimantan Selatan terparah dalam 34 tahun, berpuluh-puluh korban terkubur tanah longsor di Cihanjuang Sumedang. Gempa berkekuatan magnitudo 6,2 di Majene, Mamuju hingga Polewali Mandar di Sulawesi Barat serta letusan Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur.
Bencana alam adalah qadha atau ketetapan Allah Swt yang kita wajib imani dan terima dengan lapang dada. Akan tetapi dibalik itu semua patut kita berfikir bahwa semua tentu tidak terlepas dari keserakahan manusia sebagaimana yang terdapat didalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 41 diatas. Betapa banyak manusia apalagi pemimpin di negeri ini yang telah melakukan kedurhakaan. Mereka enggan menjadikan hukum Allah sebagai pedoman untuk mengatur Negara. Mereka lebih suka menjadikan kapitalisme yang menawarkan kemewahan hidup dan justru mencela hingga mengkriminalisasi ajakan untuk kembali pada syariat Islam kaffah. Padahal kapitalisme itulah yang menyebabkan bencana terjadi.
Hutan-hutan di Kalimantan Selatan gundul akibat keserakahan korporasi kelapa sawit dan tambang. Jaringan anti tambang (JATAM) menyebutkan ada 177 konsesi tambang di sejumlah kabupaten yang terdampak banjir. (tempo.com, 17/1/2021). Demikian juga tanah longsor biasanya terkait dengan lahan terbuka miring yang tidak lagi ditumbuhi vegetasi selain drainase yang sangat buruk. Keserakahan korporasi pengembang perumahan atau pabrik lainnya mendapat restu penguasa sering mengakibatkan faktor tersebut. Akibatnya rakyat tak punya pilihan, mereka harus tinggal di daerah bukit miring yang beresiko longsor.
Pemerintah semestinya tidak sekedar memberi peringatan dini saja. Namun mereka harus menata daerah sesuai mitigasi bencana yakni melakukan segala upaya untuk mengurangi risiko bencana. Perhatikan saran ahli jika mereka benar-benar sayang rakyat bukan sayang korporasi. Akibat penerapan demokrasi, yang merupakan manifestasi ideologi kapitalisme, menghasilkan pembangunan yang juga kapitalistik. Perijinan pembangunan dapat dengan mudah dibeli sekalipun harus mengabaikan aspek Analisis Dampak Lingkungan. Berapa banyak area pertanian dan hutan yang seharusnya menjadi resapan air di eksploitasi dan komersialisasi hanya untuk memperoleh remahan keuntungan materi dari para investor.
Hal ini terjadi karena asas demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat (manusia yang berkuasa). Sehingga aturan dan hukum dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Maka wajar jika kita melihat pembangunan besar-besaran yang dilakukan di negeri ini “dilegalkan” sekalipun jelas merusak lingkungan. Alhasil liberalisasi lahan untuk pembangunan perumahan, area komersial dan industri terjadi merata dari ujung barat hingga timur negeri ini. Dan yang menanggung dampaknya adalah masyarakat.
Maka persoalan banjir ini tak sekedar persoalan lingkungan saja, melainkan lebih pada persoalan sistemik yang menghasilkan tata kelola lingkungan yang rusak. Ini semua buah dari penerapan sistem yang rusak. Maka solusi normatif saja tak akan mampu untuk menyelesaikan persoalan banjir di negeri ini, melainkan harus beralih pada sistem yang benar-benar mampu memberikan solusi hakiki yaitu sistem islam.
Solusi Islam Menanggulangi Banjir
Berbeda dengan demokrasi dan kapitalisme yang menempatkan kedaulatan (hak membuat hukum) di tangan manusia/rakyat, Islam menempatkan kedaulatan ada di tangan Syara’ (yang berhak membuat hukum) yaitu Allah swt. Maka jelas aturan yang ada disesuaikan dengan Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Rasulullah sendiri telah mencontohkan penerapan seluruh hukum-hukum (Syariat Islam) diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan dalam lingkup negara (Daulah). Selanjutnya, setelah beliau wafat dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah setelahnya. Sedang sistem negaranya disebut sebagai Khilafah.
Islam sebagai agama yang sempurna pun punya pengaturan terkait dengan tata kelola lahan dan lingkungan. Dalam pandangan islam, air, hutan, lahan adalah ciptaan Allah swt. Yang diciptakan untuk kesejahteraan manusia. Bukan sekedar komoditas. Ini tertuang dalam QS Al Baqarah ayat 29; “Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang di bumi untuk mu …”. Serta diperintahkan untuk menjaga kelestarian dan keseimbanga alam, seperti yang disebutkan dalam QS Ar Rahman ayat 8; “Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.”
Maka Khalifah sebagai pemimpin negara dan pelaksana syariat, akan memberlakukan aturan sesuai dengan paradigma islam. Berdasarkan hal itu maka pengelolaan hutan, air, dan lahan yang merupakan kepemilikan umum dilakukan sepenuhnya oleh negara untuk kemaslahatan umat seluruhnya. Diharamkan untuk menyerahkannya kepada swasta maupun asing baik untuk dikelola maupun diprivatisasi. Pengelolaan tersebut harus menyertakan pendapat para ahli agar dapat menjaga kelestariaannya. Serta arah pembangunan diorientasikan untuk kepentingan masyarakat. Maka dengan demikian aspek ekologis, hidrologis dan lingkungan akan dikedepankan sehingga terjaga fungsi hutan dan perairan sebagai mana mestinya. Sementara terkait dengan pembangunan infrastruktur juga akan disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah yang memprioritaskan konteks wilayah dan kebutuhan masyarakat sehingga tidak akan ada alih fungsi lahan besar-besaran yang merusak tatanan lingkungan.
Hal tersebut juga disertai dengan adanya aspek ruhiyah yang ada dalam diri khalifah, para pegawainya, serta masyarakatnya. Sehingga menjadikan pengaturan yang diterapkan dilaksanakan dan ditaati dalam rangka ketaatan pada Rabbnya. Solusi hakiki persoalan banjir ini akan menyelesaikan persoalan banjir secara komprehensif di seluruh wilayah dan ini hanya dapat terselesaikan dengan penerapan sistem islam yang berasal dari sang Pencipta.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al-A'raf: 96)
Waallahu’alam biasshowab
Posting Komentar