Bukan Sekedar Anomali Demokrasi
Oleh : Ummu Tsabita Nur
Gonjang ganjing KLB Deli Serdang yang menyeret nama jendral -seoramg pejabat istana- menimbulkan banyak spekulasi.
Apa bakal happy or sad ending? Terutama buat jajaran pengurus dan anggota PD yang loyal kepada AHY, sang ketum sah versi AD/ART 2020.
Tapi saya ingin melihat sisi lain yang mungkin bisa dicermati. Pernyataan Prof Siti Zuhro tentang kejadian kudeta partai oleh pihak lain adalah bentuk anomali politik dalam Demokrasi.
Kata Peneliti Senior LIPI ini dalam serial diskusi Polemik MNC Trijaya FM bertajuk “Nanti Kita Cerita Tentang Demokrat Hari Ini” pada Sabtu (6/3).
“KLB kemarin yang digelar membingungkan kita semua. Dari perspektif demokrasi, peristiwa KLB Sumut ini bisa dikatakan sebagai anomali politik dan demokrasi. Tentu tidak lazim,” ujarnya.
Ketidaklaziman ditilik dari KLB tsb tidak mengacu kepada AD/ART Partai besutan SBY ini. Kemudian munculnya Ketum dari luar atau bukan kader partai ybs.
Analisa Profesor berhijab ini, semua ketidaklaziman bermula dari syahwat politik yang tidak terkendali. (politik.rmol.id).
Beberapa pakar sepakat bahwa ini tidak lazim. Bahkan mereka menuding ada "pengarah" yang memaksakan kejadian tak beradab tersebut.
Tapi benarkah ini sekedar anomali ( baca : penyimpangan)?? Jangan-jangan justru memang penyakit bawaan?
Menurut KBBI sendiri, kata anomali berarti
ketidaknormalan, penyimpangan dari normal atau kelainan.
Sedangkan politik demokrasi pada intinya adalah suatu sistem politik yang mensyaratkan partisipasi rakyat. Slogan dari oleh dan untuk rakyat sering digaungkan. Termasuk di sini peran dalam legislasi dan pemilihan penguasa.
Nah kalau dianggap terjadi anomali, bisa jadi karena partisipasi rakyatnya abal-abal alias direkayasa.
Banyak kasus perpolitikan yang dianggap aktifis pro demokrasi sebagai anomali.
Yang paling heboh adalah politik dinasti. Apalagi ketika anak dan menantu pak Lurah berlaga di pilkada 2020 kemarin. Banyak komentar sinis soal "ga tau malu" memaksakan pemilu di saat pandemi supaya gol anak mantu.
Yang paling gres ya soal KLB Deli Serdang ini. Tapi benarkah cuma kasus-kasus ini yang terjadi?
Kalau mau jujur, beberapa partai juga tak demokratis. Lihat saja, ada partai yang ketumnya tak berganti begitu lama, ada partai yang isinya anak dan kerabat, dan ada partai dengan gampangnya dikuasai termasuk dengan "kudeta".
Belum lagi kasus legislasi yang tak sesuai pendapat mayoritas. Bisa kita lihat besarnya gelombang demo untuk menolak Omnibus Law. Tapi tetap saja bisa ketok palu, disahkan.
Jadi sebenarnya siapa yang menginginkan itu UU? Rakyat? Sepertinya cuma segelintir rakyat yang mau. Mereka biasa disebut oligarki.
Sudah jadi rahasia umum di semua negara yang mengklaim menegakkan demokrasi, kepentingan para kapitalis sang pemilik uang lah yang paling berpengaruh bukan rakyat banyak.
Apalagi menilik asas dari demokrasi yang memang sekuler. Agama tak boleh ikut campur urusan hidup, urusan publik, atau urusan negara. Maka tak heran tak ada nilai halal atau haram yang berlaku. Yang ada adalah menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi , target, atau tujuan berpolitik.
Maka tak ada anomali itu sesungguhnya. Tapi justru semua kekacauan adalah karena kelemahan demokrasi sejak awal. Semua adalah cacat bawaan yang akan terus menghantui proses berpolitik dan bernegara.
Umat Islam dan Tipuan Demokrasi
Sebagai mayoritas di negri ini, masih ada yang berharap memperjuangkan keadilan, kesejahteraan bahkan tegaknya syariah di jalan demokrasi. Sepertinya harus mulai dipikirkan ulang semua itu.
Karena seharusnya umat Islam tak terjebak dan tertipu slogan demokrasi yang seolah memperhatikan rakyat. Padahal prakteknya nol !!
Sungguh Allah SWT sudah mengingatkan dengan sangat jelas.
" Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk."
[TQS. Al-An’am :116-117]
Sekali lagi, jangan pernah berharap demokrasi akan menghantarkan pada tegaknya keadilan, kebaikan. Apalagi tegaknya syariah kaffah dan khilafah. Hanya gegara bermodalkan kuantitas, kita mayoritas. Hayalan itu, tak akan pernah bisa dicapai. Yang menang tetaplah oligarki yang membiayai dan memodali penguasa. Bahkan hasil bisa direkayasa. Cukup sudah kita tertipu.
Posting Komentar