Impor Garam yang Bikin Geram
Oleh : Tri S, S.Si
Pemerintah Indonesia berencana membuka keran impor garam sebanyak 3.07 juta ton ditahun 2021. Keputusan ini di ambil dalam rapat kementrian koordinator sumber daya maritim kemenko maritim dan investasi (Marves) Safri Burhanuddin yang menjelaskan angka impor ini berdasarkan produksi 2021 yang di perkirakan hanya berkisar 2.1 juta ton, sementara kebutuhan terus naik tiap tahunnya dan mencapai 4,67 juta ton. "Jadi kami akan impor, kami lihat sih 3 juta ton rencana impornya" ucap Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Maritim dan Investasi Safri Burhanuddin dalam diskusi virtual, Rabu (Tirto.id, 10/3/2021).
Impor garam Ini bukan fakta baru, Sebelumnya pada 2017 Indonesia mengimpor dari Australia mencapai 2.29 juta ton. Pada 2018 impor garam dari Australia mengalami peningkatan menjadi 2,6 juta ton. Pada 2020 impor garam dari Australia tercatat sebanyak 2.22 juta ton. Adapun pada 2019 Indonesia impor garam dari cina sebanyak 568 ton. Setahun berikutnya pemerintah kembali impor garam dari cina yang jumlahnya meningkat menjadi 1,32 ribu ton. Sementara itu impor garam dari India pada 2020 tercatat hanya 373, 93 ribu ton
(kumparan.com, 22/3/2021).
Mengapa Tahun ini pemerintah lagi-lagi harus membuka kembali keran impor garam sebanyak 3 juta ton? Mengapa negara dengan wilayah laut yang luas ini, tidak fokus pada peningkatan produksi garam dalam negeri? Bukan tanpa alasan, semua ini merupakan wujud dari realisasi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Dari UU Omnibus law Ciptaker ini, terbitlah PP 27/2021 tentang penyelenggaraan bidang kelautan dan perikanan, dimana pada pasal 289 yang menyebutkan tidak ada batasan waktu impor garam.
Alih-alih membuat kebijakan sistematik untuk memenuhi kebutuhan garam Industri melalui keputusan impor garam (sesuai UU cipta kerja). Ironisnya pemerintah malah membatalkan target swasembada dan mengabaikan jeritan petambak garam akibat panen melimpah dan tidak lakunya garam lokal. Sungguh sebuah kezaliman yang nyata dari negara atas rakyatnya!
Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) Jafar Sodikin yang menyayangkan sekaligus memprotes keputusan impor garam yang terus berlanjut. Apalagi di sertai pembatalan target swasembada. APGI mengemukakan bahwa impor garam akan semakin membuat petambak garam makin terpuruk karena harga garam di tingkat petani akan semakin tertekan seiring membanjirnya pasokan garam impor.
Haruskah Indonesia menjadi negara pengimpor garam? Impor garam ini jelas bukan saja membuat petani merugi, tapi sumber penghasilan mereka terancam menurun drastis bahkan hilang. Impor garam membuat serapan garam berkurang. Dipastikan mereka akan kehilangan sumber pendapatan keluarga.
Dalam sistem kapitalisme, sebuah negri yang kaya sumber daya alam tidak menjamin negara hidup berdaulat dan makmur. Padahal Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, namun justru tidak mampu memenuhi kebutuhan akan garam konsumsi serta garam industri, dalam negri. Guna memenuhi kebutuhan dalam negri Indonesia selalu mengandalkan impor.
Jatuh bangunnya dalam memenuhi pasokan garam dalam negeri, menjadi alasan pemerintah melakukan impor garam hampir setiap tahunnya.
Mirisnya lagi harga garam impor selalu lebih murah di banding harga garam lokal. Akibatnya petani terus merugi.
Negri ini sudah masuk dalam jebakan dan penjajahan sistem kapitalisme ini. Sistem hanya berpihak pada korporasi para pemilik modal (kapital), walau rakyat menderita. Kapitalisme harus segera di campakkan. Sistem ini tidak membawa pada kemashlahatan rakyat, sebab Kapitalisme tidak bertanggungjawab mengurusi (meriiayah) umat.
Dari sini jelas bahwa tidak ada sistem terbaik yang mampu memakmurkan rakyatnya selain sistem yang berasal dari sang pencipta manusia dan alam semesta yaitu sistem Islam, sebagai ideologi rahmatan lil alamin. Hanya Islam satu-satunya sistem shohih yang terbukti 13 abad bertanggung jawab dalam pengurusan kepentingan umat.
Posting Komentar