Mendamba Angin Segar Pada Revisi UU ITE, Yakin?
Oleh : Dwi Nesa Maulani (Komunitas Pena Cendikia)
Kabar membahagian bertubi-tubi dihembuskan oleh Presiden Jokowi. Mula-mula presiden mengajak masyarakat agar aktif mengkritik pemerintah, tapi malah masyarakat merespon dengan setengah hati. Masyarakat menganggap pernyataan itu jebakan karena masih ada UU ITE yang mengintai. Kini presiden meyakinkan bahwa pemerintah serius ingin dikritik dengan rencana akan merevisi UU ITE yang memuat pasal karet alias multitafsir.
Tapi pernyataan tak senada dilontarkan oleh bawahannya. Dilansir dari Tempo.co 21/2/2021, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate menyatakan bahwa pemerintah tak akan masuk ke urusan revisi UU ITE. Sementara itu. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD membentuk dua tim terkait polemik pasal-pasal karet dalam UU ITE. Tim tersebut bertugas membuat pedoman interpretasi dan tim lainnya mengkaji kemungkinan revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 itu.
Dalam pemerintahan sendiri terkesan tidak kompak. Masyarakat jadi bingung UU ini jadi direvisi atau tidak? Apakah kabar bahagia itu hanya lip servis? Masyarakat mau senang, harus ditahan dulu.
Sebelumnya banyak kalangan yang menginginkan pasal karet UU ITE dihapus. Sudah banyak korban. Tercatat hampir 700 orang dibui padahal bukan kriminal. Laporan Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi, tujuannya untuk membungkam suara-suara kritis.
Sebelumnya UU ITE ini sudah pernah direvisi pada tahun 2016. Namun karena tarik ulur kepentingan politik, revisi justru memunculkan pasal yang tidak diinginkan. Menurut Damar Juniarto dari SAFEnet bahwa dalam pembuatan undang-undang itu seperti berjudi. Bisa saja UU itu lebih baik, atau malah lebih buruk.
Sangat wajar kita temui dalam sistem demokrasi, proses pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan. Demokrasi yang katanya kedaulatan di tangan rakyat, pada prakteknya kedaulatan ada di tangan segelintir elite. Karena suara rakyat sudah diwakilkan kepada mereka yang memangku kekuasaan.
Demokrasi juga katanya menjamin kebebasan berekspresi mengeluarkan pendapat. Kenyataannya orang yang berpendapat tapi tak sejalan dengan kepentingan penguasa harus berhadapan dengan UU ITE. Ironi negeri demokrasi yang mengagungkan kebebasan tapi rakyatnya takut mengkritik.
Mengapa dalam kehidupan demokrasi terjadi seperti ini? Bukan hanya kesalahan orang. Tapi juga karena sistem demokrasi yang berasaskan sekulerisme. Yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga dalam demokrasi banyak celah untuk melahirkan aturan yang tidak pas untuk rakyat. Undang-undang yang tercipta dari akal manusia juga tak mungkin sempurna. Karena manusia sendiri tak ada yang sempurna. Manusia tempat salah dan lupa. Apalagi manusia yang diuji dengan kekuasaan.
Hanya Allah SWT yang Maha Sempurna. Aturan yang dibuat Allah SWT yang paling cocok untuk semua hambaNya. Tapi dalam sistem demokrasi yang sekuler ini aturan Allah SWT tak dilibatkan. Asas demokrasi kedaulatan di tangan rakyat bukan di tangan Allah SWT lah yang salah.
Maka tak heran meskipun sudah pernah direvisi UU ITE ini tidak semakin baik. Juga tidak mengakomodasi kebebasan berpendapat. Kalaupun UU ini akan direvisi lagi, bukan jaminan ada angin segar bagi mereka yang kritis.
Rakyat kritis semestinya berharap pada pengaturan islam. Jika sistem Islam diterapkan akan membuka ruang lebar bagi rakyat, partai politik, dan ulama dan siapapun baik muslim maupun nonmuslim untuk senantiasa muhasabah atau mengoreksi penguasa. Mengoreksi penguasa bisa disampaikan secara langsung atau melalui Majelis Umat.
Salah satu hadits yang mendorong sikap kritis rakyat kepada penguasa dan menasihati mereka adalah hadits dari Tamim al-Dari ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Agama itu adalah nasihat”. Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Nabi SAW bersabda “Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.”(HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim).
Rasulullah SAW pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya. Beliau bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya).
Salah satu bukti koreksi terhadap penguasa adalah kisah Umar bin Abdul Aziz yang ditegur oleh anaknya sendiri, Abdul Malik bin Umar. Ketika itu sang Khalifah istirahat sejenak karena lelah usai mengurus jenazah Sulaiman bin Abdul Malik. Abdul Malik bertanya pada ayahnya "Pantaskah engkau beristirahat, padahal masih banyak rakyat yang teraniaya?” kata sang anak dengan bijak. “Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti usai Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang yang teraniaya,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang dapat menjamin Anda hidup sampai Zhuhur jika Allah menakdirkanmu mati sekarang?” kata Abdul Malik. Mendengar itu, Umar bin Abdul Aziz terperangah. Lalu, ia memerintahkan anaknya untuk mendekat. Diciumlah anak itu sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan kepadaku anak yang telah membuatku menegakkan agama.”
Selanjutnya, Khalifah memerintahkan juru bicaranya untuk mengumumkan kepada seluruh rakyat, siapa saja yang merasa terzalimi, hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah.
Masih banyak kisah-kisah lain yang menunjukkan betapa sistem Islam sangat mendorong muslim untuk kritis. Tak boleh apatis terhadap penguasa maupun problematika umat. Islam tak akan menyerang siapapun yang bersuara lantang. Jadi masihkah berharap pada demokrasi dan UU ITE?
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Posting Komentar