Isu Terorisme Kembali Dihembuskan
Oleh : Nahida Ilma
Bom bunuh diri terjadi di depan gereja katedral Makassar saat para jemaat selesai melaksanakan ibadah misa. Diduga pelaku bom bunuh diri tewas bersama motor yang terbakar, sementara sejumlah warga lainnya mengalami luka dan dilarikan rumah sakit.
Pastor Gereja Katedral Romo Wilhelmus Tulak mengungkapkan ada jemaat gereja yang mengalami luka saat bom bunuh diri Makassar meledak pada Minggu (28/3/2021) pagi tadi. (Detiknews.com, 28 Maret 2021)
Perempuan berusia 25 tahun berinisial ZA baru-baru ini menggegerkan publik karena aksinya yang menyerang Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Rabu (31/3/2021). (CNBCIndonesia, 2 April 2021)
"Terbukti satu hari setelah kejadian bom bunuh diri Makassar, beberapa calon terduga teroris mampu dilacak keberadaannya dan ditangkap dengan barang bukti bom high exsplosive baik dari Kabupaten Bekasi maupun Condet, Jakarta Timur. Kami minta masyarakat tenang dan mempercayakan sepenuhnya penanggulangan terorisme ini kepada pihak berwajib," tutur Anggota Komisi III Fraksi PKB Cucun Ahmad Syamsurijal . (Detiknews.com, 1 April 2021)
Berita terorisme kembali menjadi perbincangan publik. Memenuhi laman utama portal-portal berita nasional, baik melalui tv, media cetak maupun elektronik. Layaknya berita yang dengan cepat menyebar, pihak berwenang pun juga sangat sigap dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Tak butuh waktu sepekan, pihak kepolisian sudah bisa menemukan identitas pelaku serta orang-orang yang terduga menjadi bagian dari komunitas yang diikuti pelaku. Baik pada kasus bom bunuh diri Makasar atau aksi penyerangan Mabes Polri. Cepatnya penanganan kasus seperti patut diapresiasi. Namun, di sisi lain juga menimbulkan tanda tanya tentang kecepatan dan kesigapan pihak berwenang terkait kasus lain yang lambat dan sulit terungkap. Kasus KM50 dan penangkapan koruptor Harun Masiku misalnya, yang sampai sekarang belum juga terselesaikan.
Kerap kali, media mengidentifikasikan pelaku dengan simbol keislaman, semacam cadar, keluarga aktivis, penggemar ajaran fundamental, militan, radikal dan sejenisnya. Memberikan stigmatisasi bahwa label teroris adalah milik umat islam.
Kasus bom bunuh diri dan penyerangan Mabes Polri ini seolah menjadi pengingat dan justifikasi terhadap masyarakat bahwa isu terhadap terorisme benar-benar merupakan masalah besar bangsa dan dunia. Jika memang menjadi masalah besar, seharunys penguasa segera memberantasnya secara tuntas sehingga tidak akan kembali berulang. Namun, faktanya langkah yang dilakukan oleh Densus 88 sebagai pihak yang terjun langsung di lapangan justru memunculkan problem yang serius. Penegakan hukum yang seharusnya menggunakan prinsip keadilan, keterbukaan, berdasarkan bukti yang kuat dan menghormati hak asasi dilanggar dengan mudah oleh Densus 88. Penanganan kasus seakan-akan dilakukan dengan main hakim sendiri dengan melihat banyaknya korban pembunuhan tanpa proses pengadilan pada pihak-pihak terduga teroris. Hal ini justru menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat terhadap orang-orang yang terlihat islamis. Tindakan-tindakan yang diambil selama ini pun, hanya dapat menghukum tindak kekerasannya, tidak mampu menghukum ide dan gagasannya.
Karena itu, dibuatlah undang-undang yang memperbolehkan ide dan gagasan untuk diperkarakan. Menjadikan sebuah paham yang teridentifikasi mengancam kesatuan negara sebagai paham yang terlarang dan tidak boleh dikembangkan serta harus dilakukan penolakan. Identifikasi paham itu pun dilakukan dengan sangat subjektif. Contohnya adalah labelisasi sebagai paham yang menganjam dasar negera terhadap gagasan sistem pemerintahan islam yang merupakan bagian dari ajaran islam. Hal tersebut tentunya menjadi ajang untuk pemecah belah umat islam.
Padahal, sudah terbukti selama kurang lebih 13 abad penerapan sistem pemerintahan islam yang merupakan warisan Rasulullah mampu menyelesaikan berbagai problematika yang disebabkan oleh ketamakan manusia.
Sebagai contoh. Ketika saat ini dunia mengalami ketimpangan ekonomi akibat monopoli SDA oleh para kapital korporat, maka dalam sistem ekonomi islam, SDA dipandang sebagai harta kekayaan milik umum yang harus dikelola negara dengan keuntungan yang dikembali kepada rakyat.
Ketika generasi penerus bangsa justru semakin terjerumus dalam lubang pergaulan bebas, maka islam memiliki aturan yang jelas dalam pergaulan. Pergaulan dalam islam harus memenuhi nidhom ijtima’i, sehingga tidak akan ada arus pergaulan bebas, kasus perzinaan, pelecahan seksual dan lain sebagainya.
Tentu ajaran islam yang demikian akam mampu menggerus sistem kapitalisme yang merupakan akar dalam setiap problematika kehidupan. Oleh karena itu, isu terorisme tak lebih dari rangkaian upaya untuk menghalangi penerapan islam sehingga sistem sekuler kapitalisme tetap eksis. Lantas pertanyaannya adalah, Apakah umat muslim ingin terus menerus ditipu dengan propaganda ini?
Wallahua’lam bish-Showab
Posting Komentar