Kompor Listrik: Kebutuhan atau Dikompori Perusahaan?
Oleh: Faizah Khoirunnisa' Azzahro
Tiap memasuki bulan Ramadhan, golongan emak-emak seringkali dipusingkan dengan urusan dapur, seperti naiknya harga sembako, cabe, daging, hingga LPG. Ditambah lagi, pada awal April 2021, pemerintah mencanangkan program baru yang dikeluarkan oleh PLN. Perusahaan BUMN tersebut telah menyiapkan program baru yang mendorong pelanggan memakai kompor listrik. Waduh, gimana nih, bukannya kompor listrik harganya mahal dan TDL naik ya Mak?
Program tersebut ditujukan bagi pelanggan pasang baru dengan iming-iming akan diberi intensif daya yang lebih besar dari yang dimohonkan. Syaratnya, mereka harus memasang kompor listrik pada hunian mereka. Pemerintah beralasan bahwa program ini bisa menekan angka impor LPG dan mendorong kinerja PLN. (www.sindonews.com, 02-04-2021)
Menurut Menteri BUMN, Erick Thohir, jika berjalan lancar, program ini bisa menghemat anggaran negara dan rumah tangga. Pasalnya, penggunaan listrik lebih murah dibanding gas. Di samping itu, dengan beralihnya kompor gas ke listrik, dinilai bisa mewujudkan ketahanan energi nasional. Tak sekedar wacana, kesepakatan dengan sembilan perusahaan jasa konstruksi telah dilakukan demi terwujudnya program tersebut. (www.cnbcindonesia.com, 31-03-2021)
Jauh Dari Urgensi
Di tengah berbagai persoalan mendasar dan mendesak untuk dicarikan solusi, pemerintah justru membuang-buang waktu dan energi untuk membuat program yang tak menyentuh akar persoalan. Alasan penghematan anggaran, rasanya hanya mengada-ngada. Sebab, di tengah kesulitan ekonomi yang di alami, terutama dampak dari pandemi yang tak kunjung usai, membeli kompor listrik tentu dirasakan sangat berat dan membebani. Belum lagi, tarif dasar listrik (TDL) telah direncanakan naik. Alhasil, biaya bulanan untuk bayar listrik membengkak. Lain cerita jika kondisi ekonomi rakyat sudah sejahtera dan merata, program seperti ini tentu saja mudah untuk diikuti.
Tak hanya jauh dari urgensi, tampaknya ada kepentingan korporat yang ingin mengambil untung besar dari program kompor listrik ini. Deal-deal proyek dengan perusahan pemberi sponsor sebagai balas budi, sudah menjadi rahasia umum di kontestasi politik demokrasi. Inilah konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme dimana kapitalis diberi karpet merah sementara rakyat jadi sapi perah. Slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, yang selalu digaungkan, faktanya hanya kedok agar rakyat tetap berharap pada sistem demokrasi yang bobrok ini.
Kebijakan Dalam Islam Berdasarkan Prioritas
Sebagai sebuah mabda' atau ideologi, Islam juga mengatur penggunaan energi, termasuk listrik maupun gas. Bagaimanapun manusia membutuhkan energi untuk memudahkan aktivitasnya selama hidup di dunia. Menurut Islam, api (gas, listrik, batu bara, BBM) termasuk kepemilikan umum yang wajib dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Karena merupakan kebutuhan pokok dan wajib dikelola negara, maka sumber daya ini tidak boleh diserahkan kepada swasta.
Berkaitan dengan ini Rasulullah saw bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Daud).
Jika kepemilikan umum diserahkan pada swasta, tentu menyalahi hukum syara'. Selain dzalim, jika swasta yang mengelola kepemilikan umum menjadi, tentu saja sumber daya akan jadi komoditas dan rakyat jadi sulit menjangkau karena harganya jauh lebih mahal. Inilah yang sedang terjadi dan kita rasakan saat negara memakai sistem kapitalisme yang memberi kesempatan swasta untuk mengelola aset rakyat.
Kebijakan negara Islam terkait penggunaan energi juga harus melalui kajian panjang dibantu oleh ilmuwan yang relevan untuk menimbang dampaknya terhadap lingkungan dan ketahanan energi. Jika ternyata energi listrik terpilih sebagai energi dengan maslahat terbanyak, program peralihan energi bisa diterapkan, tentu setelah mempersiapkan seluruh perangkat yang dibutuhkan dan tanpa membebani rakyat.
Dalam Islam, negara wajib mengurus rakyat dalam seluruh aspek kehidupan sesuai dengan aturan Allah yang mustahil menyebabkan kesengsaraan. Tak heran, saat dulu syariat Islam diterapkan, rakyat dapat merasakan kesejahteraan yang tak bisa diwujudkan sistem manapun selain Islam.
Solusi yang ditawarkan Islam bersifat sistemik, dan dimulai dari hal yang paling mendasar atau urgen. Negara Islam bekerja untuk rakyat, tak memihak golongan, ras dan agama. Yang dikejar oleh negara Islam adalah untung rugi akhirat (ridho Allah SWT), bukan untung rugi ala kapitalis.
Posting Komentar