Potret Buram Pendidikan di Bombana, Butuh Solusi Praktis
Oleh : Waode Rachmawati, S.Pd. M.Pd
(Praktisi Pendidikan Kota Kendari)
Potret buram sektor pendidikan kembali diperlihatkan di negeri ini. Salah satu daerah di Sulawesi Tenggara yakni kabupaten Bombana harus menerima predikat terburuk kedua pada sektor pendidikannya. Pasalnya pada tahun 2020, berdasarkan penilaian Badan Akreditasi Nasional, Kabupaten Bombana menempati posisi peringkat terakhir kedua di antara 17 Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara (telisik.id/11/2/2021).
Permasalahan ini pun mendapat perhatian dari anggota DPRD Bombana. Ketua Komisi III DPRD Bombana meminta agar menyelesaikan permasalahan akreditasi sekolah ini sesegera mungkin ke lembaga akreditas sekolah, mendampingi dan membimbing sekolah yang melakukan akreditasi, serta menyiapkan sarana dan prasarana, SDM dan hal-hal yang dibutuhkan dalam proses akreditasi. Mengingat ternyata di daerah Bombana sendiri masih terdapat 41 sekolah belum memiliki akreditasi dan juga terdapat kurang lebih 60 sekolah lainnya masa akreditasinya telah berakhir.
Persoalan Sistemik pada Sektor Pendidikan
Predikat buruk yang disematkan pada sektor pendidikan Bombana adalah hasil penilaian badan akreditasi nasional. Akreditasi sekolah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan satuan atau program pendidikan, sebagai bentuk pengakuan atas penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan.
Buruknya nilai akreditasi menunjukan bahwa sekolah di daerah tersebut belum mampu memenuhi berbagai indikator penilaian yang ada. Penilaian dalam akreditasi terdiri dari delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP), yakni standar Isi, standar kompetensi lulusan, standar proses pendidikan, standar pengelolaan pendidikan, standar penilaian pendidikan, standar pembiayan pendidikan, standar sarana dan prasarana serta standar pendidik dan tenaga kependidikan.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Bombana, Andi Arsyad, salah satu penyebab utamanya karena masih banyak sekolah-sekolah yang tidak terakreditasi, serta sebaran kepala sekolah dan infratruktur yang masih kurang memadai (telisik.id/11/2/2021). Sejalan dengan pandangan dari pengamat pendidikan Allan Setyoko yang menyatakan bahwa jika ada sekolah yang belum memenuhi standar akreditasi kebanyakan terletak pada standar tenaga pendidik dan kependidikan serta sarana dan prasarana. Dan hal ini diperparah dengan belum ada kepedulian dan upaya pihak sekolah untuk memacu dan meningkatkan mutu mereka dengan mengatasi permasalahan ini (tribunjambi.com/4/5/16). Maka sudah selayaknya pemerintah hadir untuk menjalankan fungsinya untuk melakukan pembinaan dan memberikan fasilitas pendidikan yang memadai.
Sejatinya masalah yang dialami oleh daerah Bombana pun tidak berbeda jauh dengan masalah yang dialami oleh daerah-daerah lain di Negeri ini. Bank Dunia (World Bank) pun menyoroti banyak sekolah di Indonesia yang masih kekurangan elemen dasar untuk mendukung pembelajaran siswa. Dalam hasil kajian bertajuk Public Expenditure Review Spending for Better Result, data administrasi Kemendikbud mengkonfirmasi hal ini. Data menunjukkan, hanya 25 persen ruang kelas di pendidikan dasar dan 40 persen ruang kelas SMA yang berada dalam kondisi baik. Begitupun hanya 21 persen sekolah di pendidikan dasar yang terakreditasi dengan tingkat A dan sekolah yang dihadiri oleh siswa miskin memiliki proporsi lebih rendah untuk ruang kelas berkondisi baik maupun mendapat akreditasi A. Ekonom Bank Dunia, Rythia Afkar mengatakan, masalahnya terletak pada distribusi transfer ke daerah yang tidak merata. Hal ini menciptakan perbedaan yang signifikan dalam kemampuan Pemda untuk mengelola belanja pendidikan (Kompas.com/24/6/20).
Meski pemerintah mengklaim telah menaikkan anggaran pendidikan dalam APBN yait sebesar 20 persen, faktanya anggaran tersebut tidak dapat langsung diserap untuk peningkatan infrastruktur pendidikan. Bahkan tidak mencukupi sama sekali. Peningkatan kualitas SDM pendidikan membutuhkan dana tidak sedikit. Walhasil, fasilitas pendidikan (bangunan sekolah) tidak sepenuhnya ditingkatkan kualitasnya.
Ditambah lagi dengan pengelolaan guru, misalnya. Negara tidak bisa sepenuhnya memperhatikan guru karena minimnya anggaran. Dan patut dipertanyakan, mengapa Negara tidak memberikan anggaran penuh bagi pendidikan? Bukankah kebutuhan pendidikan memang banyak. Dan jika tidak dipenuhi tentu akan berdampak luas, diantaranya problem guru ini.
Hal tersebut ditambah dengan buruknya birokrasi karena otonomi daerah. Kebijakan negara kapitalis ini telah menyumbang persoalan yang amat banyak. Hitung-hitungan anggaran tidak lepas dari konsep kapitalistik terhadap nilai pendidikan. Kemudian lepasnya tanggung jawab pemerintah pusat dalam urusan pendidikan membuat banyak sekali persoalan lambat, bahkan tidak tertangani. Banyak sekolah rusak di daerah yang menunggu respon pemerintah pusat. Namun, semua itu tidak kunjung diselesaikan.
Keadaan ini diperparah lagi dengan adanya dugaan korupsi di dunia pendidikan, maka hal ini bukanlah hal yang asing. ICW sendiri pernah mengungkapkan bahwa di dunia pendidikan, Dinas Pendidikan menjadi lembaga paling rentan korupsi, disusul sekolah, universitas, pemkab/pemkot, dan pemerintah provinsi. Hal ini masuk akal, karena sebagian anggaran pendidikan dikelola oleh Dinas Pendidikan Daerah. Menurut ICW, objek korupsi pendidikan berupa Dana Alokasi Khusus (DAK), sarana dan prasarana sekolah, dana BOS, hingga infrastruktur sekolah, serta dana buku (Tribunnews.com, 24/04/2017).
Demikianlah karut marut pengelolaan pendidikan dalam sistem kapitalis liberal. Sistem ini menghasilkan negara yang bermasalah secara ekonomi, sehingga anggaran pendidikan minim. Otomatis pembangunan infrastruktur dan SDM sekolah pun terhambat, sehingga berdampak pada kualitas dan mutu pendidikan.
Butuh Solusi Islam
Sejatinya persoalan yang melanda dunia pendidikan saat ini dapat terselesaikan, manakala negara mau menerapkan sistem pendidikan islam dalam naungan khilafah. Sistem pendidikan dalam Khilafah dijalankan sepenuhnya oleh negara. Negara berkewajiban memastikan proses pendidikan berjalan sesuai arah dan kebijakan yang ditetapkan negara berdasar syariat Islam. Mulai dari menggratiskan biaya pendidikan, pembiayaan gaji guru/dosen, sampai menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan setiap satuan pendidikan. Semua itu akan dibiayai melalui kas Negara (baitulmal).
Akreditasi sekolah pun dilakukan untuk memastikan pendidikan berjalan dengan benar. Tentunya, hal itu juga dilakukan dengan kriteria dan perangkat akreditasi yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.Sekolah akan berlomba-lomba menjadi lembaga pendidikan terbaik semata-mata karena dorongan takwa. Yakni, kewajiban mencetak sumber daya manusia unggul.
Negara tak akan membiarkan sekolah yang kurang berkembang. Negara berkewajiban memampukan dan membantu agar semua sekolah tumbuh, berkembang, dan berkualitas. Hal ini tentu dengan sendirinya akan menekan munculnya kesenjangan dalam kualitas pendidikan sebagaimana terjadi saat ini.
Sebab Negara akan hadir untuk menjalankan kewajibannya dalam menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Dalilnya adalah As-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Nabi SAW bersabda :
“Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.”
(HR Muslim).
Wallahu ‘alam bishowwab
Posting Komentar