Palestina will be Free
Oleh: Nur Syamsiyah, M.E (Aktivis Muslimah)
(Atouna El Toufule)
Begitulah gambaran Palestina kini. Langit bumi para nabi yang masih terus memerah. Suara-suara dentuman yang memekakkan telinga. Darah dan air mata yang terus mengalir membasahi tanah Palestina. Ratusan korban berjatuhan, serangan udara Israel secara besar-besaran telah menewaskan total 213 warga Gaza, termasuk 61 anak-anak sejak 10 Mei lalu. Kemudian lebih dari 1.400 warga Palestina selama seminggu terakhir, menurut Kementerian Kesehatan di kota itu. (Kompas.com, 18/5/2021).
Hingga saat Israel dan Hamas resmi melakukan gencatan senjata pada Jum’at (21/5) untuk mengakhiri pertempuran selama kurang lebih 11 hari, jumlah warga Gaza yang tewas telah bertambah menjadi 232 orang. Menurut penghitungan terbaru Kementerian yang dikelola kelompok Hamas tersebut, jumlah korban tewas termasuk 65 anak-anak. Sebanyak 1.900 warga Palestina lainnya terluka akibat gempuran Israel. (detikNews, 22/5/2021).
Namun, nyatanya Israel mengingkari kesepakatan tersebut. Belum beranjak satu hari penuh, segerombolan apparat Israel kembali melancarkan serangan yang menyasar warga Palestina. Pasalnya setelah jamaah menunaikan shalat Jumat, para aparat Israel menembaki granat kejut, bom asap dan gas air mata kepada warga sipil Palestina di wilayah Masjid Al-Aqsa. (pikiranrakyatbekasi.com, 22/5/2021).
Di balik konflik yang terus terjadi antara Palestina dan Israel, korban yang terus berjatuhan, tak satupun negara muslim yang mengulurkan tangannya. Hanya sebuah kecaman tanpa tindakan nyata mengirimkan tentara militernya untuk melawan Israel.
Awal Mula Israel Merampok Tanah Palestina
Dalam buku Jejak-Jejak Juang Palestina karya Musthafa Abd Rahman dijelaskan, dua peristiwa sejarah yang menjadi fondasi perampokan tanah Palestina itu berkisar pada 1900-an.
Pertama, peristiwa Perjanjian Sykes-Picot pada 1916 antara Inggris dan Prancis. Inggris dan Prancis membagi peninggalan Dinasti Ottoman di wilayah Arab. Pada perjanjian tersebut ditegaskan bahwa Prancis mendapat wilayah jajahan Suriah dan Lebanon, sedangkan Inggris memperoleh wilayah jajahan Irak dan Yordania. Sementara itu, Palestina dijadikan status wilayahnya sebagai wilayah internasional.
Kedua, peristiwa sejarah Deklarasi Balfour pada 1917. Perjanjian ini menjanjikan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina pada gerakan zionisme. Di bawah payung legitimasi Perjanjian Sykes-Picot dan Deklarasi Balfour tersebut, warga Yahudi di Eropa mulai bermigrasi ke Palestina pada 1918. (republika.co.id, 29/5/2020).
Pada awal 1930-an, Gerakan Zionis di Palestina berhasil mendapat persetujuan pemerintah protektorat Inggris untuk memasukkan imigran Yahudi ke Palestina secara besar-besaran.
Sebelumnya, ketika Perang Dunia I berakhir pada tahun 1918, Inggris menguasai Palestina. Liga Bangsa-Bangsa mengeluarkan mandat kepada Inggris untuk Palestina yang mulai berlaku pada 1923. Mandat itu tertuang dalam sebuah dokumen, yang memberikan Inggris kontrol administratif di kawasan tersebut, termasuk ketentuan untuk mendirikan tanah air nasional Yahudi di Palestina.
Pada 1947, setelah lebih dari dua dekade pemerintahan Inggris berkuasa, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusulkan rencana untuk membagi wilayah Palestina menjadi dua, yaitu bagian untuk negara Yahudi merdeka dan negara Arab merdeka. Kota Yerusalem, yang diklaim sebagai ibu kota oleh orang Yahudi dan Arab Palestina, menjadi wilayah internasional dengan status khusus. Para pemimpin Yahudi menerima rencana tersebut, tetapi banyak orang Arab Palestina dengan keras menentangnya.
Pada Mei 1948, kurang dari setahun setelah Rencana Pemisahan untuk Palestina diperkenalkan, Inggris menarik diri dari Palestina, dan Israel mendeklarasikan dirinya sebagai negara merdeka. Seketika itu, hampir semua negara tetangga Arab mengerahkan tentaranya untuk mencegah berdirinya negara Israel.
Perang Arab-Israel pada 1948 tidak terhindarkan. Lima negara Arab yang terlibat perang saat itu adalah Yordania, Irak, Suriah, Mesir, dan Lebanon. Pada akhir perang pada Juli 1949, Israel menguasai lebih dari dua pertiga bekas Mandat Inggris. Sementara, kelompok Arab mengambil kontrol di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Konflik 1948 membuka babak baru dalam perjuangan antara orang Yahudi dan Arab Palestina, yang sekarang menjadi sengketa regional yang melibatkan negara-bangsa dan jalinan kepentingan diplomatik, politik serta ekonomi. (internasional.kompas.com, 18/5/2021).
Pemimpin Negeri-Negeri Muslim Hanya Beretorika
Penyerangan Israel terhadap Palestina terus terjadi secara berulang-ulang. Hal ini menjadi indikasi bahwa konflik Palestina benar-benar dipelihara. Dunia seolah tidak berbuat apa-apa. Pemimpin-pemimpin negeri muslim hanya sekedar memberikan kecaman-kecaman dan menunggu Dewan Keamanan PBB.
Di atas lahan milik bangsa Palestina, lebih dari 600 ribu warga Israel bermukim di sana. Sementara, bangsa Palestina yang merupakan penduduk setempat, diusir. Hal demikian jelas telah melanggar HAM. Namun seperti biasa, berkat dukungan Amerika Serikat, pelanggaran ini dianggap biasa dan tak melanggar HAM.
Bahkan dengan arogannya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan serangan ini baru permulaan saja dan akan terus menyerang Gaza. Netanyahu pun berterima kasih pada Joe Biden, karena AS telah mendukung tindakannya. Di sisi lain, negeri-negeri muslim yang mengelilingi Palestina hanya diam membatu. Mesir misalnya, yang berbatasan langsung dengan Palestina, justru menutup perbatasan dengan alasan nasional state.
Sungguh, sekat nasionalisme telah mengoyak ukhuwah di antara umat muslim dunia. Negeri-negeri muslim juga telah tersandera oleh kepentingan politik, takut pada negara penyokong Israel (baca: AS).
Peristiwa ini ditanggapi oleh pengamat politik internasional, Ustaz Farid Wadjdi. Keberanian, arogansi, dan kelancangan penjajah Yahudi terhadap warga Palestina disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, penjajah Yahudi sangat paham ada AS dan negara-negara barat di belakangnya. Sikap politik AS tersebut yaitu menjadikan eksistensi penjajahan Yahudi sebagai “harga mati” bagi mereka, bersifat permanen dari presiden ke presiden. Sehingga, meskipun jumlah penduduk Israel hanya sedikit sekitar 7-8 juta orang, membuat mereka sangat berani, lancang, dan arogan.
Kedua, penjajah Yahudi paham sikap pengkhianatan dan lemahnya penguasa-penguasa negeri muslim yang “paling-paling” hanya akan mengecam. Walaupun kekuatan militer negeri-negeri muslim ini kuat dan besar, tetapi tidak akan diarahkan dan dimobilisasi untuk membebaskan tanah Palestina dari penjajah Yahudi ini.
Palestina Konflik Agama, Bukan Sekadar Konflik Politik maupun Kemanusiaan
Baitulmaqdis—yang di dalamnya terdapat Masjidilaqsa—adalah kiblat pertama kaum muslim. Dari sinilah Rasulullah saw. bertemu dengan para nabi. Dari sana pula Rasulullah saw. naik ke Sidratulmuntaha. Peristiwa tersebut dikenal dengan Isra’ Mi’raj. Sehingga, tempat ini telah terpatri di dada-dada kaum muslim.
Penaklukan pertama kali dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab pada tahun 15 Hijriah. Setelah Palestina jatuh ke tangan Tentara Salib, direbut kembali oleh Shalahuddin al-Ayubi. Pada masa Kekhilafahan, Palestina, yang hidup di dalamnya tiga agama besar—Islam, Nasrani, dan Yahudi—hidup berdampingan dengan rukun.
Namun, pascakekalahan Daulah Khilafah di Perang Dunia I, terwujudlah perjanjian Sykes-Picot dan perjanjian Balfour 1917 yang menjadi awal mula Yahudi berkuasa atas Palestina.
Sejarah mengenai kependudukan Israel atas Palestina, dapat dipastikan bahwa konflik Palestina adalah konflik agama. Perampasan tanah Palestina oleh Israel bukan semata konflik politik maupun kemanusiaan. Karena telah jelas yang terzalimi adalah umat muslim Palestina.
Kaum muslimin -terutama anak-anak, perempuan dan rakyat yang lemah- menjadi sasaran bagi zionis Israel. Kiblat pertama umat Islam dirusak dan dikotori. Mereka menghalangi umat Islam beribadah di masjid Al-Aqsa. Terlebih lagi serangan terus berulang pada bulan suci Ramadhan.
Selain itu, upaya keras Inggris, Prancis, dan AS dalam membidani lahirnya “negara” Israel, bukan tanpa pamrih. Negara adidaya itu semata ingin menciptakan konflik yang berkepanjangan demi kepentingan ekonomi dan ideologinya (Kapitalis) di Timur Tengah. Kepentingan terbesar mereka adalah menghalangi tegaknya Kembali daulah Khilafah Islamiah.
Palestina will be Free with Khilafah
Konflik Palestina adalah konflik agama, yang seyogianya dengan dorongan akidah kaum muslim tergerak untuk berkontribusi terhadap terselesaikannya masalah Palestina. Tentulah bantuan yang tepat untuk membantu Palestina adalah dengan mengusir perampok, zionis Israel. Adapun bantuan makanan dan obat-obatan, tanpa adanya upaya mengusir perampok tersebut, sungguh tak akan menyelesaikan masalah. Perampok itu akan terus-menerus melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Sungguh, mereka membutuhkan bantuan militer, bantuan senjata untuk mengusir Israel.
Kekuatan militer ini tidak mungkin dapat dikirimkan secara pribadi. Karena yang berhak mengirimkan militer adalah pemimpin negeri muslim. Selain itu, penjajah Yahudi paham bahwa tidak ada institusi politik yang menyatukan negeri-negeri Islam dan bisa menggerakkan pasukan-pasukan kaum muslimin yang jumlahnya besar.
Sesungguhnya Nabiyullah telah mencontohkan pada umatnya untuk menerapkan Islam secara kafah dalam satu institusi negara. Hanya dengan kepemimpinan Islamlah, persatuan negeri-negeri muslim akan terwujud. Persatuan negeri-negeri muslim dalam satu komando akan menghimpun kekuatan yang menakutkan negara adidaya saat ini. Sehingga, negeri-negeri muslim bisa terbebas dari hegemoni Barat dan bebas menentukan sikapnya. Pengerahan pasukan pun akan niscaya terwujud dan Palestina terbebas dari penjajahan Israel.
Inilah kemenangan hakiki kaum muslim, melalui tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah. Maka, berdakwah untuk menerapkan syariat Islam dalam bingkai Khilafah Islamiah adalah kontribusi nyata bagi terselesaikannya konflik Palestina.
Semoga Allah Swt. segera memberikan pertolongan-Nya pada umat muslim untuk kembali memimpin dunia, hingga cahaya peradaban manusia yang luhur akan terpancar darinya. Wallahu a’lam
Posting Komentar