Tebang Pilih Penerapan Kebijakan
Oleh: Chikwisma - Komunitas Muslimah Arsitek Peradaban
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghimbau
kepada seluruh masyarakat untuk tidak lengah terhadap penyebaran pandemi
COVID-19, meskipun tren kesembuhan pasien COVID-19 terus meningkat, namun tetap
virus tersebut masih ada dan nyata. Jokowi juga menegaskan kepada masyarakat
untuk tidak berpuas diri dan tidak boleh optimisme berlebihan. Sehingga
masyarakat merasa situasi sudah terkendali dan pandemi sudah aman.
(setkab.go.id, 19/04/2021).
Tidak tanggung-tanggung himbauan tersebut
didukung dengan aturan larangan mudik lebaran 2021 yang ditetapkan oleh
pemerintah. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan
Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan
Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah selama 6-17 Mei 2021 sebagaimana
dilansir kompas.com (1/5/2021).
Kebijakan tersebut terkesan baik sebagai
bentuk kepedulian dari pemerintah dalam rangka menekan laju peningkatan pandemi
COVID-19. Hal ini dilakukan untuk mencegah penularan virus corona yang menyebar
akibat mobilitas masyarakat yang meningkat pada saat Lebaran.
Namun disisi lain, kebijakan tersebut
terkesan tebang pilih dalam pelaksanaannya. Bagaimana tidak, fakta di lapangan
menunjukkan bahwa mobilitas masayarakat di pusat perbelanjaan meningkat, tempat
wisata dibuka lebar dan tidak jarang ditemukan para pengunjung pusat
perbelanjaan dan tempat wisata mengabaikan protokol kesehatan (prokes). Pada
saat yang bersamaan pula pintu terbuka lebar para Tenaga Kerja Asing (TKA)
masuk ke negeri ini saat aturan pelarangan mudik lebaran 2021 begitu ketat
diberlakukan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Orang-orang kaya dan pemilik
modal di negeri ini bebas mudik dengan menggunakan pesawat-pesawat pribadi
tanpa pembatasan yang ketat sebagaimana yang dialami oleh masyarakat lapisan
bawah. Hal ini tentunya berpotensi mengundang terjadinya kasus baru penyebaran
COVID-19 dan ketidak adilan pemberlakuan kebijakan yang dirasakan oleh
masayarakat terutama rakyat kecil.
Kebijakan inkonsistensi pemerintah tersebut
menyebabkan masyarakat bimbang dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap
kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah. Masyarakat akhirnya mengambil
langkah-langkah tersendiri yang terkesan tidak lagi mengindahkan aturan dari pemerintah
dan berusaha untuk mencari jalan sampai ke ‘lubang tikus’ untuk bisa mudik dan
bersilaturakhim dengan keluarganya di kampung halaman. Bahkan tidak sedikit
yang akhirnya masyarakat yang mudik menempuh jalan yang berbahaya seperti
menjebol pembatas jalan dan beradu argumen dengan para petugas polisi di jalan
raya, menggunakan jalur sungai dengan sarana transportasi perahu yang tak layak
angkut, bahkan ada yang nekat menggunakan jalur laut dengan transportasi
seadanya.
Betapa ironisnya gambaran aturan dalam
sisitem kapitalis yang diterapkan oleh negeri ini. Aturan dibuat sesuai dengan
kepentingan yang mengutamakan untung dan rugi. Sistem tersebut melahirkan
aturan ‘suka-suka’ dan mengindahkan ketaqwaan individu terhadap Allah yang
telah mencipatakan manusia, alam semesta dan kehidupan dengan kelengkapan
aturannya.
Indonesia dengan mayoritas penduduknya
muslim tentulah sepantasnya harus melirik bagaimana sistem Islam yang memiliki
kelengkapan tersendiri dalam menyelesaikan seluruh problematika kehidupan.
Islam bukan hanya sebagai agama namun merupakan pedoman hidup manusia secara
menyeluruh (kaffah). Islam dengan kelengkapan aturannya bukan hanya mengurusi
ibadah yang bersifat ritual saja, namun Islam juga memberikan gambaran jalan
keluar dalam menyelesaikan masalah pandemi wabah dan penyakit yang
menular.
Rasulullah saw sebagai pemimpin kala itu
memberikan contoh terbaik dengan memberikan gambaran nyata dalam penanganan
wabah penyakit menular. Ketika saat itu terjadi wabah pes dan lepra. Rasulullah
melarang umatnya memasuki daerah yang terkena wabah. Rasulullah Saw. bersabda,
“Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah
kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada,
maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sejak awal pandemi dan sebelum penyakit
menyebar ke daerah-daerah lain hingga tak terkendali, Islam telah mengajarkan
untuk melakukan karantina di wilayah yang pertama kali terkena wabah. Hal ini
langsung dicontohkan oleh Rasulullah sebagai metode karantina dalam rangka
pencegahan wabah menyebar ke wilayah-wilayah yang lainnya.
Untuk mendukung kebijakan tersebut,
Rasulullah memerintahkan untuk mendirikan tembok di sekitar daerah yang
mengalami wabah. Rasulullah juga menguatkan para penduduk yang sedang terkena
wabah dengan menjanjikan pahala sebagai mujahid di djalan Allah bagi siapa saja
yang bersabar dan tetap tinggal di daerah wabah. Sedangkan bagi para penduduk
yang melarikan diri ke daerah lain yang belum terkena wabah, maka diancam
kebinasaan dan kehinaan.
Sebagai pemimpin, Rasulullah memberikan
contoh dalam menerapkan langkah yang sangat hati-hati dengan memberikan
peringatan kepada masayarakat untuk menghindari penyakit lepra. Penyakit lepra
ini dikenal luas pada masa hidup Rasulullah. sebagaimana hadis dari Abu
Hurairah, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang
yang terkena lepra, seperti kamu menjauhi singa.”
Selain itu, Islam telah memberikan panduan
untuk senantiasa melaksanakan 3T (testing, tracing, and treatment) dan 3M
(mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak) sebagaimana yang sekarang
digaungkan terus oleh pemerintah dan jajarannya. Aksi 3T ini dilaksanakan
dengan ketat oleh pemangku kebijakan untuk melakukan pengujian, pelacakan, dan
selanjutnya tindakan pengobatan serta perawatan terhadap individu yang terkena
Covid-19.
Islam sebagai sistem kehidupan yang
syariatnya diterapkan oleh institusi negara mengatur penanganan individu yang
terkena virus menular supaya tidak menularkan kepada individu yang sehat.
Rasulullah mengontrol ketat dalam penjagaan supaya wabah ini tidak menjalar ke
daerah lain. Apabila sebuah wilayah terkena penyakit tha’un, Rasulullah sebagai
pemimpin memerintahkan untuk melakukan isolasi bagi para penderitanya di tempat
isolasi khusus, jauh dari pemukiman warga.
Ketika penderita diisolasi, maka dilakukan
pemeriksaan secara rutin dan detail, kemudian dilakukan langkah-langkah
pengobatan dengan pantauan yang ketat. Selanjutnya para penderita diperbolehkan
meninggalkan wilayah isolasi ketika dinyatakan telah sembuh total.
Gambaran nyata sistem Islam dalam rangka
mencegah penyebaran penyakit menular juga dilanjutkan oleh para sahabat dan
Khalifah sesudah Rasulullah. Adalah Khalifah Umar bin Khattab dalam
kepemimpinannya terjadi wabah kolera yang melanda Negeri Syam. Sehingga
Khalifah Umar beserta rombongan yang pada saat itu sedang melakukan perjalanan
ke Negeri Syam harus menghentikan perjalanannya dan memerintahkan untuk tidak
melanjutkan perjalanannya ke Syam. Demikian juga bagi masyarakat yang sedang
terkena wabah tersebut diperintahkan untuk tidak keluar dan tetap tinggal di
Syam untuk melakukan perawatan dan pengobatan sehingga wabah tidak meyebar ke
wilayah-wilayah yang lain.
Begitulah gambaran tuntas solusi Islam yang
penerapannya berlaku bagi seluruh kalangan, tegas dan konsisten. Sehingga semua
lapisan masyarakat melaksanakan dengan penuh keridhoaan dan ketakwaan karena
discontohkan penerapannya secara nyata dan langsung oleh pemimpin kala itu.
Seharusnyalah Indonesia dengan mayoritas penduduknya muslim, pemimpinnya segera
mengambil solusi Islam tersebut dengan pelaksanakannya secara optimal sambil
terus berupaya untuk menemukan obat yang tepat untuk COVID-19. Tidaklah membuat
solusi yang justru akan menimbulkan masalah baru lagi. Wallahu a’lam bishowab.
Banjar, …. Mei 2021
Posting Komentar