Ketentuan Pajak Dalam Islam
Oleh: Mimin Diya
Selama ini pajak telah menjadi penopang
keuangan negara. Tercatat sekitar 70% target APBN 2021 bersumber dari pajak,
yakni Rp1.229,6 triliun dari total Rp1.743,6 triliun. Menteri keuangan
menyebutkan realisasi pendapatan negara hingga akhir April 2021 adalah sebesar
Rp585 triliun atau 33,5 persen, dengan penerimaan pajak Rp374,9 triliun atau
30,5 persen (Tempo, 25/5/2021).
Sementara target pembiayaan yang dikejar
oleh negara masih sangat besar, seperti membayar utang, biaya pembangunan
infrastruktur, hingga biaya penanggulangan bencana. Sepanjang waktu utang
negara selalu bertambah. Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah tembus
Rp6.445,07 triliun per Maret 2021 (CNN, 29/4/2021). Pendapatan yang minim di
tengah beban pengeluaran negara yang besar mendorong pemerintah mencari peluang
menambah pemasukan kas negara.
Salah satu yang dikejar adalah peningkatan
pajak. Telah viral berita bocornya revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU)
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam
draf beleid tersebut, barang kebutuhan pokok atau sembako serta barang hasil
pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak
dikenai PPN. Berarti barang itu akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).
Terdapat pula rencana beban pajak untuk jasa angkutan, jasa pelayanan kesehatan
medis, hingga pendidikan (CNN, 10/6/2021).
Berbagai elemen masyarakat otomatis ramai
melakukan penolakan rencana kebijakan tersebut. Direktur Center of Economic and
Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut berbagai wacana pajak
baru Jokowi ini mengisyaratkan ketidakadilan. Bahkan, aturan pajak berpotensi
memperlebar jurang ketimpangan ekonomi. Karena disisi lain negara akan
melakukan tax amnesty serta relaksasi pajak pembelian barang mewah dan properti
(CNN, 10/6/2021).
Logika kebijakan yang bertolak belakang
tersebut ialah orang kaya cenderung mengkonsumsi sembako lebih banyak maka PPN
juga besar dari orang miskin. Ketika PPNBM 0%, pada akhirnya konsumen (orang
kaya) juga terkena pajak tahunan dan PPN dari banyak jasa dan barang yang
dipakai ketika memiliki barang mewah. Selain itu dapat menggerakkan industri
yang mati mati suri, seperti industri otomotif. Jika industri bangkit akan
dapat memutar roda ekonomi rakyat. Beginilah cara pandang dalam sekup sistem
kapitalisme.
Semua solusi hanya bersifat parsial.
Sekilas nampak memberi empati bagi semua pihak, tidak pandang rakyat kaya
maupun rakyat miskin. Namun, dampak jangka panjang akan berimbas kepada seluruh
rakyat. Beban kehidupan pun bertambah berat, karena semua serba dikenai pajak.
Sementara pelayanan kepada masyarakat minim akibat negara terjerat dalam
kerusakan sistem kapitalis, seperti utang menggunung dan monopoli seluruh aset
kekayaan negara.
Jka ditelusuri semua akar masalah yang
terjadi, maka akan jelas bahwa akar masalahnya adalah sistem kapitalisme.
Solusi tuntas segala permasalahan bangsa negara ini tidak lain harus mengganti
sistem yang ada dengan sistem lain yang benar. Dan satu-satunya sitem yang
benar dan sempurna adalah sistem Islam, yang memiliki pengaturan dalam selurih
aspek kehidupan.
Dalam masalah ekonomi seperti saat ini,
apabila merujuk pada sistem ekonomi Islam, maka terdapat aturan secara jelas
atas pendapatan negara maupun bab pajak. Islam mewajibkan penguasa mengurusi
urusan rakyat sesuai syariat dan tidak boleh menzalimi mereka. Salah satu
struktur dalam sistem pemerintahan Islam ialah Baitul Mal, yakni lembaga yang
bertugas memungut dan membelanjakan harta yang menjadi milik umat. Pemasukan
Baitul Mal berasal dari :
1. Pos Fa'i dan kharaj, meliputi :
ghanimah, kharaj, tanah-tanah, jizyah, fa'i, dan pajak.
2. Pos kepemilikan umum, meliputi : minyak
bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, sungai, selat, mata air, hutan,
padang gembalaan, hima dan sebagainya.
3. Pos zakat, meliputi zakat uang,
komoditas perdagangan, pertanian dan buah-buahan, unta, sapi, dan domba.
Dalam kitab Daulah Islam bahwa pajak
dipungut apabila kas Baitul Mal tidak cukup untuk membiayai aktivitas yang
diwajibkan syara' terhadap umat. Namun tidak dibenarkan memungut pajak untuk
proses peradilan, urusan birokrasi, atau keperluan rakyat lainnya yang tidak
diwajibkan syara'. Syarat boleh memungut pajak antara lain :
1. Untuk memenuhi biaya yang menjadi
kewajiban Baitul Mal kepada fakir, miskin, ibnu sabil, dan pelaksanaan jihad.
2. Untuk memenuhi biaya yang menjadi
kewajiban Baitul Mal sebagai pengganti jasa dan pelayanan kepada negara,
seperti : gaji para pegawai, gaji tentara, dan santunan para penguasa.
3. Untuk biaya yang menjadi kewajiban
Baitul Mal dengan pertimbangan kemaslahatan dan pembangunan, tanpa mendapatkan
ganti biaya, seperti : pembangunan jalan raya, pengadaan air minum, pembangunan
masjid, sekolah, dan rumah sakit.
4. Untuk kebutuhan biaya yang menjadi
tanggung jawab Baitul Mal dalam keadaan darurat/bencana mendadak yang menimpa
rakyat, misalnya : bencana kelaparan, angin topan, atau gempa bumi.
Demikianlah gambaran sebagian aturan Islam.
Umat saat ini memiliki kewajiban untuk menerapkan aturan Islam secara menyeluruh
(kaffah). Sehingga akan diraih keberkahan dan kemaslahatan dalam kehidupan.
Wallahu'alam bishawab.
Posting Komentar