Kursi Baru Sang Gitaris
Oleh: Agustia
Tidak ada hujan tidak ada badai, tiba-tiba saja terjadi pelantikan komisaris PT, Telkom. Salah satu Badan Usaha yang berplat merah ini membuat gebrakan dengan mengangkat seorang gitaris dari grub musik ternama negeri ini sebagai komisaris PT. Telkom yang baru.
Tokoh ini dikenal sebagai seorang penulis lagu dan sebagai produser. Dan yang terpenting merupakan aktor relawan Presiden Jokowi-Yusuf Kalla 2014, bahkan berlanjut hingga Jokowi-Makruf Amin 2019.
Menjadi tanda tanya ketika kita melihat bagaimana suatu perusahaan milik negara yang diharapkan dapat menghidupi seluruh masyarakat negeri ini, amanah masyarakat negeri ini yang harus dipertanggung jawabkan dunia akhirat, tugas negara Yang dipertaruhkan untuk kemajuan bangsa ini, seharusnya dipimpin oleh seseorang yang telah berpengalaman dan mempunyai ilmu yang menunjang kepada pekerjaan dan jabatannya. Namun kini jabatan tersebut dibagi-bagikan hanya seperti membagi-bagikan kue saja. Tanpa adanya test kompetensi ataupun test yang memadai untuk menguji kemampuan seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Tak ayal sebagian orang merasa ini seperti politik balas budi saja. Jelas ini hanya berdasarkan kepada kesetiaan seseorang dan penghambaan seseorang kepada penguasa.
Menurut ketua DPP PKS Bukhori Yusuf, sebagaimana yang dilansir dari Detiknews, bahwa latar belakang profesi yang tidak sesuai dengan jabatan yang dijabatnya sebagai komisaris, ini akan merugikan PT. Telkom. Jika Telkom dirugikan negara juga akan dirugikan.
Bahkan kalau kita yang awam saja bisa menilai bagaimana politik balas jasa membagi-bagi kekuasaan tanpa melihat latar belakang seseorang, ataupun pengalaman yang berseberangan dengan bidang telekomunikasi yang dibidangi telkom, sedang telkom sendiri butuh seseorang yang paham tentang IT dan pengembangannya dan mampu melakukan pengawasan terhadap kebijakan perseroan maupun usaha, serta memberikan nasehat kepada direksi sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Butuh seseorang yang mumpuni, pekerja keras, dan siap berkorban waktu, tenaga dan pikiran. Jelas ini harus mempunyai keahlian khusus. Bukan sekedar comot seseorang yang suka dan mengagumi kita.
Bagaimana mungkin seseorang yang belum cukup berpengalaman di bidang usaha dan selukbeluknya, kemudian harus mengawasi dan menasehati para pengusaha yang mempunyai pengalaman secara Nasional apalagi Internasional. Sebagai seorang komisaris, seharusnya seseorang mempunyai rekam jejak yang sudah malang melintang di dunia usaha.
Meskipun tidak menutup kemungkinan bagi siapapun untuk dapat meraih kesuksesan, namun ini akan sulit bagi negara yang sedang terpuruk, sedang sakit seperti negeri ini. Ini bisa dilihat dengan banyaknya problematika umat yang terjadi tapi belum ada penyelesaiannya yang pro masyarakat, yang menyejahterakan masyarakat. Ambil saja contoh, diberlakukannya UU Cipta Kerja yang di tolak oleh masyarakat karena merugikan mereka, TWK yang menggagalkan 75 orang pegawai KPK menjadi ASN, Gagalnya pemerintah untuk memberangkatkan jemaah Haji tahun ini atau sejumlah persoalan yang mengambang tak jelas penyelesaiannya.
Yang pasti semua Ini akan menimbulkan rasa ketidak adilan bagi mereka yang berada dalam struktur pemerintahan yang selama ini merintis karier di bidang pertelekomunikasian, mempunyai ilmu dan kompeten di bidang yang dibutuhkan PT. Telkom saat ini, jelas ini akan menimbulkan konflik kepentingan ditengah-tengah masyarakat. Karena timbangan adil yang tak seukuran. Maka kelemahanlah yang terjadi, tak berdaya, hancur dan binasa. Sebagaimana pesan Rasulullah yang bersabda :
“Jika telah disia-siakan amanat maka tunggulah waktunya menuju kehancuran.”
Seseorang bertanya, ‘bagaimanakah maksudnya, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab:
“Jika ditetapkan suatu urusan kepada selain ahlinya, maka tunggulah waktunya menunggu kehancuran. “ [HR. Al-Bukhori]
Kekuasaan Dalam Genggaman Penguasa Kapitalis
Penguasa memang memiliki hak mutlak untuk menentukan arah kekuasaannya. Bagi para kaapitalis Kekuasaan adalah alat untuk meraih sebesar-besar keuntungan materi. Sementara materi adalah alat untuk pemuas nafsu duniawi, sumber kebahagiaan hidup. Oleh karenanya politik balas budi merupakan hal yang lumrah dilakukan. Padahal ini cenderung menimbulkan pemerintahan yang korup dan merugikan masyarakat.
Para politisi negeri inipun tak ayal lagi berpacu untuk meraih kekuasaan demi memenuhi pundi-pundi mereka. Tak peduli apakah cara yang digunakan halal atau haram. Saling sikut untuk mencapai tujuan dan demi kepentingan individu dan golongan. Siapa yang punya pendukung dia bisa menguasai kekuasaan, siapa yang punya cukup modal dia bisa menguasai pasar, siapa yang punya keberanian dia akan ditakuti lawan. Aturan hukumpun lemah terhadap mereka, seolah-olah mereka kebal dengan jeratan UU. Karena memang begitulah apa yang mereka pahami dalam era kapitalisme.
Mereka berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk mengatur hidupnya. Aturan UU dibuat untuk melancarkan urusan mereka. Jika UU yang berlaku akan mencelakakan mereka maka UU itu harus diubah terlebih dahulu sesuai dengan kemauan mereka, sehingga yang tergambar selama ini UU yang dibuat oleh penguasa bukanlah untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, bukan juga untuk mengatur dan memakmurkan melainkan untuk melanggengkan kekuasaan mereka.
Lalu bagaimana pandangan Islam dalam Hal tersebut. Dalam Islam kekuasaan ditujukan untuk menjaga Islam dan syariatnya serta memelihara urusan umat. Imam Al-Ghazali menyatakan, “Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.”
Maka Islam merupakan agama dengan segenap aturan kehidupan yang diturunkan oleh Allah SWT, yang mengatur hubungan antara manusia dengan pencipta, manusia dengan dirinya sendiri dan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, merupakan perintah dan larangan Allah SWT, supaya kita tidak salah jalan dan menemukan jalan yang diridhoi Allah SWT, inilah yang menjadi tujuan hidup setiap muslim dan merupakan dasar penting yang harus dapat dipahami dan diterapkan dalam kehidupan.
Maka kekuasaan adalah hal yang paling efektif untuk mengatur urusan umat dalam ber-amar makruf nahi munkar.
Rasulullah Saw, bersabda:
“Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tanngannya (kewenangannya), jika tidak mampu hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegah dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.”
Maka kekuasaan yang dapat menggambarkan bunyi hadist diatas hanya ada pada Islam. Hanya kekuasaan yang berdasarkan Islam dan menerapkan Islam dalam seluruh aspeknya yang memandang perkara amar makruf sebagai kemakrufan dan perkara munkar sebgai kemungkaran, dan itu hanya ada pada khilafah Islam.
Posting Komentar