Pajak Bahan Pokok, Untuk Siapa?
Oleh: LIT Gusta (Ibu Rumah Tangga)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan buka suara perihal polemik wacana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, termasuk di antaranya sembako dan sekolah. Rencana kebijakan ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam draf revisi UU Nomor 6, pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A. Namun dalam cuitan di akun @FaktaKeuangan, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari menjelaskan bahwa draf tersebut merupakan wacana ke depan, dan tidak untuk saat ini. Rahayu juga menjelaskan bahwa pemerintah saat ini sedang fokus menolong rakyat dengan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19.
Dalam sistem kapitalis memandang pajak menciptakan keadilan dengan sistem gotong royong. Hal ini dilihat dari kerasnya keinginan dalam memungut pajak, dan menjadikannya sebagai salah satu sumber APBN. Pada faktanya, perlindungan terhadap kepentingan bisnis korporasi dan pemilik modal dari pemerintah sangat terlihat. Pemerintah telah menyiapkan konsep pelaksanaan tax amnesty jilid II. Ini akan mulai dibahas pada Juli mendatang dan diharapkan bisa berlaku pada tahun depan.(CNBC Indonesia)
Dalam tax amnesty jilid II ada dua skema yang disiapkan. Pertama, pembayaran pajak penghasilan (PPh) dengan tarif lebih tinggi dari tarif tertinggi pengampunan pajak, atas pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya diungkapkan dalam pengampunan pajak. Kedua, pembayaran PPh dengan tarif normal, atas pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan orang pribadi tahun pajak 2019. Disebutkan bahwa jika harta diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN), maka pemerintah tidak akan mengenakan sanksi dan memberikan tarif yang lebih rendah.
Tentu yang paling merasakan keuntungan terbesar dari tax amnesty ini adalah para kapital dan korporasi. Menurut Center of Reform on Economics (CORE) menyebut pelaksanaan program amnesti pajak (tax amnesty) Tahap I yang berakhir pada 31 Maret 2017 lalu, jauh dari ekspektasi. Ibarat pepatah, jauh panggang dari api. Tolak ukur keberhasilan program yang berjalan selama sembilan bulan itu bisa dilihat dari tiga aspek, yakni tingkat partisipasi wajib pajak (WP), angka repatriasi, dan kontribusi terhadap penerimaan. "Meski, pemerintah mengklaim bahwa program pengampunan pajak ini paling berhasil di dunia, pencapaian program tersebut pada kenyataannya masih jauh di bawah target yang diharapkan," terang Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal dalam keterangan resmi. (CNN Indonesia)
Sedang Islam memandang bahwa skema pajak itu bersifat insidental dan instrumental. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam.
Pajak bukan termasuk dalam APBN Khilafah (APBN-K). Khilafah sendiri adalah sebagai satu-satunya sistem negara di dalam Islam. Sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Baitul mal sendiri tidak boleh kosong. Hal ini karena itu menjadi lumbung pembiayaan bagi aktivitas negara supaya tetap bisa dijalankan. Jika 9 pos sumber baitul mal tidak mampu menyokong kebutuhan negara, maka kewajiban pembiayaan akan dibebankan kepada kaum muslim dengan menerapkan skema pajak sesuai syara’. Hal ini karena dilarang untuk menimbulkan bahaya atas akibat kosongnya baitul mal negara.
Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.
Wallahu’alam.
Posting Komentar