Benarkah Proyek Kereta Cepat lebih nikmat dari pada rakyat sehat?
Oleh : Sri Azzah Labibah SPd.
(Pengasuh Majelis Taklim Remaja Paciran)
Astagfirullah, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan umat terhadap apa yang terjadi akhir-akhir ini. Buruknya situasi pandemi saat ini nyatanya tidak menghentikan obsesi Pemerintah untuk melanjutkan proyek infrastruktur dalam negeri, salah satunya adalah proyek kereta cepat. Tak hanya sekedar melanjutkan, Pemerintah pun sempat-sempatnya untuk mengajukan tambahan hutang kepada China untuk proyek ini.
Hal ini banyak mengundang protes dari masyarakat diantaranya adalah menurut Roy Suryo, Pemerintah telah gagal fokus dalam menangani pandemi, memilih sektor ekonomi ketimbang kesehatan sehingga kasus pandemi di Tanah Air meroket ke negara nomor 3 tertinggi di dunia (dalam kasus harian Covid-19).
“Ironisnya pemerintah justru menambah utang lagi ke Cina dan proyek-proyek Infrastuktur Tol yg selama ini jadi “jualan” harus Dijual beneran. Tetapi Calon IBN masih Jalan Terus? Sementara Nakes yg meninggal sudah 1000 lebih? AMBYAR,” tulis Roy Suryo di akun Twitter-nya, Jumat 9 Juli 2021.
Kondisi ini sangat memprihatinkan dan mengecewakan karena jiwa manusia yang amat berharga tapi terbuang sia-sia. Dan sungguh mencengangkan, covid-19 ini telah menumbangkan banyak tokoh-tokoh penting dan berpengaruh di negeri ini, para doktor, profesor, ulama bahkan para tenaga kesehatan itu sendiri (dokter spesialis hingga tenaga keperawatan) yang wafat karena terpapar covid-19.
Dan efek pandemi lainnya, misalkan tumbangnya berbagai usaha mikro dan retail milik anak negeri, meroketnya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), meningkatnya angka perceraian, kriminalitas yang menjadi-jadi, dan kemiskinan yang semakin merajalela.
Harusnya semua ini membuat Pemerintah benar-benar berfokus pada penyelesaian masalah pandemi dan efek bawaan lainnya. Bukan justru memikirkan hal-hal lainnya yang sebenarnya tidak memiliki urgensitas sama sekali untuk diselesaikan dalam waktu dekat. Proyek kereta cepat ini salah satunya.
Bahkan jika kita melihat bahwa Pemerintah meminta tambahan utang ke China untuk keberlangsungan proyek ini. Amat menyedihkan, pasalnya utang Indonesia saat ini sudah sangat besar, bahkan hampir mencapai limit. Tercatat hingga akhir Mei 2021, jumlah utang Indonesia mencapai Rp 6,418 triliun, atau dengan rasio debt service terhadap penerimaan (DSR) sebesar 46,77%.
Walaupun beberapa ekonom, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa dengan perhitungan tertentu, jumlah hutang Indonesia masih dikategorikan aman. Namun jika dilihat dari sejarah kenegaraan, akumulasi jumlah hutang negara saat ini adalah yang terbesar jika dibandingkan dengan masa-masa kepemimpinan sebelumnya.
Jika kita lihat data audit yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), utang Pemerintah saat ini telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR) dengan rasio sebesar 25-35%. Hal ini pastinya akan membebani rakyat lambat laun, pasalnya Pemerintah saat ini seakan telah kehilangan cara untuk menambah pundi-pundi penghasilan selain daripada penarikan pajak. (Beritasatu.com, 3/7/2021)
Dalam Islam membolehkan aktivitas berhutang secara umum (untuk individu), hanya saja ada beberapa syarat yang harus diperhatikan, yakni pihak yang berhutang memiliki niat untuk melunasi hutang, pihak yang berhutang mempunyai dugaan kuat bahwa dia mampu untuk melunasinya, dan bahwa hutang yang ada adalah dalam perkara yang disyariatkan.
Dalam hal institusi kenegaraan, maka hukumnya tetap boleh dengan catatan bahwa hutang tersebut dilakukan dalam kondisi kekosongan Baitul Maal, keterdesakan yang sangat memaksa dan diperuntukkan guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Selain itu, negeri islam pun tidak akan sembarangan untuk memilih kepada siapa akan berhutang.
Sehingga dalam kondisi pandemi saat ini, sebenarnya boleh saja negara berhutang untuk memenuhi hajat hidup masyarakat yang memang sangat membutuhkan bantuan-bantuan tersebut. Hanya saja ternyata, bukan itu tujuan Pemerintah berhutang kali ini. Bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya melainkan untuk melanjutkan proyek infrastruktur yang belum tuntas.
Peristiwa ini menyadarkan akal kita bahwa ternyata Pemerintah saat ini masih saja mengutamakan pembangunan infrastruktur dibanding mengurusi kesehatan rakyatnya rakyatnya. Rakyat yang terus menerus bertumbangan, bukan hanya sebab penularan wabah melainkan sebab terdampak dari kebijakan wabah.
Harusnya Pemerintah saat ini berfokus dalam hal penanganan wabah dan penghentian status pandemi, bukan malah mengurusi hal-hal lain yang sebenarnya tidak urgen untuk diurusi, semisal infrastruktur, investasi, ekonomi ataupun pariwisata. Fokus dalam menyelesaikan pandemi dulu, sebab dengan penyelesaiannya maka semua orbit ekonomi akan normal kembali, pariwisata akan pulih dengan cepat dan proyek infrastruktur pun akan lebih aman dijalankan.
Testing masal harus segera dijalankan, pisahkan orang sakit dari yang sehat, lockdown dan treatment mereka dengan sesegera dan seserius mungkin. Yang sehat dan tidak terjangkit, diberikan penguat imun dan iman, dibiarkan beraktifitas dan menjalankan ekonomi sebisanya. Jangan lakukan pembatasan wilayah dan aktivitas yang sifatnya temporer dan parsial seperti saat ini, apalagi jika dasar pemikirannya masih menggunakan prinsip Kapitalis. Semua aktivitas masyarakat bawah dibatasi, sampai rumah ibadah pun sempat harus ditutup sementara. Namun proyek infrastruktur tetap dijalankan.
Solusi diatas tidak bisa dilakukan oleh negara yang menggunakan sistem kapitalis yang hanya memandang uang sebagai prioritas utama mereka, dan hanya bisa teratasi dengan sistem buatan Sang Pencipta yaitu sistem Islam yakni Daulah khilafah, semoga segera tegak di masa kita.
Wallahu A'lam bis Shawwab
Posting Komentar