Marital rape, adakah dalam Perkawinan?
Oleh: Kharisma Devi
Kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga semakin meningkat terutama pada saat Pandemi. Apalagi sekarang ini, muncul istilah marital rape ( pemerkosaan dalam perkawinan) dimana seorang istri bisa mengadukan hal tersebut dan suami bisa dipenjara.
Dikutip dari news.detik.com, terdapat lebih dari 100 aduan dari istri, yang mengaku telah diperkosa oleh suami. "Berdasarkan Catatan Tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan," ucap komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini saat dihubungi, Senin (16/6/2021).
Theresia juga mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan bukti kesadaran seorang istri, bahwa pemaksaan dalam hubungan seksual merupakan tindakan pemerkosaan. Sekalipun hal tersebut dilakukan dalam ikatan perkawinan. "Perhatian dan keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam perkawinan menunjukkan kesadaran korban bahwa pemaksaaan hubungan seksual dalam perkawinan adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum," katanya.
Mengenai aduan istri terhadap suaminya yang melakukan pemaksaan dalam hubungan seksual bisa ditindaklanjuti ke ranah hukum, dan suami pun bisa dipenjara karena hal tersebut. Dikutip dari detik.news.com, menyatakan delik aduan tentang pemaksaan suami terhadap istri dalam hubungan seksual sudah ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan," kata Guru Besar hukum pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto dalam Diskusi Publik RUU KUHP di Hotel JS Luwansa, Senin (14/6/2021).
Akibat dari aduan yang dilakukan oleh istri, seorang suami bisa dipenjara selama 12 tahun. Seperti yang tercantum dalam pasal 479 RUU KUHP:
(1) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(2) Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan:
a. Persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah;
b. Persetubuhan dengan Anak; atau
c. Persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Hal tersebut tentu menuai pro dan kontra. Istilah kekerasan dalam rumah tangga terhadap kasus pemaksaan hubungan seksual tentu tidak pas. Karena kasus dan hukum yang berbeda. Dalam Islam, pemaksaan dalam hubungan seksual (pemerkosaan) dikategorikan sebagai zina, karena tidak adanya ikatan pernikahan. Tentu berbeda dengan tindakan yg dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya, karena mereka telah ada ikatan perkawinan.
Apalagi mayoritas masyarakat Indonesia merupakan seorang muslim dan telah memahami terdapat hak dan kewajiban suami istri. Sudah menjadi kewajiban seorang istri dalam melayani suaminya. Rasulullah saw. bersabda:
“Jika seorang istri tidur malam meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat akan melaknatnya sampai ia kembali.” (Muttafaq ‘alaih dari jalur Abu Hurairah)
Rasulullah saw. pernah bertanya kepada seorang wanita, “Apakah engkau sudah bersuami?” Wanita itu menjawab, “ya.” Beliau lantas bersabda, “Sesungguhnya ia (suamimu) adalah surga atau nerakamu.” (HR Al–Haakim dari jalur bibinya Husain bin Mihshin)
Tentu akan bertentangan ketika seorang istri mengadukan suaminya karena ia merasa dipaksa untuk melakukan hubungan seksual. Dalam Islam juga tidak dibenarkan ketika seorang suami memberikan ancaman terhadap istrinya yang menolak melayani. Ancaman tersebut diantaranya ancaman fisik, diceraikan dan lain sebagainya.
Islam telah mengatur tentang sanksi dari suami terhadap istrinya, dengan istilah nusyus. Yaitu memisahkannya dari tempat tidur dan dengan pukulan. Pukulan disini pun ada aturannya, yaitu pukulan yang tidak membahayakan dan tidak menyakitkan. Sesuai dengan firman Allah QS. An Nisa ayat 34 dan sabda Rasulullah SAW.
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS An–Nisa 34)
“Jika mereka melakukan tindakan tersebut (yakni nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (menyakitkan).” (HR Muslim dari jalur Jabir r.a.).
Istilah pemerkosaan dalam perkawinan lahir karena tidak diterapkannya sistem Islam. Kapitalis liberal telah menjadikan pemikiran masyarakat menjauh dari ajaran agamanya. Berbagai cara pun dilakukan, seperti tuntutan pemenuhan kebutuhan pokok yang semakin hari semakin tinggi harganya. Hal ini menyebabkan seorang istri terpaksa terjun dalam dunia kerja. Padahal mencari nafkah bukanlah tugas seorang istri, namun keadaan membuatnya lebih sibuk dengan urusan yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawabnya.
Sehingga selain seorang istri harus bekerja, ia juga harus merawat anak-anaknya, melayani suaminya dan melaksanakan bermacam kegiatan rumah tangga lainnya. Pada akhirnya muncullah permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga karena tentu saja istri merasa kelelahan menanggung segala macam kewajiban tersebut. Diantaranya seperti kasus pemerkosaan dalam perkawinan ini. Belum lagi arus feminisme yang semakin gencar diopinikan menambah sederet persoalan rumah tangga. Istri menjadi menuntut kebebasan, ingin disetarakan dengan laki-laki. Bahkan melupakan tugas dan tanggung jawabnya dalam keluarga.
Jalan satu-satunya yang mampu menuntaskan segala permasalahan tersebut dengan penerapan sistem Islam. Karena dengan sistem, kelanggengan rumah tangga tidak hanya dipertahankan oleh setiap keluarga, melainkan negara juga turut serta. Negara akan menjamin tugas dan tanggung jawab suami istri dapat dipenuhi tanpa paksaan sesuai syariat Islam.
Wallahu a'lam bishowab
Posting Komentar