Skenario PPKM Darurat Bakal Diperpanjang, Bukti Pemerintah Gagal Tangani Covid-19?
Oleh: Milawati (Aktivis BMIC)
Setelah melonjaknya kasus Covid-19 pada bulan juni 2021 ini. Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk memperketat aktivitas masyarakat untuk mencegah penyebaran Covid-19 semakin meluas. Pemberlakuan PPKM Darurat akan dimulai dari 3 juli untuk Jawa-Bali, sedangkan diluar Jawa-Bali akan dimulai tanggal 12 dan serentak akan berakhir pada tanggal 20 juli 2021.
PPKM dikeluarkan dengan melahirkan target capaian-capaian baru, seperti jumlah testing hingga 324.283 orang per hari, vaksinasi sejuta dosis sehari, penurunan mobilitas warga, hingga turunnya angka kasus baru jadi 10 ribu kasus per hari. Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mengklaim target itu dapat terlihat tiga pekan pascapemberlakuan PPKM Darurat, yang artinya akan terlihat di akhir Juli hingga awal Agustus 2021.
Namun sampai pada pertengahan juli, target-target pemerintah dalam praktiknya belum terealisasi sepenuhnya. Penyebaran kasus covid-19 di Indonesia semakin hari semakin melonjak. Bila melihat data capaian terakhir, pada 12 Juli positivity rate atau rasio kasus warga terpapar virus corona di Indonesia kembali mencapai jumlah tertinggi selama empat bulan terakhir di Indonesia, yakni 32,78 persen. Bila melihat angka positivity rate terakhir per 14 Juli, yakni sebanyak 31,5 persen. Maka sewajarnya pemerintah harus mulai melakukan pemeriksaan terhadap 15:1000 penduduk per pekan. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270 juta, maka pemerintah harus melakukan setidaknya 4 juta testing per pekan, atau 571 ribu penduduk yang dites per hari. Pemerintah mengungkapkan dugaan mengenai kenapa penularan masih terus terjadi lantaran masyarakat masih abai dengan protokol kesehatan.
"Tidak patuhnya menjalani protokol kesehatan terutama di permukiman bisa menjadi sumber penularan. Ini menjadi tugas kolektif pemerintah daerah dan masyarakat untuk memastikan pelaksanaan protokol kesehatan sampai tingkat terkecil di masyarakat dengan pemanfaatan posko pada level RT/RW," demikian disampaikan melalui keterangan resmi Satgas Pengendalian Covid-19, Rabu (14/7).
Indonesia kerap beruntun mencetak rekor penambahan kasus baru selama PPKM Darurat. Sementara target pemerintah adalah menurunkan kasus covid-19 hingga 10 ribu kasus per hari. Tercatat, sejak 3-17 Juli, terjadi rekor penambahan sebanyak delapan kali, yakni di 3 Juli dengan 27.913 kasus dalam sehari. Disusul 5 Juli dengan 29.745 kasus, 6 Juli 31.189 kasus, 7 Juli 34.379 kasus, 8 Juli 38.391 kasus, 12 Juli 40.427 kasus, 13 Juli 47.899 kasus, dan terakhir rekor baru di 14 Juli 54.517 kasus dalam sehari.
Melihat kondisi tersebut, lantas bagaimanakah pemerintah menyikapinya? apakah pemerintah bakal memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang rencananya akan berakhir pada 20 Juli 2021 mendatang?
Pada kesempatan ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kasus Covid-19 di Indonesia menyebar begitu cepat dikarenakan munculnya dominasi varian baru virus yakni varian delta yang bisa 5-6x lebih cepat penyebarannya. Masa inkubasi dari varian baru ini pun bisa mencapai 2-3 minggu.
Saat ditanya mengenai rencana perpanjangan PPKM Darurat ini, Luhut tidak menjawab secara gamblang, dia tidak membenarkan dan tidak pula membantah. Dia hanya mengatakan, jika meroketnya kasus ini sudah diduga sebelumnya. Akan tetapi, tidak diduga secepat ini penyebarannya.
"Saya kira ini begini, kasus meroket sudah kita duga terjadi. Tapi terus terang tidak diduga secepat ini," paparnya saat ditanya soal rencana perpanjangan PPKM Darurat dalam konferensi pers yang digelar hari ini, Kamis (15/07/2021).
Luhut menyadari kemampuannya terbatas, sehingga pihaknya mendengar semua masukan mengenai penanganan Covid-19 dari dokter hingga para ahli yang memahami persoalan.
Pendiri Lapor Covid-19, Irma Hidayana meminta pemerintah sebaiknya mengakui saja kondisi darurat pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini serta meminta maaf kepada masyarakat atas kegagalan menangani pandemi selama kurang lebih 1,5 tahun. "Mohon situasi yang sudah gawat darurat dan carut marut ini diakui. Minta maaf, serta mengakhiri segala komunikasi yang mencitrakan bahwa kita baik-baik saja," ujar Irma, kemarin.
Doktor bidang ilmu kesehatan dan perilaku dari Columbia University ini mengatakan, pencitraan hanya menumbuhkan ketidakwaspadaan masyarakat. Ia mengatakan masyarakat tak semestinya disalahkan karena tidak taat protokol kesehatan.
Covid 19 ini semakin menegaskan bahwa dunia ini ibarat satu wadah. Memiliki satu kesatuan dan harus ditata oleh sistem yang satu. Tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.Kaum muslim pun harus ikut andil dalam bagian untuk menyelesaikan pandemi global ini. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama, yang bersabda:
«إذَا سمِعْتُمْ الطَّاعُونَ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإذَا وقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ فِيهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا»
“Jikalau kalian mendengar ada wabah tha’un di sesuatu negeri, maka janganlah kalian memasuki negeri itu. Dan jika wabah terjadi di daerah di mana kalian sedang berada di dalamnya, maka jangan keluar dari daerah itu untuk melarikan diri darinya.” (HR Bukhari-Muslim).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah tha’un, lalu beliau mengabarkan aku bahwa tha’un (penyakit sampar, pes, lepra) adalah sejenis siksa yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat bagi kaum Muslim dan tidak ada seorangpun yang menderita tha’un lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala, dan mengetahui bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah mentaqdirkan kepadanya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid.” (HR Bukhari).
Masuk akal jika saat ini ada tawaran solusi suntuk pergantian arus berfikir. Pergantian peradaban. Pergantian ideologi yang lebih baik dari kapitalisme dan komunisme. Ditambah lagi, usangnya ikatan-ikatan semu bersifat lokal sudah tidak relevan untuk kemaslahatan umat manusia. Salah satu tawaran untuk menyelesaikan masalah-masalah diatas yaitu menegakkan peradaban islam. Sebagaimana pada masa Sayyidina Umar RA Syam pernah tertimpa pandemi hebat. Sebagai Kepala Negara, Sayyidina Umar RA mengambil kebijakan lockdown dengan segala konsekuensinya, karena Syam merupakan bagian dari Khilafah Islamiyah. Pandemi dan bebagai dampaknya berhasil ditangani.
Fakta historis tersebut sangat berbeda dengan peradaban saat ini dalam merespon pandemi global. Saat peradaban diambil alih oleh kapitalisme global. Siapa yg bisa me-lockdown Wuhan bahkan China? hingga Covid 19 merembas hampir ke seluruh belahan dunia. Apakah ke depan akan terjadi krisis ekonomi, krisis sosial, krisis pangan? Wallahu ‘Alam. Yang sangat nampak zahir saat ini adalah krisis solusi, dampak dari krisis Ideologi. Berpotensi berujung pada krisis peradaban.
Kalau ke depan saat ini kita harus antisipasi krisis pangan dengan memanfaatkan ruang untuk pemenuhan kebutuhan pangan, maka yg tak kalah penting bagi seorang muslim harus mempersiapkan diri jika terjadi perubahan besar dunia akibat krisis peradaban.
Poinnya, dalam berfikir tidak hanya menjadikan Islam sebagai ajaran Spiritual atau sekedar fiqh muamalah semata. Kita harus belajar bareng memvisualisasikan Islam sebagai sebuah solusi. Sebuah Ideologi. Sebuah peradaban.
Sehingga saat terjadi wabah, wacana dan wawasan kita tidak hanya pada aspek bahasan seputar hudhurul Jumu’ah, soal zakat untuk pemenuhan asnaf, soal shaf sholat, tetapi lebih jauh kita mencoba memotret gagasan Islam secara menyeluruh. Seperti sistem ekonomi Islam, pelayanan kesehatan dlm pespektif Islam, Sistem pemerintahan Islam termasuk pemecahan Islam dalam menangani pandemi.
Dalam kondisi saat ini, negara harus melakukan kewajiban syar’iynya karena penguasa adalah pelayan bagi rakyatnya. Saat menyebar wabah menular, negara juga harus menjamin pelayanan kesehatan berupa pengobaan dan obat secara gratis untuk seluruh rakyat, mendirikan rumah sakit dan laboratorium pengobatan dan lainnya yang termasuk kebutuhan asasi rakyat seperti halnya pangan, pendidikan dan keamanan.
Walhasil, dengan kondisi yang seperti ini, kita benar-benar membutuhkan negara rabbani dan seorang Imam (Khalifah) yang adil, yang berusaha mengangkat masyarakat dari jurang krisis dan kemiskinannya, menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas, mengurusi urusan mereka dengan cara yang menjamin keamanan dan martabat mereka melalui penerapan hukum Allah di tengah-tengah mereka, dan membersihkan negeri dari penindasan kaum penjajah.
Posting Komentar