Utopia Kebebasan dalam Demokrasi
Oleh: Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)
Pembahasan seputar Rancangan KUHP tengah menjadi isu hangat beberapa waktu terakhir ini. Rancangan yang kemudian disebut dengan RKUHP dinilai beberapa pihak telah membatasi hak warganegara dalam berekspresi. Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP ada beberapa pasal yang berpotensi menjadi pasal karet ketika bersinggungan dengan kepentingan penguasa. Misalnya saja pasal 240-241 RKUHP yang mengatur soal Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah. Pasal ini dipandang tidak sesuai dengan negara demokratis yang merdeka selain juga dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 berdasarkan putusan MK No.6/PUU-V/2007 (liputan6.com,10/6/2021).
RUKHP dinilai mengekang kebebasan dalam iklim demokrasi. Masih menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pasal yang bersifat multitafsir, subversif sebaiknya tidak dipertahankan karena bagai mengembalikan kondisi negeri ini kepada masa kolonialisme (liputan6.com,10/6/2021). Di sisi lain, menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, ketentuan yang ada dalam RKUHP tidak membatasi kebebasan berekspresi. Hal itu karena karena pasal, seperti tentang penghinaan terhadap kepala negara, telah diubah sebagai bentuk delik aduan, selain juga ada sifat eksepsionalitas (nasional.okezone.com,13/6/2021).
Anti kritik seringkali dikontraskan dengan demokrasi. Ya, karena demokrasi dikenal sebagai konsep politik yang mengedepankan kebebasan dalam pengaturan masyarakat. Demokrasi konon menjaga penyelenggaraan politik agar selalu berpijak pada nilai kebebasan berpendapat, kepemilikan, berkeyakinan dan bereskpresi. Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai tersebut dirumuskanlah peraturan serta kebijakan yang “demokratis”. Para pemangku jabatan menjadi perpanjangan tangan rakyat guna menghasilkan produk hukum yang dapat mengakomodir semua pihak dengan asas kebebasan.
Masalahnya, demokrasi tidaklah bebas nilai. Demokrasi tegak di atas tatanan ideologi kapitalisme yang mengagungkan kapital atau materi. Dalam konsep ideologi ini asas dari setiap tindakan dikembalikan pada nilai materi. Subjek demokrasi adalah penguasa yang memiliki kekuasaan atas rakyat dan wilayah mereka. Penguasa dalam sistem demokrasi membutuhkan sokongan kapital sangat besar sebab tingginya biaya politik dalam sistem ini. Di sisi lain, ada pengusaha atau korporat yang membutuhkan dukungan kebijakan demi keberlangsungan bisnis mereka. Pada titik ini dua kepentingan penguasa dan pengusaha bertemu.
Simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha menjadi perkara yang tidak terelakkan dalam demokrasi. Inilai gambaran hubungan yang saling menguntungkan. Ikatan kepentingan diantara keduanya demikian erat hingga mampu memengaruhi arah kebijakan politik. Lihat saja bagaimana produk hukum dan perundangan yang dihasilkan oleh demokrasi. Penerapan sanksi serta ketegasan aparat acapkali tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Kesempatan bagi warga masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka terkadang dimentahkan sebab bertentangan dengan hukum. Akibatnya tidak ada instrumen koreksi dari rakyat guna mengawal jalannya pemerintahan.
Sangat dapat dipahami mengapa demokrasi gagal mewujudkan nilai kebebasan secara proporsional. Demokrasi sejatinya tidak berjalan di atas cara pandang yang benar tentang bagaimana masyarakat diatur. Demokrasi hanya berbicara soal apa yang menjadi kepentingan antara penguasa dan pengusaha. Demokrasi memastikan bahwa liberalisasi terjadi pada aspek yang akan mengakomodir kepentingan keduanya. Sebaliknya, tidak ada kebebasan sejati selama itu bersinggungan dengan kemashlahatan penguasa dan pengusaha, sebagaimana ungkapan Barrington Moore, “No bourgeoisie, No Democracy”, jika tidak ada kalangan borjuis maka tidak ada demokrasi.
Berbeda halnya dengan Islam yang memiliki seperangkat aturan menyeluruh bagi manusia. Dalam hal sistem politik, syariat Islam telah menjadikan definisi politik sebagai pengaturan atas urusan umat dnegan Islam. Syariat Islam yang tegak di atas landasan ideologi Islam menempatkan Khalifah sebagai pemimpin politik atas seluruh kaum Muslimin. Dalam hal ini Islam mensyariatkan agar Khalifah menjalankan amanah kekuasaannya dengan berpijak pada hukum-hukum Islam. Pada perjalanannya, ada mekanisme yang telah digariskan oleh Islam bahwa terdapat hak kontrol dan muhasabah atau koreksi yang diberikan oleh rakyat melalui wakil mereka di Majelis Umat.
Syariat Islam memberikan kesempatan kepada umat untuk melakukan koreksi terhadap penguasa. Bentuk koreksi yang diberikan tentunya harus tetap merujuk pada koridor syara’. Pendapat Majelis Umat menjadi penting untuk diperhatikan oleh Khalifah karena merupakan bentuk aspirasi rakyat yang telah mewakilkan urusan kepada mereka. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta pendapat dari kalangan kaum wanita mengenai pembatasan nilai mahar atau mas kawin. Setelah itu Umar lantas membatalkan pendapatnya dan mengambil pendapat perwakilan kaum wanita tersebut karena dinilai lebih akurat.
Demikianlah pengaturan atas urusan umat jika dikembalikan pada cara pandang Islam. Syariat Islam mampu meletakkan Penguasa dan rakyat pada porsi yang benar mengikuti tuntunan Pencipta, Allah SWT. Sebaliknya demokrasi telah gagal memenuhi rasa keadilan sebab menjadikan dorongan materi sebagai asas pembuatan aturan. Meskipun demokrasi menjanjikan kebebasan, faktanya itu hanyalah utopia karena senantiasa bersinggungan dengan kepentingan penguasa dan pengusaha. Demokrasi sebatas memberi angan-angan kosong melalui ide kebebasan dan tidak selayaknya dipertahankan. Saatnya perubahan kita jelang dengan beralih pada sistem Islam yang paripurna.
Posting Komentar