Impian Menjadi Negara Maju Mustahil Terwujud dalam Sistem Kapitalisme Sekuler
oleh: Ummu Aisyah (Intelektual dan Praktisi Peduli Umat)
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia harus diupayakan mencapai 6 persen pada 2022 mendatang agar negara ini bisa lepas dari jebakan negara dengan pendapatan kelas menengah. Dengan demikian, pada 2045, Indonesia dapat diharapkan menjadi negara maju (CNN, 4 Agustus 2021).
Bahkan, menurut Menteri PPN, sebelum pandemi Covid-19, Indonesia diharapkan menjadi negara maju pada tahun 2036. Dalam hal ini, pademi dianggap sebagai salah faktor penyebab harapan Indonesia sebagai negara maju mundur pada tahun 2045.
Kondisi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia sebelum Pandemi
Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan kesejahteraan rakyat, sehingga kesejahteraan rakyat merupakan tolak ukur keadaan ekonomi sebuah negara yang baik atau tidak.
Menurut Ainul Mizan, Peneliti (Lanskap), pandemi tidak bisa dikatakan sebagai penyebab utama penurunan ekonomi.
Sebelum pandemi, ditemukan beberapa faktor yang menunjukkan ekonomi merosot.
Pertama, dari aspek pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2018 data perekonomian Indonesia meningkat menjadi 5,17 persen jika dibanding pada tahun 2017 yaitu 5,07 persen (Kemenkeu, 06/02/2019).
Meskipun pada 1 Juli 2020, status Indonesia naik dari lower middle income country menjadi upper middle income country berdasarkan ketetapan Bank Dunia (Kominfo, 02/07/2020), hasil survey TNP2K tahun 2019 menunjukkan 1% orang kaya menguasai 50% aset kekayaan nasional.
Jadi nilai yang besar dari sisi GNI disumbang oleh orang kaya dan korporasi. Sebaliknya hal tersebut tidak menunjukkan tingkat kesejahteraan rakyat.
Kedua, angka kemiskinan. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 25,14 juta jiwa pada Maret 2019. Meskipun data tersebut menunjukkan penurunan sebesar 0,53 juta jiwa terhadap September 2018 dan 0,80 terhadap Maret 2018, angka tersebut masih tergolong sangat besar.
Ketiga, kekayaan alam. Sebelum dan sesudah pandemi, tetap dikuasai oleh korporasi.
Keempat, utang negara yang sedemikian besar tidak hanya di saat pandemi. Sejak disahkannya UU yang meliberalisasi BUMN, utang yang dikucurkan sekitar 300 T. Untuk melibaralisasi sektor migas, Indonesia berutang sekitar 400 T. Hal ini menjadi debt trap.
Apalagi di tahun 2021, bunga utangnya saja sekitar 373 T.
Kelima, korupsi sebelum pandemi. Sebelum pandemi, korupsi menjadi penyakit laten dan semakin menjadi saat pandemi.
Dari realita di atas, dapat disimpulkan bahwa pandemi Covid-19 bukanlah satu-satunya faktor penyebab Indonesia gagal menjadi negara maju.
Pada kenyataanya, terjadi salah urus dalam sistem ekonomi menyebabkan Indonesia terjebak ke dalam middle income trap. Ekonomi kapitalis menjadikan korporat sebagai penguasa yang sesungguhnya.
Mereka menguasai SDA yang seharusnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga terjadi kemiskinan, kelaparan dan pengangguran.
Politik kotor demokrasi menyebabkan korupsi memang terpelihara. Jadi, tidak ada harapan sama sekali jika masih menggantungkan kepada penerapan sistem demokrasi kapitalisme.
Harapan Menjadi Negara Maju
Mantan Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Brodjonegoro, menuturkan bahwa Indonesia masih memiliki bonus demografi untuk mencapai cita-cita menjadi negara maju karena penduduk usia produktif masih lebih banyak dibanding usia non produktif (CNN, 4 Agustus 2021).
Menurut Bambang, menjadikan penduduk usia produktif sebagai motor pengggerak ekonomi, Indonesia masih bisa diharapkan untuk menjadi negara maju.
Sesungguhnya, untuk mencapai cita-cita menjadi negara maju, sebuah negara tidak cukup hanya mengandalkan bonus demografi, apalagi bonus demografi yang dibalut dengan sistem kapitalisme sekuler.
Meskipun penduduk usia produktif Indonesia saat ini mencapai 70 persen dari total penduduk, usia tersebut masih memiliki persoalan yang kompleks terutama tingkat pendidikan mereka yang masih rata-rata lulusan SMP.
Momen Hijrah sebagai Solusi Tuntas
Fenomena Hijrah saat ini tengah dijadikan sebagai trendsetter. Gelombang hijrah semakin hari semakin besar bahkan berhasil menyentuh berbagai kalangan.
Luar biasanya, hijrah tetap bergulir, meski situasi di negeri ini sedang carut marut diterjang Covid-19. Karena itu, membesarkan gelombang hijrah ini dipandang perlu untuk terwujudnya Islam Kaffah.
Apa saja prasyarat hijrah individu dan hijrah menuju perubahan bangsa?
Seorang individu muslim/ah seharusnya meyakini bahwa Allahlah satu-satunya yang patut disembah dan dimintai pertolongan atas segala persoalan yang dihadapi di dunia ini.
Dengan meyakini bahwa hanya Allah Azza wa Jallah yang bisa menolong dirinya, maka ia akan mencari kelompok dakwah Islam yang mengkaji Islam secara menyeluruh (kaffah).
Setelah menemukan kelompok dakwah Islam tersebut, ia bertekad untuk berlajar Islam bersama kelompok tersebut.
Dari kelompok tersebut diharapkan dapat lahir sosok-sosok pemimpin yang amanah karena dengan melalui pembinaan tersebut para anggota kelompok akan diberikan amanah-amanah kecil sebagai latihan dalam melaksanakan amanah-amanah yang lebih besar sampai pada skala negara.
Dari kelompok tersebut juga akan lahir benih-benih pejuang yang akan mendidik masyarakat bahwa kekuasaan dalam Islam berdimensi dunia dan akhirat. Di dunia, khalifah dipilih untuk mengurus urusan rakyat. Jika mereka lalai, Allah akan memberinya azab di akhirat.
Mindset inilah yang menjadi pengendali utama agar penguasa yang dipilih melalui mekanisme baiat tidak korupsi. Disamping ada jaminan agar penguasa fokus mengurus rakyat.
Dalam Khilafah, ada 3 pos pemasukan negara pada Baitul Mal: pertama, pos kepemilikan negara berasal dari harta fai, ganimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus, rikaz, serta harta ghulul; kedua, pos kepemilikan umum berasal dari hutan, kekayaan alam, dan barang tambang.
Kekayaan ini akan dikelolah oleh negara secara mandiri tanpa intervensi korporat. Hasilnya akan diberikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi atau jaminan kebutuhan publik rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan, sehingga rakyat akan menikmatinya dengan gratis.
Ketiga, harta zakat yang berasal dari zakat fitrah dan zakat mal, juga sadaqah dan waqaf.
Dari tiga pos sumber keuangan negara yang disimpan di Baitul Mal inilah, Khalifah akan memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya.
Departemen Sosial Khilafah mendata orang per orang secara detail terkait penghasilan rakyatnya yang terkategori miskin dan tidak miskin.
Bagi yang miskin dan memiliki kemampuan bertani, Khalifah memberi modal seperti sebidang tanah, traktor, bibit, hingga pupuk. Memberikan pengarahan terkait teknologi pertanian yang dihasilkan lembaga riset di bawah Dinas Perindustrian.
Jika rakyatnya miskin dan memiliki kemampuan yang lain akan didukung dengan sejumlah modal untuk membangun usahanya. Oleh karena itu, perekonomian yang ada di dalam Khilafah tidak ada sektor ekonomi non rill, yang ada hanyalah perekonomian di sektor rill yang berada pada pertanian, industri, perdagangan, dan jasa.
Dengan mekanisme ini, jelas kemajuan negara akan tercapai, tidak hanya maju, namun kuat, mandiri, dan yang paling utama mendapatkan keberkahan dari Allah SWT karena menerapkan sistemNya. Sebagaimana pernah terjadi selama 1.400 tahun lamanya.
Allah SWT berfirman:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ
السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan (TQS. Al-A’raf: 96).
Untuk merasakan kebaikan ini, umat perlu melakukan perubahan dalam skala sistem bukan hanya skala personal. Wallahu a'lam bishawab.
Posting Komentar