Makin Kapitalistik, Pejabat Memperkaya Diri Saat Rakyat Makin Susah
Penulis: Rahmawati, S.Pd (Aktifis Muslimah Kalsel)
Belum lama ini, KPK ungkap harta pejabat naik selama pandemi. Dari merdeka.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti hasil laporan harta kekayaan penyelenggara negara miliki harta yang kian berlimpah. Selain itu lembaga legislatif, harta para pejabat di eksekutif dalam Kabinet Indonesia Maju di bawah naungan Presiden Joko Widodo selama pandemi Covid-19 juga bertambah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sebanyak 70,3 persen penyelenggara negara mengalami kenaikan, laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LKHPN) kepada lembaga antirasuh tersebut. Kami amati juga selama pandemi satu tahun terakhir ini secara umum penyelanggara negara 70 persen hartanya bertambah. Kita pikir bertambahnya masih wajar, “kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan saat webinar, melalui YouTube KPK RI, selasa (7/9/2021).
Adapun kenaikan kekayaan pada sejumlah kategori. Paling terbanyak pada di atas Rp 1 miliar yaitu kategori menteri sebesar 58 persen; DPR/MPR 45 persen; gubernur/wakil 30 persen; DPR Provinsi 23 persen; 18 persen bupati wali kota, dan terkecil DPRD Kota/Kabupaten yang hanya 11 persen. Meski dirasa cukup wajar, namun KPK menyebut bakal terus mengawasi harta para pejabat. Terlebih mereka yang mendapat dana hibah tak wajar.
Sementara itu di bulan yang sama terjadi sebuah musibah yang sangat mengenaskan, satu keluarga yang terdiri dari ibu, ayah dan anak yang masih berusia enam tahun ditemukan tewas di dalam tumpukan plastik berisi baju baru siap edar di Banjarmasin kalsel. Polisi menduga meraka meninggal karena tertimpa puluhan tumpukan baju di sebuah rumah yang menjadi gudang penyimpanan pakaian. Mereka ditemukan meninggal pada jumat (10/9/2021) malam. “Memang ditemukan disitu, karena yang bersangkutan penjaga kain tersebut,” kata Kompol Alfian Tri Permadi selaku Reskrim Polresta Banjarmasin.
Sebuah keluarga yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, tanpa peduli dengan risiko yang akan terjadi kepada mereka. Inilah kondisi dimana banyak masyarakat yang justru sulit untuk memenuhi kehidupan keluarganya, bahkan sulit untuk mencari pekerjaan, sangat sulit.
Namun disisi lain, terjadi pada saat yang sama. Kekayaan para petinggi negara mengalami peningkatan yang sangat drastis, lebih-lebih kejadian ini terjadi saat pandemi. Dimana banyak masyarakat yang sangat kekurangan dan membutuhkan uang, bahkan untuk makan pun mereka harus banting tulang untuk mendapatkannya. Ironisnya juga kekayaan pejabat negara naik drastis saat rakyat makin menghimpit. Pejabat seperti ini bukan hanya oknum karena fenomena terjadi pada banyak orang di berbagai level jabatan.
Lihat saja, bagaimana harta dan kekayaan mereka melimpah ruah, bisa makan dan jalan-jalan sesuka hati mereka tanpa mempermasalahkan berapa biaya yang harus mereka keluarkan. Semuanya bisa terpenuhi, karena mereka punya kedudukan dimata negara. Apalah daya, orang-orang kecil yang semakin terpuruk dan semakin kesulitan dalam menjalani hidup. Ini sangatlah tidak seimbang dengan para petinggi negara yang serba enak, serba nyaman, fasilitas mereka tidak dipertanyakan lagi kemewahannya.
Inilah potret negeri kapitalis, yang memandang siapa yang pintar dan memiliki potensi untuk menjabat serta mereka yang punya banyak uang, itulah yang akan dihargai di mata mereka. Orang-orang kecil, tidak dipandang bahkan mereka tidak terlihat di mata mereka. Akibat dari sistem ini memang benar-benar perlahan membunuh orang-orang kecil. Bagaimana tidak? Ketika mereka minta hak mereka, agar mereka diperlakukan adil seperti para pertinggi negera, namun di sistem ini menihilkan keadilan itu.
Inilah juga sebagai potret pemberlakuan sistem demokrasi yang digadang menjamin keadilan dan melahirkan aparatur serta pejabat yang mewakili rakyat. Apakah terbukti? Jelas tidak. Karena selogan demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat nyatanya tidak berlaku. Rakyat hanya memberi namun hasilnya justru tidak kembali kepada mereka. Inilah bukti sistem demokrasi membuka lebar pintu bagi pejabat dan segelintir elit memperkaya diri. Sedangkan rakyat tertutup akses sekedar memenuhi kebutuhan dasarnya.
Berbeda dengan Islam. Memandang keadilan tidak hanya dari segelintir orang saja. Memberikan hak kepada rakyat yang berpotensi dan ahli dibidangnya dalam menjabat sebagai petinggi negara. Dan jelas tujuan menjabat pun berbeda dengan sistem saat ini, yang mana materi adalah tujuan utama bagi mereka. Dalam Islam, setiap yang menjabat tujuan utama meraka adalah meraih ridho Allah, yang mana untuk membantu masyarakat agar terpenuhi segala kebutuhan mereka, memberikan pelayanan yang maksimal, serta memastikan kapada mereka bahwa tidak ada yang menjerit kelaparan.
Kita berkaca pada saat Islam pernah berjaya dulu. Negara yang dibangun atas dasar kepedulian terhadap umat, menegakkan hukum-hukum Allah di atas muka bumi. Sehingga Islam dijadikan sebagai pengatur dan pedoman dalam semua lini kehidupan. Ketika masa kekhilafahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau memastikan tidak ada masyarakatnya yang mengalami kelaparan, sampai-sampai pada saat itu tidak ada yang berhak menerima zakat karena tidak ada orang miskin. Khalifah menjamin setiap kebutuhan mereka, tidak kemudian membiarkan masyarakatnya menjerit kelaparan. Hal ini bisa terjadi ketika para petinggi-petinggi negaranya menjadikan Allah sebagai tujuan, mencetak generasi-generasi yang takut kepada Allah. Sehingga lahirlah rasa tanggungjawab penuh dalam diri mereka dalam menjalankan tugas, yaitu sebagai pengurus umat.
Negara hebat ini disebut dengan Khilafah Islamiyah.
Posting Komentar