Ulama dan Dai Kembali Tersakiti
Oleh : L. Nur Salamah, S.Pd
(Komunitas Aktif Menulis & Kontributor Media)
Beberapa waktu yang lalu, warganet dihebohkan dengan pemberitaan tentang penyerangan terhadap ustadz atau dai. Selain di Batam, sehari sebelumnya peristiwa serupa terjadi di Tangerang. Menurut beberapa keterangan, bahwa pelaku dinyatakan mengalami gangguan jiwa. Lantas, siapa sebenarnya aktor di balik peristiwa ini?
Menanggapi masalah di atas Fadli Zone angkat bicara melalui akun twitternya. Seperti yang dilansir dari laman ZONABanten.com (21/09/2021) beliau menyatakan bahwa pelaku penyerangan dan teror terhadap para ustadz atau imam atau simbol-simbol Islam yang lain selalu dinyatakan gila atau Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Sangat berbeda jika penyerangan yang dilakukan itu mempresentasikan agama lain, langsung dicap sebagai teroris.
Dadang Kahmad, selaku ketua PP Muhammadiyah juga menilai bahwa kejadian tersebut sudah terjadi berulang kali. Termasuk kejadian sebelumnya, yang terjadi di Tangerang. Sebagaimana dilansir dari laman detiknews (22/9/2021), beliau mengkhawatirkan adanya grand skenario di balik peristiwa penyerangan-penyerangan tersebut. Beliau berharap agar pihak kepolisian mengadakan penyelidikan atas motif pelaku.
Masih segar dalam ingatan kita, genap setahun yang lalu, peristiwa serupa telah menimpa ulama kita, Syekh Ali Jaber, ditusuk oleh pemuda tak dikenal saat memberikan ceramah di Masjid Falahudiin, Bandarlampung. Bukan hanya itu, masih banyak lagi ulama atau dai yang lain menjadi sasaran orang tak dikenal.
Yang menjadi sebuah pertanyaan, mengapa harus ulama atau dai yang menjadi incaran? Sebab, setelah diadakan penyelidikan, pelaku selalu dinyatakan mengalami gangguan jiwa (gila). Benarkah demikian? Kalau memang benar adanya, bahwa pelaku mengalami gangguan jiwa, bukankah orang gila itu akalnya tidak berfungsi? Sehingga dia tidak menyadari apa yang dia lakukan. Seharusnya korbannya akan menyasar kepada siapa saja tanpa pandang bulu.
Dengan demikian, berarti ada pihak atau sekelompok orang genius yang menggerakkan akal orang gila ini, agar sasarannya tepat ditujukan kepada para ulama.
Jika kita cermati, kasus demi kasus mirip sebuah pementasan sandiwara (rekayasa). Skenarionya berupa penyerangan terhadap seorang Ustadz atau tokoh umat, kemudian aktornya adalah orang yang mengalami gangguan jiwa atau gila. Kalau begitu tutup sudah, kasus berakhir dan pelakunya bebas dari jerat hukum.
Bukankah seharusnya, pihak kepolisian atau penegak hukum mengusut tuntas, siapa dalang dan motif dari peristiwa yang terjadi tersebut. Kemudian memberikan hukuman yang membuat efek jera bagi para pelaku kejahatan.
Sehingga kejadian serupa, yang cukup meresahkan masyarakat, tidak terulang kembali.
Seperti Pungguk Merindukan Bulan
Namun, sayang seribu kali sayang. Mengharapkan keadilan dan ketenangan dalam sistem saat ini, seperti pungguk merindukan bulan. Betapa tidak, sebuah aturan yang lahir dari manusia, yang sarat akan kepentingan dan hawa nafsu, hukum yang ada terlihat tidak berpihak kepada masyarakat. Hukum dan pengadilan yang ada bisa diperjualbelikan (wani piro). Siapa yang memiliki kekayaan, kekuatan, kekuasaan dan kewenangan akan kebal hukum. Meskipun kejahatan yang dilakukan sebesar Gunung Uhud.
Wajar, sekuler kapitalisme merupakan sebuah ideologi, yang menjadikan tolak ukur kebahagiaan adalah materi, atau sesuatu yang bersifat jasadiah semata. Sehingga manusia akan melakukan apa saja demi mendapatkan materi sebanyak-banyaknya, bahkan rela untuk sikut kanan dan kiri, kadang nyawa harus melayang, tidak peduli lagi apakah itu halal ataupun haram. Yang penting tercapai tujuan yang diinginkan.
Apalagi ideologi sosialis, termasuk komunis di dalamnya. Mereka menganggap bahwa segala sesuatu itu berasal dari materi, hidup di dunia ini juga untuk mendapatkan materi, dan setelah mati akan menjadi materi yang lain. Mereka tidak mempercayai keberadaan Tuhan sebagai Sang Pencipta dan Pengatur. Para pengikut ideologi ini, juga menganggap bahwa agama adalah candu. Maka mereka akan berusaha menghilangkan segala sesuatu yang bernuansa agama atau simbol-simbol agama (Islam).
Baik sosialis maupun kapitalis, keduanya mempunyai persamaan pandangan bahwa keberhasilan dan kebahagiaan itu dicapai dengan banyaknya materi. Maka jelas, ideologi ini bertentangan dengan Islam. Sehingga Islam adalah musuh yang senantiasa menghalangi kepentingan mereka. Wajar, jika mereka berusaha dengan berbagai tipu daya untuk menghalangi dan menjegal kebangkitan Islam. Mulai dengan cara yang halus sampai yang kasar.
Mereka akan terus melakukan tipu daya untuk menghancurkan Islam, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 30 yang artinya, "Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya."
Jika dikaitkan dengan kasus di atas, narasi yang mungkin akan dibangun antara lain :
1). Menciptakan teror atau ketakutan. Masyarakat dibuat ketakutan jika akan menyuarakan kebenaran atau mengikuti pengajian. Dengan demikian tidak akan ada lagi masyarakat yang mengkaji Islam. Sehingga misi mereka terwujud yaitu menjauhkan masyarakat dari agamanya.
2). Melibatkan pihak kepolisian untuk mengawasi para ustadz atau dai dengan alasan keselamatan. Sesungguhnya yang diawasi adalah konten atau isi ceramahnya. Mengarah pada penerapan syariah dan khilafah atau tidak.
Berbeda dengan Islam. Islam memandang bahwa seorang mukmin itu memiliki aspek rohani dan ruh. Aspek rohani adalah suatu kesadaran bahwa kita manusia hakikatnya adalah makhluk Allah Swt. Sebagai makhluk yang diciptakan dengan seperangkat aturan maka, setiap amal perbuatannya harus sesuai dengan perintah dan larangan-Nya. Tolak ukur perbuatannya adalah halal dan haram. Dan standar kebahagiaannya adalah mencari keridaan-Nya.
Ruh adalah kesadaran akan hubungannya dengan Allah Swt, selalu menghadirkan Allah dalam setiap amal perbuatannya. Sehingga mereka tidak akan melakukan hal-hal yang dilarang oleh syara'. Hal inilah yang dapat sebut sebagai implementasi dari ketakwaan individu.
Ketakwaan individu saja tidak cukup, perlu adanya kontrol masyarakat dan negara yang menerapkan hukum berdasarkan Syariat Islam. Institusi tersebut dinamakan Khilafah Islamiah (sistem pemerintahan yang dipimpin seorang khalifah), yang akan menerapkan hukum seadil-adilnya tanpa pandang bulu, tidak terikat dengan kepentingan apapun dan siapapun.
WaAllahu'alam Bishowwab
Posting Komentar