Ketika Gangguan Mental Disandingkan dengan Muslimah
Oleh : Nahida Ilma (Mahasiswa kesehatan)
Isu terkait kesehatan mental menjadi banyak dibahas terutama di masa pandemi COVID-19. Istilah mental illnes pun tidak asing lagi didengar ditelinga masyarakat. Paparan dampak pandemi yang menyeluruh pada setiap aspek kehidupan, tuntutan adaptasi dengan kondisi dan kebiasaan baru, kebosanan, kewalahan dan berbagai hal lainnya yang seringkali dikategorikan menjadi faktor penyebab terganggunya kesehatan mental. Isu tentang kesehatan mental laku di setiap kalangan, informasi terkait ini sangat mudah diakses bagi mereka-mereka yang banyak berselancar di dunia maya.
Seperti yang dilansir oleh alodokter.com, mental illnes atau gangguan kesehatan mental merupakan istilah yang mengacu pada berbagai kondisi yang mempengaruhi pemikiran, perasaan, suasana hati atau perilaku seseorang.
Menurut penelitian Homewood Health United Kingdom, 47 persen perempuan berisiko tinggi mengalami gangguan mental dibanding dengan 36 persen pria. Perempuan hampir dua kali lebih mungkin didiagnosis depresi dibandingkan dengan pria (News.unair.ac.id, 26 April 2021).
Pada beberapa literatur penyebab perempuan lebih rentan terhadap gangguan mental atau mental illnes adalah karena perempuan memiliki tanggungjawab domestik yang lebih banyak dari pada laki-laki. Ketika lelah bekerja seharian, sesampainya di rumah perempuan tidak bisa serta merta menghempaskan dirinya ke atas kasur, mereka masih memiliki tanggungjawab mengurus anak, bersih-bersih rumah, memasak dan lain sebagainya. Hal ini tentu berbeda dengan laki-laki. Tanggungjawab yang berlebih itulah yang dianggap sebagai faktor penyebab perempuan lebih berisiko mengalamu kecemasan dan depresi.
Dari sinilah muncul pemikiran bahwa perempuan dan laki-laki harus memiliki tanggungjawab dan peran yang sama. Perempuan tidak hasru disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga dan memiliki anak. Mereka merasa memiliki hak akan berfokus kemana. Lahirlah istilah childfree. Keputusan untuk tidak memiliki anak bukan karena adanya gangguan pada sistem fisiologi. Keputusan yang dianggap tidak akan menjadikan perempuan merasa memiliki tanggungjawab yang lebih besar.
Perempuan juga seringkali dikaitakan dengan angka kemiskinan. Dalam Laporan Akhir Kajian Perempuan dalam Penanggulangan Kemiskinan Melalui Kegiatan Industri Rumahan yang dikeluarkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlingungan Anak (2016), dijumpai fakta bahwa beban perempuan miskin lebih besar karena peran ganda yaitu sebagai pengurus rumah tangga sekaligus pencari nafkah untuk keluarga.
Dijelaskan bahwa perempuan bertanggunjawab untuk mengurus anak-anak, mengambil air dan kayu bakar, mencuci baju, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, mengatur keuangan rumah tangga, yang menghabiskan sebagian waktu mereka. Sayangnya seringkali pekerjaan mereka ini tidak dianggap sebagai sebuah “pekerjaan”, sehingga juga tidak diperhitungkan dalam “produksi” sebuah rumah tangga. Hal ini diperburuk lagi dengan adanya anggapan bahwa penghasilan perempuan hanya sebagai “tambahan” penghasilan suami.
Fakta seperti itulah yang menjadikan perempuan merasa didiskriminasi. Lantas ketika perempua sudah mendapatkan porsi yang sama dalam dunia pekerjaan dan terbebas dari tanggungjawa pekerjaan rumah tangga, apakah hal itu benar-benar bisa mengentaskan dari kemiskinan?
Dikutip dari liputan6.com (15 Juli 2021), menurut laporan BPS (Badan Pusat Statistik) terdapat 27,54 juta penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan hingga kuartal I 2021. Acuan yang digunakan sebagai tolok ukur penduduk miskin yaitu masyarakat yang hidup dengan batas pendapatan Rp. 472.525 per kapita per bulan.
Sayangnya hal itu tidak mampu menghilangkan label negeri miskin yang telah dimiliki sekian lama. Padahal lowongan kerja untuk perempuan juga sudah dibuka selebar-lebarnya. Ide kesetaraan gender yang akan berdampak pada kesetaraan tanggungjawab yang sudah mereka emban sekian tahun nyatanya masih belum memberikan dampak yang nyata. Sudah seefektif apakah ide ini dalam menjamin kesejahteraan perempuan?
Ketika ditelisik lebih dalam, ketidak seimbangan ini merupakan buah dari pengadopsian sistem demokrasi liberal dan kapitalisme sekuler. Alih-alih menyelesaikan masalah perempuan, yang terjadi justru sebalik. Perempuan kehilangan jati dirinya.
Sebagai seorang muslimah, sudah seharusnya kita selalu melihat sesuatu dengan kaca mata Islam. Dengan begitu, dia akan mengerti akar masalah dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Pandangan yang mendalam akan menghatarkan pada pemahaman bahwa Islam sangat memuliakan perempuan dan seluruh tanggungjawabnya. Bukan nilai yang bersifat materi tapi lebih dari itu.
Kesempatan menjadi kunci masa depan suatu negeri adalah hal yang sangat luar biasa. Ketika nasib suatu negeri ditentukan oleh kaum perempuan, bagaimana dia bisa mendidik generasi penerus negeri. Seorang ibu yang kehormatannya 3 kali lipat dibandingkan ayah. Seorang ibu yang dibawah telapak kakinya terdapat syurga bagi anak-anaknya. Seorang ibu yang Ridho dan murka Allah berada ditelapak tangannya. Bukankah itu semua adalah kesempatan yang sangat luar biasa?
Peran perempuan atau muslimah hanya akan bisa maksimal ketika lingkungan yang ada mendukung mereka. Suasana ruhiyah, ketika materi bukanlah segalanya dan kekhawatiran kepada anak ketika ke luar rumah tidak ada. Lingkungan seperti itu hanya didapat pada negara yang menerapkan Islam secara keseluruhan, dengan negara yang disebut Khilafah.
Waalahu a’alam bi ash-Showab
Posting Komentar