Pandemi Berkepanjangan Bukti Kegagalan Rezim Global
Oleh : Dinda Kusuma W T
Sebagaimana yang dikhawatirkan banyak orang, varian baru covid-19 kembali muncul. Pandemi yang telah berlangsung hampir dua tahun penuh ini membuat nafas dunia kembang kempis. Setelah sedikit lega dengan adanya vaksin, kini varian baru yang katanya lebih ganas kembali membuat semua orang harus waspada. World Health Organization (WHO) menyatakan varian B.1.1.529 atau Omicron telah dilaporkan ke WHO pertama kali oleh Afrika Selatan pada 24 November 2021.
“Dalam beberapa minggu terakhir, infeksi telah meningkat tajam, bertepatan dengan deteksi varian B.1.1.529. Infeksi B.1.1.529 terkonfirmasi pertama yang diketahui berasal dari spesimen yang dikumpulkan pada 9 November 2021,” demikian penjelasan WHO yang dipublikasikan pada Jumat, 26 November 2021 lalu (covid19.go.id, 01/12/2021). Varian Omicron memiliki sejumlah besar mutasi, beberapa diantaranya mengkhawatirkan. WHO menjelaskan bukti awal menunjukkan peningkatan risiko infeksi ulang dengan varian ini, dibandingkan dengan Variant of Concern (VOC) lainnya.
Terkait hal ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan sejauh ini Indonesia belum menemukan adanya penularan dari varian baru virus Corona B.1.1.529 atau Omicron. Kendati demikian, pemerintah mulai melakukan antisipasi, salah satunya dengan membatasi kedatangan warga negara asing (WNA) dan mewajibkan seluruh pendatang dari luar negeri, baik melalui udara, laut, maupun darat, untuk menjalani karantina.
Kondisi ini mengingatkan kita pada awal terjadinya pandemi. Kala itu, banyak negara awalnya bersikap santai, termasuk Indonesia. Tidak ada pembatasan keluar masuk negara secara serius. Pandemi dipandang sebagai sesuatu yang mudah diatasi. Hanya Cina, tepatnya kota Wuhan sebagai tempat munculnya virus corona (sekarang disebut covid-19) pertama kali, yang melakukan locdown (karantina total) bak adegan film. Wuhan menjadi kota mati sekitar kurang lebih 6 bulan, kemudian menyatakan diri telah bebas dari pandemi.
Kepanikan negara-negara lain, khususnya Indonesia, baru terlihat setelah melonjaknya kasus covid-19 yang tidak bisa dikendalikan lagi. Pada dasarnya, wabah akan cepat tertangani jika tindakan diambil secepat mungkin sebelum virus menyebar. Terlebih covid-19 adalah virus yang sangat mudah menular dan orang yang terjangkit virus ini tidak langsung mengalami gejala. Tanda-tanda infeksi pertamanya sepele mirip seperti flu biasa sehingga banyak orang tidak sadar telah terkena virus covid. Mereka tetap melakukan kegiatan seperti biasa. Dengan demikian tidak bisa terhitung banyaknya orang yang akan tertular hanya dalam waktu satu hari saja. Fakta ini seharusnya membuat pemerintah langsung bertindak tegas, bukan justru santai karena gejalanya yang samar.
Kepanikan setelah lewat masa emas untuk mengatasi penyebaran virus sudah tidak ada gunanya lagi. Virus sudah terlanjur menyebar dan sangat sulit untuk dikendalikan. Ironis, pemerintah membuat kebijakan yang amburadul selama pandemi dua tahun belakangan ini. Banyak kebijakan yang plin-plan dan merugikan rakyat. Contohnya tetap dilaksanakannya pemilu serentak di tengah situasi darurat pandemi. Pembatasan kegiatan masyarakat dilakukan sampai beberapa kali berganti istilah namun tidak sejalan dengan kompensasi atau bantuan untuk rakyat yang tidak bisa mencari nafkah akibat kebijakan tersebut. Berbagai konflik antara pemerintah dan rakyat yang kelaparan pun tak terhindarkan.
Masalah lain yang bahkan masih menjadi PR pemerintah dalam menangani pandemi hingga kini adalah komunikasi publik. Minimnya komunikasi pemerintah berdampak pada kesadaran masyarakat dalam menunaikan kewajiban mereka untuk ikut serta menyelesaikan pandemi. Banyak informasi salah atau simpang siur yang terjadi selama pandemi namun dibiarkan saja tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Akibatnya konflik sosial bermunculan di mana-mana. Contohnya konflik dalam pemakaman korban yang meninggal karena covid-19. Banyak keluarga yang mengambil paksa jenazah untuk dimakamkan tanpa protokol yang benar. Masyarakat sendiri tak bisa disalahkan begitu saja. Jika masyarakat tidak sadar, itu adalah kesalahan terbesar dari pemerintah karena tidak melakukan komunikasi publik dengan baik.
Kekacauan negara selama covid-19 tidak hanya terjadi sekali. Gelombang kedua yang lebih parah melanda Indonesia juga negara-negara lain di dunia. Adanya varian baru, yaitu varian Delta yang pertama kali muncul di negara India, seketika menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Ibarat keledai yang jatuh ke lubang yang sama. Pada gelombang kedua, keadaan Indonesia bahkan lebih menyeramkan. Korban meninggal berjatuhan, banyak pasien tidak tertangani karena rumah sakit sudah penuh. Tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan kolaps menghadapi serangan covid-19 yang kedua ini.
Kini, muncul lagi varian baru yang katanya lebih ganas, yaitu varian omicron dari Afrika Selatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat kasus varian Omicron telah terdeteksi di 38 negara, tapi belum ada kematian karenanya. WHO mengumumkan temuan itu pada Jumat, 3 Desember 2021 (kompas.com, 04/12/2021). Laporan temuan nol kematian akibat Covid-19 varian Omicron ini bisa menjadi kabar baik. Tapi, jika negara lengah, bencana gelombang pandemi yang ketiga sangat mungkin akan terjadi lagi.
Dari kondisi pandemi global yang berkepanjangan ini, kita dapat melihat fakta bahwa penyebaran virus covid-19 gagal dikendalikan bukan hanya oleh Indonesia, tapi juga negara lain diseluruh dunia. Negara-negara maju yang memiliki dana, tenaga, dan teknologi tinggi pun ternyata gagal mengakhiri pandemi. Bahkan Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya sempat mencatatkan angka kasus covid-19 tertinggi dalam enam bulan berturut-turut pada serangan covid gelombang kedua akibat varian Delta.
Inilah kenyataan, bahwa meski seluruh dunia bersatu untuk melawan pandemi, mereka tetap kalah dan tidak berdaya. Inilah bukti bahwa sistem yang dijalankan seluruh negara di dunia adalah sistem yang salah yang tidak mampu memberikan solusi cepat dan tepat bagi rakyat. Mirisnya, rezim dunia malah tak segan mengambil keuntungan dalam situasi pandemi. Mengambil berbagai kebijakan yang menyengsarakan dan memeras rakyat. Alih-alih serius mencari solusi tuntas bagi pandemi.
Seluruh negara di dunia menerapkan sebuah sistem yang bertumpu pada tujuan materi yaitu kapitalisme. Wajar, jika dalam sistem kapitalisme ini banyak pihak baik swasta maupun pemerintah berusaha mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya meski dalam kondisi pandemi seperti sekarang. Kaum kapitalis menjalin hubungan erat dengan para eksekutif dan legislatif demi melancarkan dan mengukuhkan kendali mereka dalam perekonomian. Sistem ini tidak akan mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Terbukti dengan kebijakan yang diambil selama pandemi terkesan setengah hati karena lebih mengutamakan berputarnya roda ekonomi daripada menyelamatkan nyawa rakyat.
Kegagalan rezim global dalam mengatasi pandemi ini harusnya membuka mata kita akan kebobrokan sistem kapitalisme. Sistem ini mencengkram kuat masyarakat sehingga mengakar dalam hati sanubari mereka dan melupakan bahwa ada sistem yang lebih sempurna yang bisa diterapkan, yaitu sistem islam. Penerapan sistem islam berlandaskan keimanan dan ketaqwaan manusia kepada Allah SWT, sehingga tujuan utamanya adalah menggapai ridha Allah. Dengan demikian pasti akan memberikan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Tidak hanya menguntungkan kaum kapitalis semata. Sistem islam adalah satu-satunya solusi yang mampu menuntaskan persoalan pandemi dan semua persoalan umat manusia lainnya.
Wallahu a'lam bishsawab.
Posting Komentar