Krisis Pasokan Batubara Ancam Krisis Listrik Buah Kebijakan Kapitalistik
Oleh : Mimin Diya
Huru hara energi listrik belum usai. Sebagai energi pokok yang dibutuhkan masyarakat, pasokan listrik diambang krisis. Sekitar 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan daya sekitar 10.850 megawatt akan padam dan berpotensi mengganggu kestabilan perekonomian nasional. Hal tersebut lantaran pasokan sumber energi batu bara sebagai operasional PLTU tidak tercukupi.
Kementerian ESDM mencatat data realisasi pasokan batu bara tahun 2021 masih rendah, sekitar 63,47 juta ton atau 46% dari target nasional 137,5 juta ton (Suara.com, 5/1/2022).
Menurut Direktur Eksekutif IESR (Lembaga riset Institute for Essential Services Reform), Fabby Tumiwa, krisis batu bara di PLN akibat tidak terpenuhi kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari produsen (perusahaan tambang batu bara). Produsen atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) lebih memilih mengekspor batu bara dengan untung besar dibandingkan harga supply batu bara kepada PLN (Suara.com, 5/1/2022).
Upaya untuk menghentikan ekspor dengan sanksi tegas berupa pencabutan izin setiap perusahaan yang tidak patuh DMO nyatanya pun hanya sebatas ultimatum pemerintah dan tidak memberi efek jera. Karena kebijakan pelarangan ekspor yang terhitung sejak 1 Januari hingga 31 Januari 2022 dianulir dengan kebijakan baru yang membuka kembali kesempatan ekspor perusahaan tambang batubara mulai 12 Januari 2022 (Bisnis, 10/1/2022).
Solusi lain yang ditempuh oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam menghadapi krisis batubara yang menerpa PT PLN (Persero) justru melalui transformasi PLN lewat restrukturisasi direksi (Kompas, 6/1/2022). Hingga membuat subholding Power Plant atau Pembangkit dan mendorong keberlanjutan transisi energi baru terbarukan (EBT) yang sejalan dengan komitmen zero emission 2060.
Namun, apakah langkah tersebut efektif? Sejatinya semua solusi yang ditempuh ternyata tidak menyentuh akar masalah krisis yang melanda negeri ini. Karena faktor mendasarnya bukan menipisnya eksplorasi batubara, akan tetapi karena pengelolaan tambang batubara oleh swasta beserta ijin ekspornya. Otomatis stok batubara yang seharusnya cukup sebagai sumber energi listrik dalam negeri tidak terpenuhi.
Pemberian ijin pengelolaan tambang batubara secara luas oleh korporasi swasta tentu tidak lepas pula dari adanya kebijakan kapitalistik, yakni melalui UU Minerba No. 3 Tahun 2020 yang melegalkan pengelolaan SDA di tangan swasta. Menurut WALHI, isi pasal-pasal dalam UU Minerba sangat kontroversial bahkan mengabaikan sisi konservasi lingkungan hidup serta jauh dari tujuan mensejahterakan masyarakat luas.
Terlebih di dalam Pasal 128A Naskah UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 tercantum pengenaan royalti sebesar 0% bagi pelaku usaha yang bisa meningkatkan nilai tambah batu bara. Jelas keuntungan berlipat ganda sudah dipastikan masuk kantong korporasi. Satu sisi tidak perlu membayar royalti dan disisi lain mendapat cuan besar dari kebabasan ekspor batu bara.
Sementara PLN terus berbenturan dengan minimnya persediaan batu bara, biaya produksi dan operasional PLTU yang besar, serta biaya pembelian listrik dari swasta/IPP (Independent Power Producer). Lebih jauh lagi rakyat juga terkena dampak kenaikan tarif dasar listrik yang akan bergulir di tahun 2022 agar PLN tidak merugi.
Lantas, dimana tanggungjawab penguasa sebagai periayah rakyat? Keseriusan dalam memenuhi hajat hidup rakyat seharusnya terealisasi melalui kebijakan yang pro rakyat. Bukan hitungan untung rugi dan bersifat parsial demi melanggengkan kekuasaan di masa mendatang, dengan berpasangan erat antara penguasa dan pengusaha (korporatokrasi).
Langkah yang proaktif dan solutif wajib dijalankan oleh penguasa dengan berlandaskan pada sistem aturan yang tepat. Jika sistem kapitalis justru membuka lebar privatisasi SDA batu bara dan menjadi sebab krisis energi listrik, maka jauh berbeda dengan sistem Islam dalam pengelolaan SDA. Energi listrik dan bahan baku batu bara masuk dalam kepemilikan umum yang wajib dikelola negara secara langsung dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Rasulullah saw bersabda :
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Patut pula sekiranya menjadi renungan sabda Nabi saw, "Ya Allah, siapa yang mengurusi satu perkara umatku, lalu ia menyulitkan umat, maka persulitlah ia. Dan siapa yang mengurusi perkara umatku, lalu ia memudahkannya, maka permudahlah ia". (H.R. Muslim).
Saatnya penguasa menerapkan sistem aturan Islam dari sang pencipta untuk mengatur kehidupan bangsa dan negara. Dengan begitu akan mengalir keberkahan, rakyat mampu meraih kesejahteraan hidup, dan terwujud baldatun toyibbatun wa Rabbun ghafur.
Wallahu'alam bishawab.
__________________________________________
Dukung terus Penamabda.com menjadi media rujukan umat.
Dukung juga channel youtube dan IG Pena Mabda ya sahabat!
Posting Komentar