Jaminan Hari Tua (JHT) : Akal Bulus Mengeksploitasi Pekerja
Oleh : Sukmawati umar (Pemerhati Sosial)
Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengikuti aksi unjuk rasa didepan DPR, Jakarta.
Aksi ini dilakukan dalam rangka penolakan kebijakan baru pemerintah yaitu pemenaker No 2 tahun 2022 yang mengatur Jaminan Hari Tua (JHT), dapat dicairkan setelah pekerja berusia 56 tahun (Kumparan/13/2/2022).
Kebijakan Zalim
Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah ini, sangat menyakiti dan mempersulit kaum buruh. Sebab, jika seorang buruh yang mengundurkan diri atau di PHK, atau mungkin sedang mengalami sakit yang berkepanjangan, sehingga ia harus berhenti dari pekerjaannya, maka ia tidak mendapatkan ,sebelum usianya mencapai 56 tahun. Padahal ia sangat membutuhkan biaya hidup setelah berhenti bekerja.
Dengan demikian, sekalipun dana JHT hakikatnya merupakan hak pekerja, mereka tidak akan bisa memanfaatkan dana tersebut sekalipun mereka membutuhkannya.
Kemenaker mengklaim penerbitan permen sudah sesuai aturan. Sebelum diberlakukan, telah ada komunikasi dengan kementerian dan kelembagaan terkait.
Namun, pada faktanya keputusan ini diambil tanpa melibatkan masyarakat sebagai pihak terdampak, terutama kaum pekerja. Padahal dalam kondisi seperti ini yang serba sulit ditengah pandemi, masyarakat masih dibayang-bayangi dengan ancaman PHK, sementara dana JHT yang menjadi harapan satu-satunya kini pupuslah sudah.
Bahkan tidak semua pekerja terdaftar sebagai penerima dana JHT.
Irma menuturkan dana JHT yang dicairkan saat pegawai baru bekerja 3-5 tahun tak seberapa besarannya. Menurutnya, akan jauh lebih besar nominal JHT jika dicairkan saat usia 56 tahun.
"Kalau uang itu dia investasikan sampai 56 tahun, itu dari Rp 3 juta bisa sampai Rp 10 juta nanti, pada saat dia pensiun, karena kan diinvestasikan. Gitu loh cara berpikirnya," kata Ketua bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi DPP NasDem itu.
Watak Rezim Kapitalistik
Sebenarnya peraturan zalim ini pernah digagas oleh pemerintah pada 2015, tetapi gagal. Saat itu yang mengeluarkan aturan bukan Menaker, melainkan Presiden langsung.
Pemerintah mengeluarkan aturan (PP) 46/2015 tentang penyelenggaraan program Jaminan Hari Tua (JHT) yang berlaku pada 1 Juli 2015. Syaratnya pun sama yaitu pencairan dana JHT untuk peserta BPJS yang berusia 56 tahun. Yang berbeda, dana ini hanya bisa diklaim jika peserta telah terdaftar kepesertaannya minimal 10 tahun. Tetapi peraturan inipun menuai protes. Karena pada saat itu sedang terjadi PHK dimana-mana. Akhirnya, Presiden pun membatalkannya.
Sekarang, pemerintah ingin menerbitkan lagi aturan tersebut, tetapi yang mengeluarkan aturan ini diserahkan kepada Kemenaker, sehingga yang akan jadi sasaran protes bukan Presiden, melainkan menteri sebagai bawahannya.
Masyarakat saat ini, termasuk kelompok pekerja, sudah terlalu sering menelan pil kekecewaan. Alih-alih mendapat perlindungan, justru mereka terus menjadi objek kebijakan zalim dan berbagai upaya pembodohan. Ujian yang paling berat adalah diterbitkannya UU Cipta Kerja yang sarat kepentingan Kapitalis.
Kehidupan masyarakat sangat dipersulit dengan pemungutan pajak dimana-mana, serta harga kebutuhan pokok terus melambung tinggi. Kalaupun ada yang gratis, itu karena rakyat terpaksa saling menolong dengan berbagai macam program, bukan karena negara turun tangan, termasuk program-program yang disebut jaminan sosial, itupun dengan berbagai syarat.
Wajar saja, karena negeri ini menganut sistem kepemimpinan Kapitalisme oligarki. Dimana negara menempatkan diri sebagai sebuah perusahaan dan kental dengan nuansa bisnis alias hitung dagang.
Masyarakat Butuh Perubahan
Kebijakan-kebijakan yang terus dikeluarkan oleh penguasa di sistem saat ini sangat jauh dari kepentingan mengurus dan menyejahterakan rakyat, kecuali bagi para pemilik modal.
Faktanya, semua sumber daya alam yang dimiliki negeri ini, diambil alih oleh para cakung-cakung Asing dan Aseng untuk dikelola. Mirisnya, semua perampokan ini dilegitimasi berbagai aturan penguasa, dengan hasil akal dan pikir mereka.
Wajar saja jika rakyat semakin menderita dengan kurangnya lapangan pekerjaan dan himpitan kehidupan yang semakin mencekik. Belum lagi dengan utang negara yang semakin menumpuk, serta kerusakan lingkungan yang sangat berat dan rakyat harus menanggung dampaknya dalam waktu yang sangat lama.
Sangat berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan Islam yang pernah berjaya hingga belasan abad. Dimana aturan-aturan sangat berkeadilan dan bebas kepetingan. Selain itu, aturannya pun sangat lengkap dan menjadi solusi bagi seluruh problem kehidupan manusia.
Pemimpin dalam Khilafah memang benar-benar memahami bahwa kepemimpinannya itu adalah amanah dari Allah SWT yang akan dipertanggung jawabkan atas orang per orang.
Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya” (HR. Bukhari-Muslim)
Juga dari Ma’qil bin Yassar ra., Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim)
Semoga masyarakat segera sadar bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan keadilan selama sistem kufur ini masih terterapkan karena keadilan hanya mampu lahir dari sistem Islam yang berasal dari Allah dan RosulNya Muhammad saw.
Wallahua'allam
Posting Komentar