Penanganan Covid Yang Belum Usai, Ibadah pun Jadi Korban
Oleh : Nita Ummu Rasha
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan surat edaran (SE) terbaru terkait pelaksanaan kegiatan peribadatan di rumah ibadah. Menag meminta rumah ibadah memperketat prokes di tengah kembali melonjaknya kasus Covid-19 akibat adanya varian omicron.
Kementerian Agama (Kemenag) menginstruksikan agar pengurus dan pengelola tempat ibadah memberlakukan jarak maksimal satu meter antarjemaah dalam peribadatan salat. Ketentuan itu diatur dalam Surat Edaran Nomor SE. 04 Tahun 2022 yang ditandatangani oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas di DKI Jakarta pada 4 Februari 2022.
Selain peraturan soal jarak salat, Kemenag juga meminta agar kegiatan peribadatan atau keagamaan paling lama dilaksanakan selama satu jam. Pengurus dan pengelola tempat ibadah juga wajib memastikan pelaksanaan khutbah, ceramah, atau tausiyah wajib memenuhi ketentuan. Salah satu ketentuannya ialah pemimpin keagamaan menyampaikan khutbah dengan durasi 15 menit.
Rasanya kebijakan mengenai pandemi saat ini sering bertabrakan dengan kebijakan lain, ketika pemerintah fokus pada tempat ibadah, sementara pasar, mal, tempat makan dan tempat wisata dibiarkan tetap buka. Walau dengan menerapkan prokes tidak menutup kemungkinan penularan bisa terjadi terutama di sektor wisata yang notabene akan terjadi kerumunan yang mungkin tidak begitu bisa terpantau ketat prokesnya. Tidak mungkin juga tempat wisata ditutup karena akan berimbas pada roda perekonomian.
Inilah konsekuensi ketika kita hidup jauh dari penerapan syariah islam, dimana sektor ekonomi yang menghasilkan materi yang diutamakan sementara kesehatan rakyat terabaikan. Alih-alih menuntun rakyat agar taat prokes sementara kebijakan- kebijakan yang di buat hanya berdasarkan asas manfaat dan materi semata yang justru membuat rakyat tidak mematuhi prokes.
Padahal sudah jelas Islam memberi tuntunan terbaik dalam mengatasi wabah sebagaimana hadist Rasulullah saw:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Maka sebaiknya kebijakan lockdownlah kunci utama dalam menangani wabah, tidak perlu berorientasi pada aspek ekonomi namun tetap fokus pada kesehatan dan penyelamatan rakyat. Islam akan meminimalisasi aktivitas rakyatnya yang menimbulkan kerumunan sekaligus mengurangi mobilitas, akan memisahkan tempat bagi yang sakit dan yang sehat, dimana wilayah yang tidak terjangkit wabah dan orang- orangnya sehat akan tetap bisa melakukan aktivitasnya baik dari sektor ekonomi dan lainnya, menutup pintu-pintu kemungkinan masuknya lalu lintas WNA ke dalam negeri dan yang paling utama ialah Islam akan memberikan fasilitas pengganti atas kebijakan lockdown terutama di sektor ekonomi. Dapat dibayangkan jika penanganan wabah ini dilakukan dengan sistem Islam maka rakyat tidak akan mengalami kesulitan apalagi mencegah dan membatasi aktivitas ibadah. Sudah saatnya merubah sistem hidup yang berasaskan manfaat dan materi menjadi sistem hidup yang berlandaskan akidah dan aturan Islam.
Posting Komentar