Transgender Muslim Meninggal: Bagaimana Pemulasarannya?
Oleh : Najma Hakim, (Penulis Lepas)
Pernahkah berpikir tentang pengurusan jenazah seorang transgender beragama Islam? Apakah dimakamkan dengan mengikuti perlakuan sebagai laki-laki atau perempuan? Yuk kita ulas.
Ada seorang artis kawakan yang terlahir sebagai pria kemudian merubah diri menjadi wanita. Beliau baru-baru ini mengutarakan wasiat yang berisikan keinginannya untuk dimakamkan dengan tabiat sebagai wanita. Yang namanya wasiat memang harus ditunaikan oleh keluarganya kelak. Tetapi, tidak serta-merta begitu. Harus dicermati, apakah di dalamnya ada hal yang bertentangan dengan syariat Islam atau tidak. Dalam bahasan ini, kita sepatutnya bersikap bijaksana.
Di dalam Islam, tindakan merubah jenis kelamin ketika tidak ada alasan yang dibolehkan terkategori dilarang (haram). Salah satu sebab diperbolehkannya mengganti adalah karena terlahir berkelamin ganda. Untuk itu harus dipilih mau bagaimana kemudian, tentu dengan pertimbangan kecenderungan secara medis. Jika secara hormonal dan kelengkapan biologis menunjukkan dominasi kepada kelamin wanita, diputuskanlah seperti itu. Berlaku pula sebaliknya. Orang yang mengalami hypospadia juga perlu diperbaiki bentuk organ vitalnya agar mendapatkan kejelasan identitas. Pembolehan kedua perkara ini berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan berobat atau al-tadawi (HR. Bukhari No. 5246).
Tidak demikian tatkala sudah jelas terlahir normal sebagai wanita atau pria. Islam tidak mengizinkan merubah jenis kelamin untuk kondisi begini. KH. Cholil Nafis sebagai Ketua MUI Pusat bidang Dakwah dan Ukhuwah memberi keterangan, “La tabdila li kholqillah (tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah).” (Republika.co.id, 31 Januari 2022)
Pelarangan ini saya dapati pula dari penjelasan KH. Shiddiq Al Jawi dari Institut Muamalah Indonesia dalam kajian bertajuk “Transgender: Bagaimana Menguburnya?” yang diadakan di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn, 4 Februari 2022. Menurut beliau terdapat tiga alasan ketidakbolehan operasi mengganti kelamin (bukan bagi yang berkelamin ganda atau hermaphrodite atau khuntsa).
Pertama, dalam operasi ganti kelamin untuk seorang laki-laki yang sudah sempurna alat kelaminnya, terdapat upaya pengubahan ciptaan Allah (taghyir khalqillah) yang telah diharamkan syarak (QS. An-Nisa’ : 119).
Kedua, jika laki-laki diharamkan melakukan pengebirian (al-khisha, kastrasi) yaitu pemotongan testis (HR. Bukhari No. 4615), maka tentu lebih haram lagi melakukan pengubahan kelamin menjadi perempuan sesuai mafhum muwafaqah (mengambil makna implisit yang lebih luas dari makna eksplisitnya).
Ketiga, operasi ganti kelamin akan menjadi wasilah (perantaraan) kepada perbuatan yang telah diharamkan oleh syarak. Sebab Rasulullah telah mengutuk laki-laki yang menyerupai perempuan dan mengutuk perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Ahmad No. 1982). Penjelasan ini beliau rujuk dari Kitab Ahkam Al-Jirahah Al-Thibbiyyah, halaman 199-200, karya Muhammad Al-Mukhtar Al-Syinqithi.
Oleh karena itu, hukum operasi mengganti kelamin untuk seorang manusia yang telah berkelamin sempurna ialah haram. Sehingga perkara-perkara derivat yang berkaitan dengan hal tersebut dikembalikan pada identitas awalnya.
Jika ia lahir sebagai lelaki, meski telah dirubah kelaminnya menjadi perempuan, ia tetap harus menjalani aktivitasnya sesuai aturan seorang muslim bukan seorang muslimah. Ketika sholat seharusnya ia tidak menggunakan mukena. Ia akan buang hajat di toilet laki-laki. Dalam soalan hukum waris, ia mendapat bagian dua, bukan satu. Ia juga ketika menikah tidak boleh dengan sesama lelaki. Bahkan hingga meninggalnya sekalipun, seharusnya dirawat sebagaimana fiqh jenazah terhadap muslim bukan muslimah.
Seorang muslim yang berakidah Islam sudah sewajarnya mematuhi aturan Allah. Sebab keyakinannya tersebut berkonsekuensi untuk menjalankan segala perintah Allah beserta tidak melakukan larangan yang sudah ditetapkan-Nya.
Problemnya jika seorang muslim itu ndableg atau membangkang. Sudah berkembang di antara masyarakat idealisme my body my authority (tubuhku otoritasku) yang disikapi tidak tepat. Seolah ketika seorang muslim mengalami gender dysphoria yaitu bentuk fisik kelamin berbeda dengan identitas gender yang diyakini, dia sah-sah saja mengoperasi kelaminnya untuk diserupakan dengan gendernya. Ini tidak tepat.
Sesungguhnya tubuh kita itu milik Allah, hanya titipan. Sama sebagaimana ciptaan-ciptaan lain yang Allah sematkan dalam kehidupan kita. Tidak ada hisab dari Allah terhadap hal-hal yang kita tidak punya kendali menentukannya. Semisal akan terlahir sebagai pria atau wanita, dari ayah ibu yang bagaimana, berwarna kulit dan beretnis apa. Di sini tugas kita hanya menerima dengan sebenar-benarnya keridaan. Sebaliknya, berlaku hisab dari Allah pada berbagai perkara yang kita diberi kuasa untuk memilih seperti urusan beridentitas gender sesuai jenis kelamin atau tidak, mengoperasi kelamin atau tidak, berperilaku sebagaimana seharusnya atau menuruti kecenderungan hawa nafsu.
Masih ingatkah kita bahwa manusia diciptakan oleh Allah tidak lain hanya untuk beribadah kepada-Nya (QS. Adz-Dzariyat: 56). Makna ibadah adalah tha’atullah wa khudlu’u lahu wa iltizamu ma syara’a minaddini (taat kepada Allah, tunduk pada-Nya dan berpegang teguh pada apa yang telah disyariatkan di dalam agama Islam).
Menjadi kegusaran tatkala seorang lelaki muslim yang menjadi transgender menginginkan pemulasaran jenazahnya kelak sesuai jenis kelamin barunya yakni perempuan. Lebih mengherankan lagi, banyak pihak yang membela keinginannya tersebut. Dakwah yang sampai padanya ditolak. Para penasehat yang peduli padanya diminta menghormati pilihan hidupnya karena itu tanggung jawabnya sendiri di hadapan Allah.
Kaum muslimin tidak boleh membiarkan kejadian ini begitu saja. "Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisan, jika tidak mampu maka ubahlah dengan qalbu, dan hal itu adalah selemah-lemahnya iman," HR. Muslim dalam Shahîh-nya nomor 49. Hadits ini mengandung perintah dakwah, menyuruh kepada yang makruf dan melarang dari yang mungkar kepada siapa saja yang menyaksikan kemunkaran. Fenonema transgender termasuk kemungkaran yang harus diluruskan agar pelakunya bertaubat dan orang lain tidak mencontohnya.
Yang menjadi tanda tanya setelah itu, mengapa ketika ada perbuatan yang menyalahi syariat, justru yang diharuskan berubah adalah hukum syariatnya, bukan perbuatannya. Keberadaan dali-dalil yang menerangkan keharaman ganti kelamin di atas sering kali dicap tidak berpihak pada kaum transgender. Selanjutkan dikatakan perlu ada perubahan penafsiran atas teks-teks syarak yang mengatur perkara ini agar Islam dipandang tidak kaku dan dapat mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat. Mengapa hal ini mengemuka?
Posting Komentar