Ada Apa Dengan Kenaikan Elpiji?
Oleh : Yaurinda
Memasak merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan manusia. Mulai cara yang tradisional menggunakan kayu bakar, minyak tanah, gas elpiji hingga listrik. Untuk hari ini gas elpiji masih menjadi primadona di kalangan masyarakat khususnya di Indonesia. Yang dirasa harganya masih cukup terjangkau dan sangat membantu untuk pedagang kecil, namun belakangan akan ada kenaikan harga.
Mulai 27 Februari 2022, PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) menaikkan harga gas elpiji non subsidi. Kenaikan tersebut mulai dirasakan pada awal Maret ini oleh masyarakat, terutama yang sehari-hari menggunakan gas elpiji tersebut, seperti para pemilik warung makan.
Harga LPG non subsidi resmi naik pada Minggu 27/2/2022 (Kompas.com).
Pertamina menyebutkan, penyesuaian ini dilakukan mengikuti perkembangan terkini dari industri minyak dan gas.
“Tercatat, harga Contract Price Aramco (CPA) mencapai US$ 775 metrik ton, naik sekitar 21% dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun 2021,” kata Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T PT Pertamina Irto Ginting dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Senin (28/2/2022).
Dengan penyesuaian yang dilakukan, harga LPG non subsidi yang berlaku saat ini adalah sekitar Rp 15.500 per Kilogram (Kg), sementara itu, LPG subsidi 3 Kg tidak mengalami perubahan harga dan tetap mengacu kepada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Irto memastikan, penyesuaian harga ini telah mempertimbangkan kondisi serta kemampuan pasar LPG non subsidi.
“Harga ini masih paling kompetitif dibandingkan berbagai negara di ASEAN,” imbuh Irto.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menilai, kebijakan menaikkan harga LPG non subsidi merupakan langkah yang wajar.
“Harga LPG di Pasar internasional sedang meningkat signifikan,” ujar Komaidi kepada Kontan.co.id
Karakteristik konsumen LPG Subsidi dan non subsidi relatif berbeda. (LPG) non subsidi umumnya digunakan oleh industri dan rumah tangga kelas menengah atas, namun tidak menutup kemungkinan jika pengguna non subsidi akan beralih ke subsidi karena harga dirasa sangat mahal terlebih dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti saat ini.
Jika hal ini terjadi, kemungkinan kelangkaan elpiji subsidi tak terelakkan. Yang paling terkena imbas lagi-lagi pedagang kecil dan masyarakat umum yang notabene miskin. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi, padahal kita memiliki bahan baku yang memadai untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Indonesia memiliki peluang besar dalam pemenuhan kebutuhan mulai dari pangan bahkan gas elpiji.
Namun pemerintah seolah tak perduli dengan beban berat yang semakin menghimpit rakyatnya. Wajar karena negara menganut sistem kapitalistik yang berorientasi pada kekuasaan dan selalu berpihak kepada pemilik modal. Kita butuh negara yang berpandangan mereka dengan rakyat adalah pelayan bukan pedagang, yang hanya berfungsi sebagai perantara untuk mendapat untung. Negara ini adalah penganut sistem Islam bernama khilafah.
Dalam Islam barang tambang yang jumlahnya melimpah seperti minyak dan gas merupakan kepemilikan umum. Sampai kapanpun kepemilikannya tidak akan berpindah kepada individu, swasta apalagi swasta asing. Pengelolaan dilakukan oleh negara, dan pemanfaatannya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Setiap individu baik muslim atau non muslim berhak atas pemanfaatan yang didapat dari pengelolaan barang tambang selama dia warga negara.
Karena barang tambang tidak bisa digunakan secara langsung, negara akan mengambil alih penguasaan eksploitasi mewakili kaum muslimin, hasilnya akan disimpan dalam baitul mal. Kepala negara memiliki wewenang dalam pengelolaan barang tambang, mulai dari biaya operasional, riset, eksploitasi juga pendistribusian kepada rakyat. Negara boleh menjual dengan harga yang murah untuk sekedar mengembalikan biaya operasional. Juga boleh menjual keluar negera jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.
Dengan pendampingan ketat dan tersistem tidak akan ada kekurangan pasokan dalam pendistribusian kedaerah apalagi kelangkaan. Namun hal ini tidak akan terjadi jika sistem kapitalistik tidak segera ditinggalkan. Karena tujuan awal sistem ini tidak memihak dan bertujuan memakmuran rakyat, tetapi hanya berpihak kepada pemilik modal. Dan hanya bertugas sebagai pebisnis bukan pelayan umat.
Posting Komentar