DI BALIK WACANA PENUNDAAN PEMILU, KEPENTINGAN SIAPAKAH?
Oleh : Leni Fuji Astuti
(Aktivis Dakwah)
Wacana penundaan Pemilu 2024 semakin memanas. Beberapa pihak bersuara mendukung dan menolak wacana tersebut.
Diketahui, wacana itu bergulir kembali usai Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyampaikannya. Cak Imin mengatakan usulan itu adalah aspirasi pengusaha.
Usulan Cak Imin diikuti oleh dua ketua umum partai politik lain, yakni Ketum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketum PAN Zulkifli Hasan.
Adapun Ketua Umum NasDem berbeda pendapat. Surya Paloh angkat bicara terkait usulan penundaan pemilu yang dilontarkan tiga ketua umum partai politik koalisi Presiden Jokowi. Tidak ikut ketum yang lain, Surya Paloh tegas menolak wacana tersebut.
"Ketika ingin menempatkan kepentingan bangsa, maka kita akan menempatkan sesuai konstitusi. Nah, kalau konstitusinya berbicara seperti itu (dua periode), maka NasDem akan berada paling depan (mematuhi aturan)," kata Surya Paloh dalam keterangan tertulis, dilansir detik.news, Selasa (1/3/2022).
Dalam konstitusi Pasal 22E UUD 1945 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Wakil Ketua Umum (Waketum) NasDem Ahmad Ali meyakini usul penundaan pemilu itu datang dari keinginan partai.
"NasDem percaya bahwa usulan tersebut hanya keinginan personal," kata Ahmad Ali kepada wartawan. Ahmad Ali menyatakan pemerintah tak mungkin memobilisasi parpol-parpol terkait usulan tersebut. Sebab, ujar dia, pemerintah telah bersepakat dengan DPR soal tahapan pemilu, termasuk dengan jadwal gelaran pemilu.
Pakar politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Wawan Mas'udi, menyebut usulan penundaan Pemilu 2024 sebagai hal yang tak masuk akal dan kontraproduktif. Dilansir dari Detik.news (1/3/2022)
Tak mengherankan, kalau politik akhirnya diutak-atik sesuai kepentingan para elit. Begitulah watak penguasa dalam sistem kapitalisme, yang menjadi orientasi utamanya bukan kemaslahatan rakyat tapi memperkaya diri dan kelompoknya selagi berada di kekuasaan. Jabatan dijadikan aji mumpung untuk meraih pundi-pundi rupiah yang melimpah. Para elite politik seolah enggan lengser dari jabatan sehingga berbagai cara dilakukan untuk melanggengkan masa kekuasaannya.
Sistem dan aturan pemerintahannya pun memakai hukum buatan manusia, yakni sistem kapitalisme yang tegak atas asas manfaat. Sistem kapitalisme ini menjadikan penguasa sebagai pembuat hukum. Walaupun produk hukumnya menghasilkan kesengsaraan bagi rakyat, namun selagi mendatangkan manfaat bagi para elit, sistem ini tetap dijaga eksistensinya.
Pemilu dalam sistem kapitalisme pun menelan biaya yang fantastik dan prosesnya alot. Banyak kecurangan dan hasilnya bisa dimainkan sesuai dengan pesanan para elit global. Janji yang diucapkan semanis madu, namun kenyataanya seperti racun yang menggerogoti tubuh rakyat. Slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, hanya menjadi tameng untuk meraih simpati rakyat, demi mencapai kekuasaan. Sistem kapitalisme hanya melahirkan karakter pemimpin yang tidak amanah, haus kekayaan, sehingga dunia menjadi prioritasnya dan perkara akhirat dikesampingkan.
Adapun saat di dalam islam tidak ada masa berlaku jabatan, itu dengan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Seorang pemimpin bisa menjabat sampai kapan pun selagi pemimpin itu tidak menyalahi syariat islam. Sangat berbeda dengan kepemimpinan dalam kapitalisme yang bertahan berdasarkan nafsu kekuasaan. Bersifat memaksa walau rakyat sudah tak menginginkannya.
Pemilihan seorang pemimpin dalam Islam berjalan dengan cepat dan tidak membutuhkan biaya besar. Keterpilihan mereka pun atas dasar kehendak dan kepercayaan rakyat sesuai dengan kriteria sebagai seorang pemimpin. Hukum pemerintahannya berasal dari Allah SWT, yaitu berdasarkan Al'Quran dan As Sunnah.
Pemimpin dalam islam bertugas menerapkan hukum-hukum syariat Islam. Melayani dan mengurusi rakyat seperti dalam sabda Rasulullah SAW “Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari)."
Alhasil, saat aturan yang digunakan oleh sebuah negara yaitu aturan berasal dari Allah SWT, maka sistem islam telah membuktikan sebagai sistem yang paripurna melahirkan kemaslahatan.
Diterapkannya syariat Islam secara kaffah, akan melahirkan kabaikan dunia dan akhirat.
Wallahu'alam bisshawwab.
Posting Komentar