Harta Meroket, Tambah Kaya di Tengah Derita Rakyat
Oleh : Wulan purnamawanti
Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bandung dikabarkan melakukan pengadaan mobil dinas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)- nya tahun 2022. Rencana pengadaan mobil dinas tersebut diajukan untuk tiga mobil dinas, total anggaran untuk mobil tersebut mencapai Rp 2 miliar. Hal serupa terjadi juga di Sumatera Barat, yang dilakukan oleh Gubernur dan wakilnya, Mahyeldi dan wakilnya Audy Joinaldy, terkait rencana pengadaan mobil dinas.
Banyak pihak menilai, bahwa rencana pembelian mobil dinas yang mewah untuk mereka adalah tidak tepat, di saat situasi sulit masih menimpa masyarakat banyak, akibat pandemi Covid-19. Salah satunya PHK yang menimpa banyak pekerja, menjadikan jumlah pengangguran semakin meningkat, sehingga mengurangi kemampuan daya beli mereka, yang mengakibatkan sulitnya mereka dalam memenuhi kebutuhan makan mereka sehari hari.
Di tengah situasi rakyat yang serba kekurangan, tentu sangat miris ketika para pemimpinnya justru berkeinginan untuk membeli mobil dinas baru. Bergelimang harta, duduk di kursi empuk, ruang kerja penuh dengan berbagai fasilitas, belum lagi dana tunjangan selama menjabat, ditambah rumah dan mobil dinas siap melengkapi kebutuhan selama bertugas, begitu enak hidup menjadi para pejabat. Sementara, rakyat jelata harus menerima hidup pas-pasan, menerima jika harga bahan pokok naik, pengangguran meningkat, dan anak-anaknya putus sekolah karena tak memiliki biaya. Rakyat diminta untuk tidak berputus asa, tetapi pada waktu yang sama, para pejabatnya meningkatkan jumlah harta. Utang dan derita biar saja rakyat yang menanggung, sedangkan para pejabat berada di panggung (kekuasaan) menikmati kehidupan dengan penuh sukacita.
Sungguh menakjubkan, publik pun terpana melihat setiap angka yang tertera menunjukkan kekayaan harta mereka. Kalau begini, rakyat bisa naik darah mengetahui harta pejabat bertambah miliaran rupiah hanya dalam waktu setahun. Pasalnya, pandemi memperburuk ekonomi rakyat hingga sulit memenuhi kebutuhan keluarga. Namun justru selama pandemi, para pejabat seolah telah kehilangan rasa peduli dan kepekaannya terhadap penderitaan rakyat. Bagi mereka, sah-sah saja menjabat di kursi kekuasaan sembari menjalankan bisnis yang meraup miliaran rupiah. Memanfaatkan kekuasaan demi meraup keuntungan sebesar-besarnya, akibat gaya hidup materialistis yang sudah mengakar dalam sistem hidup kapitalistik-sekularistik saat ini. Atas dasar manfaat, tanpa melihat halal dan haram, bahkan tanpa memperdulikan penderitaan yang di alami rakyatnya, selama segala sesuatu yang mereka inginkan tercapai dan mendapat pundi pundi yang melimpah ruah, maka segala sesuatu akan di lakukan tanpa menoleh kebelakang.
Hal ini sangat berbeda jauh dengan kepemimpinan dalam Islam. Di dalam Islam, seorang penguasa atau pejabat haram hukumnya mengambil harta yang bukan haknya, apalagi memanfaatkan jabatannya untuk hal tersebut. Seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika meragukan kekayaan seorang penguasa atau pejabat, ia menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah. Salah satunya, ketika putra beliau, Abdullah bin Umar, mengembala kambing di rumput milik Baitul mall, Umar mencelanya dan Umar memerintahkan anaknya untuk langsung menjual kambing itu, dan menyatakan bahwa kelebihan dari daging kambing itu diberikan kepada Baitul mall karna kambing itu telah memakan rumput milik negara.
Rasulullah saw bersabda:
" Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, dan sesungguhnya pada hari kiamat kepemimpinan itu merupakan kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya secara hak dan melaksanakan tugas kewajibannya.” (HR Muslim).
Bukan hanya itu, jika para khilafah meragukan kekayaan seorang penguasa atau pejabat, ia akan menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah.
Para Khalifah sangat berhati-hati dalam persoalan harta umat. Saat mereka menjabat, mereka mengutamakan bersedekah daripada mencari keuntungan lewat jabatannya. Khalifah bahkan melarang para pejabatnya untuk melakukan perdagangan.
Dalam Islam, para pejabat tidak akan silau dengan gemerlap keuntungan dagang dari proyek pemerintah, meski bernilai miliaran hingga triliunan. Sebab, Khalifah mengangkat para pejabatnya sebagai pejabat publik, bukan sebagai pedagang.
wallahu a'lam bishawab
Posting Komentar