Minyak Goreng Berbaris Manis, Rakyat (tetap) Menangis
Oleh : Annisa Husna
Bim salabim! Bak permainan sulap, minyak goreng yang semula langka tiba-tiba melimpah ruah. Secepat sambaran kilat, minyak goreng berjejer manis di ritel modern di seluruh Indonesia. Ibarat skenario sinetron, kondisi mencekam bahkan sampai menghilangkan nyawa berubah menjadi lelucon yang geram untuk ditertawakan.
Dampak Kenaikan Minyak Goreng
Polemik minyak goreng menuai banyak reaksi. Masih melekat dalam ingatan kita tentang pernyataan menggelitik para penguasa negeri ini yang menyatakan bahwa kelangkaan minyak goreng diakibatkan karena emak-emak menimbunnya di dapur. Atau pernyataan lain yang menyarankan agar tidak hanya menggoreng tapi juga mengukus dan merebus. Pernyataan yang dengan gamblang menunjukkan “lepas tangan” seperti ini tidak hanya terjadi pada kasus minyak goreng. Di beberapa kasus sebelumnya pemerintah acap kali mengeluarkan pernyataan semacam itu, seperti mahalnya cabai agar rakyat menanam sendiri.
Pemerintah mengaku bahwa tak bisa mengontrol pasar karena sifat manusia yang rakus dan jahat. Pernyataan ini cukup kontradiktif dan ironis. Pemerintah mengakui bahwa tidak mampu mengontrol pasar akibat manusia yang rakus dan jahat, namun menolak anggapan bahwa pemerintah menyerah terhadap pengusaha. Fenomena ini semakin menguak fakta buruknya pelayanan pemerintah dalam sistem demokrasi.
Dicabutnya Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng makin menambah catatan buruk pelayanan bagi masyarakat, apalagi kondisi masyarakat saat ini yang masih terdampak covid-19. Data menunjukkan bahwa pengangguran meningkat akibat dirumahkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Adanya kenaikan bahan-bahan pokok seperti minyak goreng seakan menjadi pukulan susulan di tengah kondisi sulit sepert ini. Bisa dibayangkan bagaimana himpitan hidup yang dirasakan oleh rakyat saat ini.
Pada pelaku bisnis, seperti penjual gorengan dan kue-kue sejenis, naiknya harga minyak goreng akan memaksa mereka untuk menjual makanan lebih tinggi dari harga sebelumnya. Contohnya di Yogyakarta, dikutip dari berita republika.co.id, gorengan yang semula 2.000 rupiah untuk tiga biji kini menjadi 2.500 rupiah untuk 3 biji gorengan, dengan masih menanggung konsekuensi turunnya laba hingga 50 persen walau harga telah disesuaikan. Atau harga makanan siap saji yang juga mengalami kenaikan dampak dari naiknya harga minyak goreng. Dampak ini tidak saja dirasakan oleh masyarakat di Yogyakarta namun seluruh masyarakat Indonesia.
Ekonomi Kapitalis Tumbuhkan Mafia Minyak Goreng
Dalam ekonomi kapitalis pasti akan terjadi mekanisme pasar seperti ini. Karena ekonomi kapitalis memiliki prinsip laissez faire. Yang mana mekanisme berjalan sendiri tanpa ada campur tangan pemerintah sebagai kontrol. Jadi bukan hal yang mengherankan jika lonjakan harga minyak goreng begitu liar seperti saat ini. Untuk 1 liter minyak goreng tembus di harga kisaran 25.000 rupiah, yang sebelumnya hanya 15.000 rupiah per liter.
Nihilnya kontrol inilah yang mengakibatkan masalah pada distribusi barang yang tidak merata, juga adanya potensi penimbunan barang. Bisa dipastikan mendadak munculnya jejeran minyak goreng ini akibat adanya praktek penimbunan yang dilakukan oleh mafia. Karena prinsip ekonomi seperti ini melahirkan pasar monopoli yang berorientasi laba. Asal meraih keuntungan, tidak peduli akan penderitaan rakyat.
Kebingungan mendag serta permintaan maafnya karena tidak mampu mengontrol mafia minyak goreng adalah bukti kongkret lemahnya kontrol sekaligus potret bagaimana ekonomi kapitalis bisa mengendalikan pasar hingga menaklukan pemerintah. Ekonomi kapitalisme akan terus langgeng di negeri ini seiring dengan langgengnya sistem demokrasi kapitalis saat ini. Artinya untuk menghentikan langkah mafia minyak goreng, bukan dengan mengurangi konsumsi minyak goreng melainkan memboikot sitem kapitalisme yang telah melanggengkan langkah para pengusaha yang bermental jahat dan rakus. Sehingga tidak ada lagi cerita manisnya jejeran minyak goreng di rak-rak ritel modern dan juga pasar, namun harganya malah menjadi racun bagi rakyat.
Solusi Islam dalam Memenuhi Hajat Hidup Rakyat
Apa yang terjadi di atas sangat berbeda dengan kebijakan negara yang menerapkan syariat Islam. Dalam negara yang menerapkan syariat Islam, pemerintah atau penguasa bertindak sebagai raa’in. Sesuai dengan yang disabdakan oleh baginda Rasulullah saw, "Pemimpin negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyat yang dia urus." (HR. al-Bukhari). Dari sini jelas bahwa penguasa adalah pelayan rakyat. Negara hadir bertanggungjawab melayani dan menjamin segala kebutuhan dan hajat hidup rakyatnya.
Negara Islam tidak akan membiarkan para pengusaha berlomba-lomba mengambil keuntungan pribadi dengan mengorbankan dan menyengsarakan rakyat. Karena dalam tatanan sistem kepemimpinan Islam, negara tidak akan memberi ruang adanya penyelewengan. Apapun dalihnya, Islam melarang keras praktek mengeksploitasi dan menipu rakyat demi meraih keuntungan pribadi.
Kepemimpinan seperti inilah yang dirindukan dan dibutuhkan rakyat. Hadir meri’ayah rakyat dengan optimal. Menjaga serta melayani. Akan tetapi kepemimpinan seperti ini hanya terwujud di bawah sistem yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, lalu dilanjutkan oleh khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Kepemimpinan yang telah terbukti secara empiris dan historis sukses selama ribuan tahun. Itulah sistem khilafah. Sebuah sistem yang harus diperjuangkan dan menjadi tanggungjawab seluruh umat Islam dalam menegakkannya.
Posting Komentar