Pemilu Ditunda, Siapa Yang Untung?
Oleh : Hetty Kusmawati (Muslimah Makassar)
Wacana Penundaan Pemilu 2024 berhembus baru-baru ini. Usulan datang dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Sebagian besar partai sudah menegaskan posisinya dalam wacana penundaan ini (CNNIndonesia/1/3/2022).
Sebelumnya sekertaris umum PP Muhammaddiyah Abdul Mu'ti mengaku, mendapat informasi bahwa ada pihak tertentu yang menekan partai politik untuk menyuarakan penundaan Pemilu 2024 (CNNIndonesia/2/2022).
Pernyataan ini dikuatkan oleh Andi Arif, wacana perpanjangan masa jabatan Presiden yang kembali mencuat tidak murni berasal dari partai koalisi, melainkan dari Presiden Joko Widodo itu sendiri (Faktakini.info 27/22/2022).
Di lain tempat, Yusril Ihza Mahendra sebagai ahli Hukum Ketatanegaraan berkomentar, "Penundaan Pemilu sama sekali tidak memiliki dasar hukum yang diatur dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945".
Lanjut Yusril menjelaskan bahwa pasal 22 e UUD 1945 secara Imperatif menyatakan bahwa "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Jadi jika pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah menyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekusaannya?.
Jika ingin tetap melaksanakan Penundan Pemilu 2024, maka ada tiga hal yang kemungkinan bisa diambil untuk melegitimasi wacana ini, yaitu amandemen, dekrit dan kontitutional (Kompas.com/26/2/2022).
Pemimpin Haus Jabatan
Dengan dalih perbaikan ekonomi, wacana ini di gulirkan. namun, banyak pengamat partai menilai bahwa ada kepentingan yang ingin dilanjutkan dari perpanjangan jabatan, kata Fery Amsari dalam diskusi bertajuk "Tolak Penundaan Pemilu 2024" secara daring (Jakarta/26/2/2024).
Tidak dipungkiri bahwa ada sebagian partai menolak wacana ini, tapi malah menimbulkan pertanyaan apakah memang demi menjaga marwah Demokrasi dengan tidak melanggar konstitusi ataukah mereka sedang bermain cantik di depan pemilih, karena sistem ini meniscayakan hal yang demikian maka bisa saja sejurus kemudian berubah arah dan masuk angin dengan adanya konsesus politik yang tercapai di Senayan.
Ketika dengan dalih ekonomi penundaan Pemilu 2024 ini mencuat, maka mengapa tidak meggunakan narasi yang sama untuk Pemindahan IKN?
Istilah serigala berbulu dombapun menjadi padanan kata yang cocok untuk para elit politik yang berdalih perbaikan ekonomi dan demi kemaslahatan publik Penundaan Pemilu 2024 ini diwacanakan.
Demokrasi Menyuburkan Pemimpin Hipokrit
Inilah wajah sistem Demokrasi, Minim Empati dan Otoriter. Undang-undang bisa di buat, ditambahkan, diputarbalik bahkan diobok-obok sesuai dengan kepentingan Elit Politik untuk melanggengkan kekuasaan sekalipun hanya menjadi pelayan para oligarki.
Kekuatan Oligarki bermain di belakang wacana Penundaan Pemilu 2024 ini juga tdk bisa di tepis, karena nyamannya para Oligarki dilayani oleh para pejabat pada Rezim ini. Salah satu buktinya adalah dengan diluluskannya Undang-undang Cipta Kerja dan Undang-undang Minerba yang sangat menguntungkan para pemilik modal.
Seperti inilah watak pemimpin yang lahir dari sistem Demokrasi, mereka berbuat dan bekerja berdasarkan asas kepentingan. Tanpa malu-malu mereka menampakan wajah asli mereka yang serakah akan jabatan dan kekuasaan. Jalan yang seharusnya tidak bisa mereka lalui untuk melanjutkan kekuasaannya malah dicarikan cara agar bisa "halal" dilewati. Padahal Penundaan Pemilu ini seperti saudara kembar dengan Wacana Tiga Periode.
Pemimpin Mulia Dan Amanah Dengan Islam
Dalam Islam tidak dibolehkan ada kekosongan Pemimpin selama tiga hari, dan wakil rakyat yang duduk di majelis umat adalah pilihan langsung dari umat, karena Syara' mengizinkan umat Islam untuk memilih wakil mereka dalam menjalankan urusan mereka (urusan dunia).
Pemimpin dalam Negara Islam disebut juga Khalifah, dan tatacara pemilihannya, sangat sederhana tanpa perlu melakukan kampanye, pembuatan baliho untuk mencari suara, tanpa perlu adanya belanja logistik partai dan juga tidak perlu bantuan-bantuan sosial untuk mencari simpati apalagi yang disebut dengan istilah serangan fajar. Istilah negatif yang selalu dikaitkan dengan sistem perpolitikan dalam negara Demokrasi mendekati pemilu.
Negara Islam (Daulah Khilafah), tidak sama dengan sistem Diktator dan sistem Demokrasi. Hal yang paling mendasar yang membedakan antara sistem Islam dari sistem lainnya baik Diktator maupun Demokrasi adalah bahwa kedaulatan, yakni hak untuk menetapkan hukum, yang menentukan benar salah, yang menentukan halal haram, ada ditangan Syariah bukan ditangan manusia. Oleh sebab itu baik Khalifah atau umat, sama-sama terikat pada Syariah Islam.
Islam memberi hak kepada umat untuk memilih Khalifah yang akan mengurus kehidupan mereka dengan cara Baiat.
Pemilihan Khalifah tidak boleh ada paksaan dan harus atas dasar prinsip Ridha wa Ikhtiyar (kerelaan dalam kebebasan memilih), Sebagaimana pada masa lalu umat Islam telah memberikan baiatnya kepada Khulafaur Rasyidin secara sukrela.
Khalifah bekerjasama dan bermusyawarah dengan Majelis Umat, tetapi bukan untuk menetapkan hukum, bukan pula menentukan yang haram menjadi halal.
Seorang Khalifah akan memimpin dengan berlandaskan kitabullah dan Sunnatullah yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam.
Wallahua'alam
Posting Komentar