PPN NAIK LAGI, NEGARA MACAM APA INI?
Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd
(Pendidik dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Memasuki Awal April dan bulan Ramadhan 1443 H, Rakyat Indonesia akan mendapat “kado manis” Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang akan diberlakukan pada 1 April 2022. Meskipun banyak penolakan, kebijakan yang diputuskan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut tidak akan ditunda. Faisal Basri, ekonom senior, salah satu yang menolak kebijakan tersebut beralasan “tidak ada unsur keadilan” yang selama ini disampaikan oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajaran. Kebijakan ini diterapkan guna menciptakan fondasi pajak negara yang kuat. Dalam upaya mereformasi perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ditetapkan kenaikan tarif PPN 11 persen mulai 1 April 2022 dan naik lagi menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
Kenaikan tarif ini memang tidak diberlakukan untuk semua barang dan jasa. Ada pengecualian, khususnya bahan pokok hingga berbagai jenis jasa seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya.Akan tetapi untuk barang seperti mie instan, pulsa, alat tulis, pakaian dan lainnya akan dikenakan tarif baru. Bukan barang pokok, namun masih bagian dari barang yang sering dikonsumsi masyarakat. Langkah ini jelas menarik perhatian banyak pihak. Apalagi dalam kondisi sekarang di mana harga barang melejit sejak awal tahun. Ada minyak goreng, elpiji, ayam, daging sapi, telur, cabai rawit dan lainnya. Kondisi di mana masyarakat tengah menderita. "Menaikkan PPN di tengah pemulihan ekonomi sekarang ini tidak tepat. Apalagi saat ini inflasi dalam trend meningkat. Kenaikan PPN akan menambah tekanan inflasi," terang Ekonom CORE Pitter Abdullah kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin, (15/3/2022)
PPN naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Namun di saat yang sama pajak penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25% menjadi 22%. Bahkan sebelumnya sempat direncanakan sampai 20%. Hal tersebut, menurut Faisal jarang disampaikan pihak pemerintah. "Penurunan pajak perusahaan dari 25 ke 22%, tadinya direncanakan ke 20%, tapi akhirnya dibatalkan. Sementara untuk rakyat itu dinaikkan. Ini menunjukkan ketidakpedulian para wakil rakyat terhadap rakyat kecil, sebaliknya kebijakan yang timpang dan menguntungkan masyarakat kaya.Alasan penolakan Faisal selanjutnya adalah perbandingan dengan negara tetangga maupun negara G20. Memang dibandingkan dengan negara G20, tarif PPN Indonesia lebih rendah. Akan tetapi menurutnya juga harus dilihat pendapatan negara tersebut. Pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi sampai dibandingkan dengan negara macam Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja masih tertinggal.
"Kelihatan sekali masyarakat daya belinya parah, tercermin dari membela-belain diri untuk berjam-jam antre memperoleh minyak goreng. Itu kan sepertinya kepepet sekali. Jadi sedikit kenaikan itu sudah amblas konsumsi mereka. Rasanya dari sini kurang bajak untuk menambah tekanan pada daya beli masyarakat yang masih lemah," pungkasnya.
Inilah gambaran nyata sistem ekonomi kapitalis, bukan sebagai periayah tapi jadi pemalak. Sumber pendapatan ekonomi kapitalis berasal dari pajak dan utang luar negeri. Tak dipungkiri beban pembayaran cicilan dan bunga utang memperberat APBN. Investasi pemerintah pun semakin tertekan, karena alokasi dana untuk membayar cicilan utang dan bunganya semakin membengkak. Ketidakmampuan pengembalian utang luar negeri dengan bunga yang tinggi akan menimbulkan bencana ekonomi di negeri ini. Secara tak langsung, masyarakat terkena dampak berkurangnya proporsi pengeluaran untuk pos-pos yang berkaitan dengan kesejateraan masyarakat.
Pandangan Islam
Berbeda dengan Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Islam telah menetapkan bahwa sumber utama pendapatan negara bukan pajak. Pasalnya, Kas Negara atau Baitul Mal dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) memiliki sumber pemasukan yang tetap. Sistem keuangan berbasis Baitul Mal menjadikan negara memiliki sumber-sumber keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan pengelolaan sesuai syariat. Sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitulmal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Dari sumber-sumber yang banyak inilah yang menopang kekuatan ekonomi daulah Islam, sekaligus menjadi modal besar untuk menyejahterakan rakyatnya. Sehingga Daulah Islam akan terbebas dari utang riba yang menjerat, apalagi mencekik rakyat dengan pajak. Akan tetapi dalam kondisi darurat dan mendesak, negara diperbolehkan untuk memberlakukan pajak (dharibah). Namun konsep dan pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem pajak hari ini yang berlandaskan sistem kapitalis. Pajak (dharibah) dalam Islam hanya diberlakukan saat negara benar-benar krisis keuangan, sementara negara tentu membutuhkan dana besar untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka. Misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah, membayar gaji (pegawai, tentara, juga biaya hidup pejabat), memenuhi kebutuhan fakir miskin, juga penanganan bencana alam dan wabah.
Pungutan itu bersifat temporer. Bukan pemasukan rutin dan permanen. Apalagi menjadi sumber pendapatan utama negara. Ketika krisis sudah terlewati dan Kas Negara (Baitulmal) telah aman, maka pungutan itu akan dihentikan. Obyek pajak dalam Islam pun berbeda. Pungutan ini tidak diambil dari semua warga negara. Non-Muslim (ahludz-dzimmah) tidak dikenai pajak. Mereka hanya dikenai jizyah yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pajak dalam Islam hanya dibebankan atas warga Muslim yang kaya saja. Selain itu pajak pun tak dihitung sebagai sumber utama atau tulang punggung penerimaan APBN atau Baitulmal. Sebab jika pungutan pajak ini tidak sesuai ketentuan syariat apalagi sampai membebani rakyat maka bisa menjadikan sebuah keharaman. Dengan aturan seperti ini, keadilan akan tercipta. Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan dari negara. Mereka tidak dipersulit dengan berbagai pungutan.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Kapitalis saat ini yang menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara yang justru semakin memperburuk kondisi ekonomi negara. Pajak berpotensi pula terhadap peningkatan angka kemiskinan, karena pajak ditetapkan oleh penguasa berdasarkan hawa nafsunya, yang tentu saja hal ini merupakan sebuah bentuk kezaliman karena bertentangan dengan aturan Allah SWT. Maka dari itu, sudah saatnya negeri ini berbenah secara sistemis. Ubah sistem yang membuat aturan tentang pajak yang begitu mencekik rakyat yakni dengan menerapkan sistem islam.
Dalam Islam, seorang pemimpin berusaha sekuat tenaga melayani kebutuhan rakyat dan meringankan beban mereka. Pasalnya, mereka paham bahwa jabatan dan kekuasaan merupakan amanah yang harus dijalankan untuk melayani rakyat sesuai dengan ketentuan syariat.
Wallahu'alam bishawab.
Posting Komentar