Kegagalan Abadi Peradilan Sekuler
Oleh : Dinda Kusuma W T
Sengkarut penegakan hukum di negara indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sejak negara ini merdeka, bisa dikatakan rakyat tidak pernah puas dengan laju penegakan hukum dan peradilan yang berlaku. kendati Indonesia sebagaimana disepakati para pendirinya merupakan negara hukum, kenyataannya hukum sangat mudah dipermainkan.
Seharusnya hukum menjadi panglima dan keadilan adalah segala-galanya bagi rakyat. Namun tak jarang, harapan rakyat kandas ketika berhadapan dengan hukum. Konsep trias politika yang menempatkan yudikatif sebagai penjamin implementasi keadilan hukum bagi rakyat indonesia tanpa pandang kasta, tidak pernah terwujud. Yudikatif yang mestinya berdiri independen dan tampil suci agar bisa adil dan bijaksana, semua hanyalah teori semu. Lembaga peradilan justru penuh dengan isu suap, tebang pilih, dan korupsi.
Belumlah terbangun kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia, masyarakat makin dibuat skeptis dengan kabar dihentikannya lebih dari seribu kasus dengan alasan pendekatan restorative justice oleh kejaksaan agung.
Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan. Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan menggunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara. Model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam sistem sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya (jdih.tanahlautkab.go.id, 2019).
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghentikan sedikitnya 1.070 perkara dengan menggunakan pendekatan 'restorative justice'. Restorative justice itu diterapkan terhadap perkara tindak pidana yang sifatnya ringan, sesuai Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative.
"Sampai dengan awal Mei 2022, Kejaksaan telah menghentikan sedikitnya 1.070 (seribu tujuh puluh) perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative. Banyak kisah inspiratif yang terjadi pada perkara yang dihentikan dengan pendekatan keadilan restorative, dimana penghentian penuntutan tersebut telah memperkuat penerapan model keadilan restorative dalam sistem peradilan pidana di Indonesia," kata Fadil dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/5/2022) (detiknews.com, 23/05/2022).
Reaksi masyarakat memang bermacam-macam, ada juga yang mendukung kebijakan kejagung ini, namun banyak pengamat menilai hal ini sebagai kegagalan hukum. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan mengungkapkan bahwa di atas 80 persen dari 1.200 responden menyatakan setuju dengan pendekatan keadilan restoratif.
Akan tetapi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan bahwa sebanyak 96,6 persen dari 2.020 responden menyatakan setuju dengan pidana mati bagi koruptor kelas kakap. Padahal, hukuman mati bertentangan dengan prinsip 'restorative justice'. Ini menunjukkan sistem hukum telah menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Hukum yang berlaku tidak sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.
Fadil menjelaskan mengingat kondisi penjara di Indonesia sudah terlalu padat, masyarakat menuntut reformasi serius dalam praktik penegakan hukum yang cenderung berfokus pada pembalasan dengan pemenjaraan, daripada memulihkan keadilan. Secara tidak langsung, penegak hukum telah mengakui bahwa hukum yang berlaku selama ini sama sekali tidak efektif. Hukum yang berlaku hanya membuat 'ruwet' baik negara maupun rakyat, alih-alih memberikan solusi dan keadilan. Kegagalan hukum ini bukan baru terjadi, namun merupakan kegagalan yang terjadi sejak awal dan niscaya akan terus gagal hingga akhir zaman. Demikianlah jika kita berada pada sistem sekulerisme dimana rakyat harus berhukum dengan hukum buatan manusia.
Hukum konvensional yang selama ini kita anut, bersumber dari hasil pemikiran manusia yang ditetapkan untuk memenuhi segala kebutuhan mereka yang bersifat temporal. Hukum ini juga dibuat dengan kemampuan akal manusia yang memiliki keterbatasan dan kekurangan untuk memahami perkara gaib dan menghukumi perkara yang belum terjadi.
Sebagai hukum hasil ciptaan manusia, hukum yang berlaku justru merepresentasikan kekurangan, kelemahan, dan ketidakmampuan manusia serta sedikitnya kecerdasan mereka. Terbukti dengan banyaknya perubahan hukum dan pergantian atau yang dinamakan dengan perkembangan (evolusi) seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkatan, kedudukan, dan situasi mereka.
Berbagai fakta yang selama ini ada dihadapan kita, harusnya menyadarkan kita bahwa sistem hukum dan peradilan sekuler gagal menghapus kriminalitas massal dan konflik di tengah masyarakat, tidak memiliki sumber sanksi yang jelas sehingga banyak kasus perubahan sanksi atau hukuman karena beratnya beban negara menanggung biaya penjara dan tahanan. Selain itu, sangat berpotensi memberi celah bagi pelaku kejahatan berat untuk mendapatkan hukuman ringan. Kemudian untuk menutupi segala dilema kegagalan tersebut, negara menawarkan keadilan restorasi. Seolah hal itu adalah solusi, padahal hanya tindakan 'melarikan diri' dan 'cari gampang'. Keadilan restorasi ini kelak pasti akan menimbulkan masalah baru.
Lalu, hukum apa yang tidak akan pernah gagal? Ia adalah hukum Islam. Hukum Islam tidak sama dengan hukum buatan manusia. Menurut Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad’iy, sejatinya hukum Islam tidak dapat dianalogikan dengan hukum buatan manusia. Betapa tidak. Hukum Islam merupakan produk Sang Pencipta, Zat Maha Agung yang tiada tandingannya.
Hukum Islam bersumber dari Allah SWT. Sejak diturunkan, hukum Islam mempunyai teori hukum yang terbaru yang baru dicapai oleh hukum konvensional akhir-akhir ini, padahal hukum konvensional lebih tua dari hkum Islam. Lebih dari itu, hukum Islam lebih banyak mencapai sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh hukum-hukum buatan manusia yang berlaku hingga saat ini. Keberhasilan hukum Islam bisa kita lihat dari banyak fakta sejarah. Sejak didirikannya Daulah islam oleh Rasulullah Saw, hingga masa kekhalifahan.
Hukum Islam yang merupakan ciptaan Allah SWT merepresentasikan sifat kekuasaan, kesempurnaan, keagungan, dan pengetahuan-Nya yang mengetahui hal-hal yang telah terjadi dan akan terjadi di masa mendatang. Karena itu, menurut Audah, Allah telah menciptakan hukum Islam yang meliputi segala sesuatu untuk masa sekarang dan masa mendatang karena ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Ketetapannya tidak akan berubah hingga kapan pun dan dimana pun, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat Yunus ayat 64: "...Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah..".
Atas dasar inilah, hukum Islam lebih tinggi daripada seluruh tingkatan hukum dunia pada saat diturunkannya dan hal tersebut masih tetap seperti itu hingga sekarang. Hal ini sebenarnya juga disadari oleh orang-orang Barat yang menganut sekularisme. Namun karena kesombongannya, mereka mencegah dengan segala upaya agar hukum Islam tidak diterapkan kembali diatas muka bumi.
Wallahu a'lam bishsawab.
Posting Komentar