Demokrasi Menyuburkan Tikus Berdasi
Oleh : Tri S, S.Si
Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan setuju terkait wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntut para terdakwa kasus korupsi dengan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat. Wacana itu dinilai memungkinkan untuk diterapkan.
“Harusnya Kejaksaan dan KPK setiap menuntut terdakwa tipikor (tindak pidana korupsi) itu harus memberi tuntutan salah satunya pencabutan hak-hak tertentu. Salah satu hak tertentu itu adalah hak pembebasan bersyarat dan hak remisi,” kata peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman kepada wartawan (beritasatu.com, 11/9/2022).
Hal itu memungkinkan mengingat ada Pasal 18 UU Tipikor yang mengatur pidana tambahan salah satunya berupa pencabutan hak-hak yang diberikan pemerintah. Dia menegaskan hak-hak tersebut bukan seperti yang diatur pada Pasal 35 KUHP.
“Memang hak-hak tertentu di Pasal 35 KUHP sudah limitatif ya, tetapi Pasal 18 UU Tipikor itu bukan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 KUHP, sehingga Pasal 18 UU tipikor bisa diartikan bahwa pencabutan hak-hak tertentu yang diberikan pemerintah salah satunya hak remisi dan hak pembebasan bersyarat,” tutur Zaenur.
Berdasarkan data yang dikantongi KPK, tipikor mayoritas terjadi di lembaga pemerintahan baik skala kabupaten/kota. Kasus korupsi terus berulang dari tahun ke tahun di lembaga yang serupa. Dengan demikian, tipikor bukanlah persoalan personal. Melainkan persoalan yang bersifat struktural. Karena jika ini persoalan personal, maka seharusnya dengan penegakkan hukuman yang setimpal, selesai kasus ini dan tak berulang. Faktanya, sanksi yang diberikan pun tak menuntaskan masalah. Bahkan, muncul lagi maling-maling lainnya dan kian merebak jika ada proyek besar bak jamur dimusim penghujan. Tidak dimungkiri, praktik korupsi yang terungkap hanya tataran permukaannya saja. Ibarat fenomena gunung es, yang belum terungkap jauh lebih banyak apalagi dibarengi dengan sistem pengawasan yang lemah. Alhasil, semua saling berkelindan dalam lingkungan yang korup.
Dari fakta di atas, ada benang merah yang bisa kita tarik. Yakni, akar permasalahan korupsi yaitu diterapkannya sistem Demokrasi Kapitalisme di negeri ini. Sistem ini berkelindan memberikan kesempatan bagi seseorang untuk melakukan praktik korupsi, dimana Kapitalisme melahirkan watak manusia yang kapitalistik. Mereka melakukan akumulasi kekayaan tanpa memedulikan apakah melanggar norma atau tidak dalam prosesnya. Struktur masyarakat yang terbentuk pun masyarakat yang materialistik. Ironisnya, seseorang dihargai atau tidaknya di tengah masyarakat berdasarkan kekayaannya semata. Sehingga lazim jika kita melihat setiap orang terus berjuang untuk memperkaya dirinya sendiri tanpa memedulikan orang lain.
Dukungan dari sistem demokrasi pun turut menyuburkan praktik korupsi terjadi di negeri ini. Dimana demokrasi membuka peluang money politic terjadi dalam kontestasi politik. Selama masa kampanye misalnya, tentu butuh dana yang tak sedikit. Bahkan uang dijadikan alat kampanye yang sangat ampuh untuk mendulang suara. Votes (suara) pun jadi komoditas yang diperjual-belikan untuk meraih tampuk kekuasaan. Biaya yang dikeluarkan selama masa kampanye bisa jadi bukan dari kantong pribadi. Ada dana-dana “panas” yang harus dikembalikan kepada pemiliknya ketika tampuk kekuasaan teraih. “No Free Lunch” begitu tepatnya. Akhirnya terjadi simbiosis mutualisme antara penguasa dengan pengusaha. Bukan lagi dana yang dikembalikan layaknya utang. Melainkan perizinan mendirikan usaha yang bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah yang jauh lebih berlimpah. Bagi-bagi kue kekuasaan pun tak dielakkan.
Sebagai sebuah persoalan yang bersifat struktural, pemberantasan korupsi tak bisa diselesaikan hanya dengan penyelesaian yang sifatnya pragmatis. Artinya, butuh perubahan struktural juga yang kemudian bisa menihilkan perilaku-perilaku korup, baik korupsi kecil-kecilan (petty corruption) atau korupsi besar-besaran (grand corruption). Dan perubahan struktural ini harus dengan mengubah sistem yang diterapkan di negeri ini, yakni sistem Kapitalisme.
Sebagai antitesis dari penerapan Kapitalisme, Islam jadi jawabannya. Penerapan sistem Islam dengan basis ketakwaan kepada Allah Swt. melahirkan individu-individu yang menjadikan halal haram sebagai standar hidupnya. Sehingga kecil kemungkinan terjadi berbagai praktik manipulatif di dalam lembaga pemerintahan.
Islam telah menggariskan bahwasanya setiap muslim yang diamanahi menjadi pemimpin, maka ia akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. Dan tentu ini memberikan dampak psikologis yang luar biasa bagi seseorang yang benar-benar bertakwa kepada Allah Swt. Alhasil, jika dari akarnya diperbaiki, dirombak, diubah sesuai fitrah manusia, maka bukan tidak mungkin korupsi lenyap dari proses pemerintahan. Bahkan, para pemimpin yang hadir di tengah-tengah masyarakat pun adalah para pemimpin yang begitu dicintai rakyatnya.
Di samping penerapan sistem yang mumpuni, Islam pun telah menetapkan langkah-langkah bagaimana supaya kasus korupsi tidak menjamur di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintahan sebagai pelayan rakyat, ia berkewajiban menunaikan tugasnya dengan sempurna. Memberikan pelayanan yang optimal. Namun, mereka pun tetaplah manusia yang mempunyai kebutuhan hidup. Sehingga negara wajib memberikan gaji yang layak supaya aparatur pemerintah bisa fokus bekerja dan tidak tergoda berbuat curang.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Tentang suap Rasulullah bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad).
Ketiga, perhitungan kekayaan. Khalifah Umar bin Khathab pernah melakukan perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik dan ini menjadi cara yang ampuh untuk mencegah korupsi. Semasa menjabat pun, Khalifah Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, maka diminta membuktikan bahwa kekayaannya itu didapat dengan cara yang halal.
Keempat, keteladanan pemimpin. Pemimpin berkewajiban untuk melakukan ri’ayah syu’unil ummah (mengatur urusan umat) dan pengaturan ini harus dicontohkan kepada bawahannya. Sebagaimana Khalifah Umar pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena didapati tengah digembalakan bersama di padang rumput miliki baitul mal dan ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Kelima, hukum yang tegas. Penegakkan hukum dalam Islam tidak tebang pilih. Tanpa memandang apakah ia keluarga, kerabat atau kolega. Sebagaimana yang akan dilakukan Rasulullah kepada puterinya, jika benar Fatimah anaknya yang mencuri, “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari)
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat berperan sebagai kontrol sosial yang mempunyai kewajiban untuk senantiasa melakukan muhasabah ke berbagai elemen. “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (tindakan atau kekuasaan)nya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Paripurnanya Islam yang memberikan syariat dari hulu ke hilir, tercatat telah berhasil meminimalisasi tindak kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Sistem ini mampu mengantarkan negara menjadi sebuah peradaban yang gemilang pada masanya.
Wallahu alam bi showab.
Posting Komentar