Mampukah “Peta Jalan Ekonomi Kreatif” Sebagai Lokomotif Pemulihan Ekonomi Global?
Oleh : Khoiruunisa, S.E.I
Baru-baru ini telah terjadi Konferensi Ekonomi Kreatif Dunia ke-3 atau the 3rd World Conference on Creative Economy (WCCE) Tahun 2022 yang digelar pada 5-7 Oktober 2022 di Bali menghasilkan peta jalan ekonomi kreatif untuk pemulihan ekonomi global yang dinamakan “Bali Creative Economy Roadmap” atau “Bali Roadmap”.
“Bali Roadmap merupakan dokumen yang disepakati oleh para delegasi WCCE sebagai peta jalan untuk kebangkitan ekonomi, di mana sektor ekonomi kreatif yang menjadi tulang punggung kebangkitan ekonomi global,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno, dikutip dari laman resmi Kemenparekraf, Jumat (07/10/2022).
Bali Roadmap merupakan hasil proses diskusi yang sudah diedarkan ke negara-negara anggota, organisasi internasional, dan pihak-pihak ekonomi kreatif yang berkepentingan sejak Juni 2022. Pada Kamis (06/10/2022) Bali Roadmap disahkan oleh Menparekraf dan kemudian diadopsi dalam pertemuan tingkat menteri yang akan menjadi warisan bagi Indonesia di bidang ekonomi kreatif di dunia Internasional.
Menparekraf berharap Bali Roadmap dapat memberikan kontribusi mengenai kebijakan-kebijakan tentang ekonomi kreatif di seluruh dunia. “Kita juga melihat intervensi dari negara-negara di seluruh dunia mulai dari Amerika, Eropa, Afrika, Asia, hingga Timur Tengah yang telah memberikan apresiasi terhadap kepemimpinan Indonesia di ajang WCCE. Kita harapkan ini menjadi penyemangat kita untuk bangkit kembali sesuai dengan semangat G20, recover together recover stronger,” ujarnya. Sandi menambahkan, di tengah ancaman inflasi global, sektor ekonomi kreatif menjadi tulang punggung yang didominasi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang membuka 97 persen lapangan kerja.
Presiden Jokowi meyakini ke depan ekonomi kreatif dapat menjadi solusi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat secara luas dan berkelanjutan karena mampu mendobrak batas geografis, gender, ras, dan strata ekonomi. “Ekonomi kreatif bisa menjadi pilar utama untuk mendobrak pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pertumbuhan ekonomi untuk semuanya,” tutur Presiden.
Sektor Ekonomi Kreatif Bagi Jawa Tengah
Dikutip dari Bisnis.com, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bakal mendorong pertumbuhan industri kreatif di wilayah tersebut. Pasalnya, sektor usaha tersebut memiliki peluang besar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. "Ke depan, kami yakin dan optimis ekonomi kreatif akan mampu mendongkrak perekonomian Jawa Tengah dan memicu pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan dan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan ekspor, selain itu industri kreatif berpeluang menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan di Jawa Tengah. Industri kreatif ini identik dengan ekonomi kerakyatan yang mempunyai sektor usaha yang luas, yaitu 17 sub-sektor dengan basis massa yang besar. Data tahun 2020 mencatat jumlah usaha industri kreatif di Jawa Tengah sebanyak 1,4 juta usaha dengan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak yaitu 3,1 juta orang" jelas Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, Selasa (28/12/2021).
Industri kreatif di Jawa Tengah bakal diuntungkan oleh tingginya permintaan luar negeri akan produk-produk tersebut. Tak hanya industri kreatif, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2022 nanti akan terus memberikan dukungan bagi pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Salah satu langkah yang akan dilanjutkan adalah dengan menghubungkan pelaku UMKM di Jawa Tengah dengan lokapasar atau marketplace yang ada.
Di Jawa tengah sektor UMKM juga menjadi aspek strategis, setidaknya ada 172.498 UMK yang beroperasi di Jawa Tengah. Dari jumlah tersebut, serapan tenaga kerjanya bisa mencapai 1,3 juta orang. Asetnya senilai Rp38.481 miliar dan omzet Rp67.196 miliar dan tak hanya diarahkan untuk dapat bersaing di pasar lokal. Namun, lebih jauh lagi, diharapkan pada tahun 2022 nanti UMKM Jawa Tengah bisa semakin laris hingga pasar luar negeri.
Dari semua ini maka tampak bahwa eksistensi UMKM yang sedang naik daun. Pasalnya dianggap begitu populer di dunia internasional. Ada anggapan bahwa sentra bisnis UMKM merupakan bisnis lokal dengan rasa global karena dianggap bisa mampu menyangga perekonomian disaat dunia mulai bangkit melawan keterpurukkan akibat wabah covid 19.
Pertanyaan penting bagi kita semua, yaitu akankah peta jalan ekonomi kreatif (“Bali Creative Economy Roadmap” atau “Bali Roadmap”), mampu menjadikan Indonesia bangkit memulikan perekonomian dan bahkan bisa menjadi macan dunia?.
Menggantungkan Harapan Pada UMKM, Is The Wrong Strategy!
Lahirnya peta jalan ekonomi kreatif (“Bali Creative Economy Roadmap” atau “Bali Roadmap”), dijadikan harapan akan membawa UMKM Indonesia ke kancah dunia dan tidak hanya dinikmati daerah, namun bisa masuk dalam kancah ekspor/Internasional. Dengan begitu roda ekonomi akan terus bergerak dan akan memerikan sumbangsih tinggi pada prosuk domestik bruto (PDB). Dengan naiknya PDB tersebut, pertumbuhan ekonomi dikatakan membaik.
Adanya aktivitas menggantungkan nasib pada UMKM, yang berharap akan teratasinya permasalahan pengangguran karena ranah bisnis UMKM dianggapan cukup mampu menyerap angka pengangguran yang ada, merupakan salah strategi. Alasanya karena ini mengisyaratkan bahwa posisi negara hanyalah menjalankan tugas sebagai regulator. Detailnya adalah negara hanya sebagai pengatur dan penyalur tenaga kerja kepada pihak lain. Hal ini tentu jauh sekali dari fungsi negara yang menjamin dan memberikan pekerjaan kepada rakyat.
Kesalahan strategi selanjutnya terletak pada cara pandang melihat besarnya pendapatan yang dihasilkan. Memang PDB yang dihasilkan melalui UMKM berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) Maret 2021, jumlah UMKM di Tanah Air telah mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,07 persen atau senilai Rp 8.573,89 triliun. Jumlah ini cukup luarbiasa menarik perhatian.
Namun yang perlu disadari sebenarnya, ada pendapatan lain yang hasilnya jauh lebih besar dari hasil UMKM tersebut. Dan ini belum dilirik oleh negara secara optimal sekuat tenaga. Apa itu?
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki wilayah produktif terluas di dunia. Duniapun mengakui negara ini (Indonesia) menyimpan banyak kekayaan alam yang melimpah ruah. Seperti berbagai jenis tambang semisal emas, batu bara, nikel, bauksit, tembaga hingga minyak bumi dan gas alam. Tak hanya itu, negera kita memiliki hutan tropis yang luas dan sumber perikanan yang membentang mencakup 70% wilayah negara. Oleh karena itu, jika semua sumber-sumber ini dikelola secara optimal, maka sangat bisa diprediksi bahwa penghasilan pendapatan akan sangat jauh dari apa yang didapatkan melalui sektor UMKM.
Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Dr. Ing. Fahmi Amhar, Sebagai ilustrasi sederhana,dalam menghitung Potensi Hutan. Bila diasumsikan, jarak rata-rata pohon kayu di hutan kita adalah lima meter (jarak ideal pohon kayu di hutan tanaman industri adalah tiga meter!), maka akan kita dapatkan bahwa dalam satu hektar terdapat rata-rata 400 pohon.
Bila kita terapkan pola hutan lestari, dan pohon baru dipanen setelah 20 tahun, atau setiap tahun cuma 5% jumlah pohon yang dipotong, maka dari 400 pohon akan dipanen 20 pohon per hektar. Bila setiap pohon berusia 20 tahun memiliki volume rata-rata 5 meter kubik kayu dengan hasil netto (harga pasar dikurangi segala biaya) Rp. 200.000,- per meter kubik, maka nilai ekonomisnya menjadi Rp. 1 juta per pohon atau Rp. 20 juta per hektar.
Luas daratan kita adalah 190 juta hektar, di mana 29% darinya non hutan dan 16% hutan lindung. Sisanya 10% hutan konservasi, 14% hutan produksi terbatas, 19% hutan produksi permanen, dan 12% hutan produksi konversi. Pembagian ini dibedakan menurut pola pemanfaatan yang diijinkan. Sementara hutan konservasi tetap dijaga sebagai hutan, hutan konversi lambat laun akan diubah menjadi perkebunan. Jadi hutan yang bisa dimanfaatkan total menempati area sebesar 55 % daratan kita atau sekitar 104 juta hektar.
Dengan demikian, bila pola pemanfaatan hutan menggunakan cara yang paling lestari yaitu setiap tahun hanya dipanen 5%, dan itupun menghasilkan revenue sekitar Rp. 20 juta per hektar, maka dari sektor kehutanan saja sudah didapatkan hasil sebesar Rp. 2080 Trilyun!
Dan ini jauh berbeda dengan Pendapatan negara saat ini. Data yang didapat dari Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, hingga Juli 2022 pendapatan negara tercatat mencapai Rp 1.551 triliun.
Dari semua ini, maka menggantungkan harapan pada aktivitas bisnis UMKM merupakan salah strategi. Karena ada strategi lain, yang lebih baik untuk diambil.
Butuh Peran Negara dalam Meri’ayah
Kembali pada sistem Islam, maka Sumber Daya Alam yang besar ini nyaris tidak membawa berkah kalau tidak dikelola dengan benar. Pengelolaan benar yang berkah tidak lain adalah dengan cara syariah. Namun yang dimaksud di sini tidak sekedar syariah dalam pengertian mikro seperti “pembiayaan syariah”, tetapi dalam pengertian makro yakni kebijakan publik.
Negara harus memahami bahwa dalam syariat Islam, SDA yang jumlahnya besar tidak boleh diserahkan kepemilikannya kepada individu. Individu yang mengelolanya wajib diperlakukan sebagai pekerja (ajir), dan bukannya mudharib (pengelola dalam suatu aqad syirkah). Sebagai ajir, dia mendapat upah yang sesuai dengan tenaga profesional yang dikeluarkannya, bukan sesuai dengan hasilnya, karena “hasil usaha SDA” hakekatnya adalah milik publik. Hutan, laut, sumber daya mineral, energi – bahkan keindahan alam, hakekatnya adalah milik publik, sehingga hasil setiap exploitasi komersialnya seharusnya dikembalikan untuk kemaslahatan umum.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abyadh bin Hamal: Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola suatu tambang garam. Rasul semula meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat,
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah illat (alasan) dari larangan sesuatu milik umum, termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya terlalu banyak untuk dimiliki individu.
Hal yang sama terlihat dalam hadits yang sangat terkenal, di mana Rasulullah bersabda, ”Manusia berserikat dalam air, api dan padang gembalaan”.
Air, api dan padang gembalaan adalah sumber penghidupan bagi suatu masyarakat, yang apabila tidak tersedia, pasti mereka tercerai berai, dan oleh karena itu ketiganya harus menjadi milik publik. Untuk konteks modern, air adalah sumber air utama, misalnya yang mensupply PDAM. Api adalah sumber energi. Bila energi ini berasal dari migas, maka sumur migasnya adalah milik publik. Sedang padang gembalaan dapat berarti lahan hayati yang besar seperti hutan. Jadi hutan juga milik publik.
Negara akan berperan sebagai wakil masyarakat ketika mengelola SDA ini. Dari sinilah keuangan negara akan stabil dan apalagi semua aktivitas berbasis riil, bukan non riil. Dengan demikian harta berputar terus, dan ekoonomi terus berjalan. Nuansa yang dibangun antarindividupun bukanlah persaingan bebas karena semua yakin rezeki tidak tertukar.
Para aghniya atau orang kaya akan berlomba membuka usaha untuk mempekerjakan pengangguran. Negara juga akan memberikan modal bagi penduduk yang tidak bekerja agar bisa membuka usaha, tanpa akad riba. Modal yang diberikan berasal dari pos kekayaan negara. Oleh karena itu, dalam hal ini negara menjalankan fungsinya sebagai pengurus urusan rakyatnya.
Metode baku ini hanyalah dikenal dalam Islam, konsep yang mewajibkan setiap pemimpin harus menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati karena ketaatannya kepada Allah swt. Oleh karena itu, hanya sekedar mengimplementasikan “Peta Jalan Ekonomi Kreatif”, yang mengandalkan pada UMKM, tidak akan mampu membawa Indonesia menuju kestabilan ekonomi. Terlebih lagi sebagai macan dunia.
Wallahu ‘alam bi ash shawwab
Posting Komentar