Tragedi Gagal Ginjal Akut, Islam Punya Solusinya
Oleh: Anita Arwanda, S.Pd.
Baru-baru ini Indonesia digegerkan kasus gagal ginjal yang menimpa anak dari umur 6 tahun sampai 18 tahun yang kian hari semakin meningkat sampai mengakibatkan kematian. Kementerian Kesehatan mencatat jumlah pasien dengan gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia mencapai 245 orang, per Minggu (23/10). “Sampai hari ini (23/10) sudah dilaporkan ada 245 kasus, di mana yang melaporkan 26 provinsi,” ucap Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi, sebagaimana dikutip Kompas TV.
Dari 245 kasus tersebut, jumlah kematian mencapai 141 orang sehingga “ada sedikit peningkatan fatalitas rate 58 persen”. Data Kemenkes RI pada Jumat (21/10), tercatat jumlah pasien gangguan ginjal akut ada sebanyak 241 orang, dengan kasus kematian sebanyak 131 orang. Tingkat kematian yang tinggi akibat gangguan ginjal akut juga dicatat di beberapa daerah, termasuk di Provinsi Aceh. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aceh mengemukakan bahwa sebanyak 29 anak di provinsi itu mengidap gagal ginjal akut. Adapun 22 di antara mereka telah meninggal dunia. "Saat ini ada 29 anak gagal ginjal akut. Pasien paling banyak dari Banda Aceh dan Aceh Tengah,” kata Ketua IDAI Cabang Aceh dr Syafruddin Haris, SpA (K) di Banda Aceh, Senin (24/10) kepada kantor berita Antara.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin menambahkan, Kemenkes melakukan pengujian mulai awal September dengan pemeriksaan virus, bakteri dan parasit pada bayi yang mengalami gangguan ginjal. Akan tetapi tidak terbukti sepenuhnya. "Yang mulai kita agak terbuka adalah karena ada kasus di Gambia, yang tanggal 5 Oktober WHO mengeluarkan rilis, ini disebabkan senyawa kimia," tambah Menteri Budi. Sebagian besar obat-obatan diuji mengandung senyawa berbahaya etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol butil ether. Senyawa kimia yang biasa digunakan untuk pelarut cat dan pendingin radiator kendaraan. Zat-zat berbahaya ini disebut sebagai "cemaran" dari pelarut yang digunakan untuk obat. "Kalau membuatnya [obat] tidak baik. menghasilkan cemaran," tambah Menteri Budi. Ia menambahkan, senyawa kimia ini mampu membuat ginjal tidak berfungsi. Pasalnya, ketiga senyawa tersebut memicu asam oksalat dalam tubuh dan selanjutnya menjadi kristal di dalam ginjal. "Kalau masuk ke ginjal jadi kristal kecil tajam-tajam sehingga rusak ginjalnya. Nah, 7 dari 11 balita [di RSCM] ternyata ada senyawa kimia. Ternyata ginjal-ginjalnya rusak karena adanya asam oksalat. Jadi itu logikanya," katanya.
Kemenkes juga merilis daftar 102 obat yang diduga mengandung senyawa penyebab kasus gangguan ginjal pada anak. Daftar obat ini dirilis setelah pihak Kemenkes memeriksa 156 anak yang mengonsumsinya dan berakhir dengan gangguan ginjal. "Dari 156 itu, kita sudah ketemu 102 obat yang ada orang yang kena ini [gangguan ginjal akut] jenisnya sirup. "Itu yang kami melaporkan, dan bapak presiden bilang, 'pak menkes dibuka saja biar tenang masyarakat, dan kita melakukan transparansi ke publik'," kata Menteri Budi.
Pejabat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Elin Herlina mengatakan "kejadian ini merupakan pembelajaran bagi kami". Dengan kejadian meningkatnya kasus gagal ginjal pada anak BPOM berjanji untuk mengintensifkan pengawasan, dan khususnya pada bahan cemaran yang berpotensi menyebabkan gagal ginjal yaitu EG dan DEG dalam produk obat. "Untuk pengawasan, kita mulai dari pre-market dan post-market, pengambilan sampel pengujian dan lain-lain," katanya. Namun, untuk pengujian obat-obatan lanjutan, BPOM mengambil sikap pasif: menunggu hasil uji yang dilakukan perusahaan obat secara mandiri. "Ini adalah sesuai dengan ketentuannya yang bertanggung jawab terhadap keamanan, mutu dan khasiat obat itu adalah industri farmasi," tambah Elin.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memerintahkan penarikan dan pemusnahan lima sirup obat yang memiliki kandungan Etilen Glikol (EG) melebihi ambang batas aman. Perintah tersebut dikeluarkan hari Kamis (20/10/2022), di tengah munculnya lebih 200 kasus ganguan ginjal akut di Indonesia yang sejauh ini menyebabkan setidaknya 99 anak meninggal dunia. "BPOM telah melakukan tindak lanjut dengan memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan sirup obat dari peredaran di seluruh Indonesia dan pemusnahan untuk seluruh bets produk," demikian pernyataan BPOM. "Penarikan mencakup seluruh outlet antara lain Pedagang Besar Farmasi, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan."
Dari hasil sampling dan pengujian terhadap 39 bets dari 26 sirup obat sampai dengan 19 Oktober 2022, diketahui adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada 5 (lima) produk berikut:
Termorex Sirup (obat demam), produksi PT Konimex, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu), produksi PT Yarindo Farmatama, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol Plastik @ 60 ml.
Unibebi Demam Sirup (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol @ 60 ml.
Unibebi Demam Drops (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol @ 15 ml.
Namun demikian, kata BPOM, hasil uji cemaran EG tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan sirup obat tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut, karena selain penggunaan obat, masih ada beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut seperti infeksi virus, bakteri Leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) atau sindrom peradangan multisistem pasca COVID-19.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyatakan penelitian Kemenkes mendeteksi tiga zat kimia berbahaya (ethylene glycol-EG, diethylene glycol-DEG, ethylene glycol butyl ether-EGBE) pada tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut. Bahan-bahan tersebut diduga menjadi pemicu puluhan kasus gangguan ginjal akut yang ditemukan di Gambia, Afrika Tengah. Karena itu, Kemenkes telah menyetop sementara penjualan dan penggunaan obat dalam bentuk cair atau sirup demi “menyelamatkan anak”. Akan tetapi, pakar epidemiologi memandang situasi gangguan ginjal akut di Indonesia “sudah genting” dan “sangat serius”, sehingga perlu ditetapkan status kejadian luar biasa (KLB) gagal ginjal akut.
“Saya melihat ini sudah genting, sangat serius. Ketika kasus seperti ini terjadi, jelas itu adalah puncak gunung es. Kita tahu bagaimana surveilans kita, artinya korbannya jauh lebih banyak,” ujar pakar epidemiologi dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, Rabu (19/10/2022).
Mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, menegaskan perlu dilakukan upaya maksimal untuk menyelidiki kejadian ini, "agar segera terjawab apa sebenarnya penyebabnya dan bagaimana penanggulangannya".
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengungkapkan, dalam pemeriksaan yang dilakukan terhadap sisa sampel obat yang dikonsumsi pasien anak, ditemukan “jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan gangguan ginjal akut progressive atypical. Untuk meningkatkan kewaspadaan untuk pencegahan, kata Syahril, pihaknya sudah meminta seluruh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan untuk sementara ini tidak meresepkan obat atau memberikan obat dalam bentuk cair atau sirup sampai hasil tuntas. “Ini diambil langkah dengan maksud dugaan-dugaan ini sedang kita teliti. Untuk menyelamatkan anak-anak kita maka diambil kebijakan untuk melakukan pembatasan ini,” jelasnya dalam konferensi pers yang digelar Rabu (19/10). Pembatasan ini tak hanya berlaku bagi obat cair atau sirup untuk anak saja, namun juga bagi dewasa. Syahril menambahkan, Kementerian Kesehatan telah meminta apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dalam bentuk cair atau sirup pada masyarakat, “sampai hasil penelusuran dan penelitian yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan BPOM tuntas”.
Kasus gagal ginjal pada anak kata ditandai dengan preferensi kencing, jumlah urine juga sangat sedikit. Bahkan kalau betul-betul terjadi kerusakan ginjal yang lebih berat, maka tidak terjadi produksi air kencing atau urine.
“Kenapa tingkat kematiannya tinggi? Itu dikarenakan dia sudah masuk ke fase itu."
"Makanya pada saat ini kita sampaikan kepada masyarakat, kepada tenaga kesehatan, untuk lebih waspada dan lebih cepat untuk melakukan tindakan,” ujar Syahril. Dia melanjutkan, jika orang tua mendapati anaknya memiliki gejala seperti frekuensi dan jumlah kencing yang menurun, dan disertai dengan demam, diare, mual, batuk, maupun pilek, untuk segera memeriksakannya ke dokter.
Tetapi, kebijakan penyetopan sementara obat cair atau sirup ini memicu kekhawatiran orang tua yang telah memberikan obat jenis itu kepada anak-anak mereka, seperti yang dialami ibu muda di Yogyakarta yang baru saja memberikan obat sirup Paracetamol kepada anak balitanya yang berusia empat tahun. "Saya pribadi baru saja memberikan Paracetamol ke anak saya beberapa hari yang lalu dan udah terlanjur ngasihnya, kenapa baru sekarang? Padahal kasusnya kan sudah lama ya, sejak Juli sudah ada. Jadi ya khawatir sih akhirnya ke anak saya," ujarnya.
Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, menyoroti lemahnya kemampuan pendeteksian di Indonesia, yang dia anggap berkontribusi pada tingginya angka kematian akibat gangguan ginjal akut. Dia pun menegaskan sudah semestinya pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai kejadian luar biasa (KLB). “Ini sudah KLB atau kejadian luar biasa gagal ginjal akut yang terjadi di beberapa kota di Indonesia dengan case fatality rate yang tinggi dan ini tentu sangat logis dalam konteks Indonesia, karena di tengah lemahnya deteksi dini,” lanjut Dicky. Situasi yang terjadi saat ini di Indonesia, bagi Dicky, sudah memenuhi kriteria KLB yang nantinya akan berdampak pada langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi gangguan ginjal akut di Indonesia. “Jadi aspek dukungan pembiayaan, dan juga kemudahan lainnya karena statusnya yang KLB itu. Selain tentu awareness dari setiap sektor akan semakin lebih meningkat.” Saat ini, lanjut Dicky, kesadaran masyarakat yang masih rendah juga berkontribusi pada tingginya jumlah kasus dan angka kematian. Menurut Dicky, health seeking behaviour atau perilaku yang dilakukan untuk memperoleh kesembuhan masyarakat Indonesia termasuk lemah di antara negara-negara ASEAN.
Sekitar 70% penduduk Indonesia, lebih memilih untuk mengobati sendiri jika sakit. “Ini juga berperan. Jadi dari sisi layanan kesehatan yang memang masih minim dan terbatas, kemudian dari sisi masyarakat." "Dua ini yang saling berkontribusi kalau ada kasus seperti ini akhirnya banyak keterlambatan, terlambat terdeteksi, terlambat terdiagnosa, terlambat dirujuk dan terlambat ditangani,” katanya. Apalagi, lanjutnya, gangguan ginjal akut ini juga menimpa daerah-daerah yang terbatas layanan kesehatannya. Kasus gangguan gagal ginjal akut tinggi di daerah sebab layanan cuci darah untuk anak atau hemodialisa yang terbatas di layanan kesehatan.“Hemodialisa anak itu jangankan tingkat kabupaten, tingkat provinsi aja belum tentu semua punya,“Ini sekali lagi membuka borok atau membuka kelemahan layanan sistem kesehatan kita yang masih sangat terbatas ini,” lanjutnya.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, meminta Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, untuk mengusut kasus penyakit gagal ginjal akut. Hal itu untuk memastikan ada tidaknya tindak pidana terkait kasus tersebut. Muhadjir mengatakan, pengusutan ini telah diputuskan dalam koordinasi bersama Menteri Kesehatan, Menteri Perdagangan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). "Kita sudah mendapatkan masukan dari semua pihak, dan tadi malam saya terus langsung telepon ke Pak Kapolri supaya kasus gagal ginjal akut ini diusut. Untuk ditelaah kemungkinan ada tidaknya tindak pidana," kata Muhadjir di Kota Bogor, Sabtu (22/10).
Kasus gagal ginjal di Indonesia memang sangat mengkhawatirkan para orangtua yang memiliki anak, apalagi tingkat kematian akibat gagal ginjal semakin tinggi. Sedangkan dari pihak yang berwenang yang dipercaya masyarakat untuk menangani kasus ini dinilai lamban. Padahal kasus tersebut sudah ada sejak bulan Juli yang lalu, terlambat dalam deteksi, diagnosa, dirujuk dan terlambat dalam penanganannya. Kasus pelayanan cuci darah untuk anak atau Hemodialisa juga terbatas sehingga kasusnya semakin tinggi tiap daerah. Padahal dana APBN Tahun Anggaran (TA) 2022, untuk alokasi anggaran untuk kesehatan adalah sebesar Rp256 triliun atau 9,4 persen dari total belanja negara yaitu Rp2.714,2 triliun. Tapi kemanakah dana tersebut?
Hal merupakan hal yang biasa bagi rakyat Indonesia, pasalnya dunia kesehatan tidak lepas dari dunia komersial, menjadi ladang bisnis bagi para korporasi. Alhasil ketika situasi sangat urgent rakyat lagi yang menjadi korbannya. Terutama rakyat kecil yang tidak bisa memeriksakan anaknya ke Rumah sakit yang memiliki fasilitas yang baik. Karena faktanya fasilitas yang canggih, lengkap, dan bagus hanya ada diRumah sakit di Kota-kota besar, dan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat kelas atas yang memiliki kemampuan untuk membayarnya. Sedangkan Rumah sakit didaerah dengan minim fasilitas yang sangat tidak cukup dinikmati oleh masyarakatnya. Padahal rakyat senantiasa memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak dll, namun hasilnya hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil rakyat terutama rakyat kelas atas. Lalu bagaimana kah solusinya? apakah rakyat cukup hanya melihat kedzaliman tersebut? apakah tidak ada solusi yang tepat sehingga hal itu tidak terulang kembali?
Rakyat Indonesia membutuhkan solusi yang logik, sehingga dapat menuntaskan sampai ke akar-akarnya permasalahan dalam kehidupan, bukan sekedar menyelesaikan masalah cabang. Solusi ini sudah pernah dipakai oleh suatu negara yang berjaya didunia, menjadi mercusuarnya peradaban, wilayahnya mencangkup 1/3 dunia, Negara apakah itu? bukan Amerika, bukan China, tapi Negara Islam, Khilafah dengan pemimpinnya seorang Khalifah. Negara ini memiliki sistem yang bersumber dari Sang pencipta alam semesta, jadi tidak akan pernah membuat kerusakan dibumi, dan bagaimana Khilafah menyelesaikan masalah seperti di Indonesia?
Mari Jejerkan akar permasalahan yang ada di Indonesia, bagaimana tata kelola yang digunakan di Indonesia sehingga jauh dari kesejahteraan, padahal Indonesia dengan SDA yang berlimpah, karena Indonesia menerapkan sistem Kapitalisme yang berasas Sekulerisme. Hal itu menjunjung tinggi kebebasan berfikir, berpendapat, berkepemilikan, dan berekspresi dengan sistem ekonomi berasas Kapitalisme yang berpihak pada kaum koorporasi, dengan asas manfaat. Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilihan presiden atau pejabat negara saja, sehingga tata kelola akan mengutamakan kepentingan koorporasi, bisnis. Kepemilikan rakyat seperti SDA akan dilimpahkan kepada asing. Rakyat seperti membayar ditempat tinggal mereka sendiri, terbukti masyarakat disuruh membayar pajak, namun tidak menikmati kesejahteraannya. Sedangkan Khilafah akan sangat menjunjung tinggi tanggungjawab terhadap rakyat, Khalifah sebagai pelayan bagi rakyatnya yang kelak pelayanannya akan dimintai pertanggungjawabannya diakhirat, jika ia dzalim maka akan ditimpa kepedihan oleh Allah. "Pemimpin Negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus" (HR al-Bukhari). Sehingga Khilafah akan menjamin fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
Sepanjang sejarahnya Khilafah Islam juga membangun banyak rumah sakit yang berkualitas untuk melayani rakyat secara gratis. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705-715 M) pada era Khilafah Bani Umayah. Pada masa berikutnya beragam rumah sakit di berbagai kota dibangun dengan fasilitas yang bermutu. Bahkan sebagian dilengkapi sekolah kedokteran dan perpustakaan yang lengkap. Untuk melayani warga di pedalaman, para khalifah membangun rumah sakit keliling. Ini terjadi seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H).
Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat. Pertama: Universal. Artinya, tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua: Bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga: Seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Keempat: Pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon seperti halnya JKN atau BPJS. Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya.
Posting Komentar